Pakar hukum Dr. Alpi Sahari. SH. M.Hum mengatakan kebijakan Kapolri yang tertuang dalam ST/1100/IV/HUK. 7.1/2020 merupakan langkah tepat untuk menghadapi situasi negara yang secara terus menerus berupaya untuk mengatasi wabah pandemi COVID-19 yang menimbulkan dampak mutidimensi termasuk potensi gangguan keamanan dan ketertiban di tengah-tengah masyarakat sebagai wujud tanggungjawab profesi Polri menjaga harkamtibmas.
Kebijakan itu menurut Dr. Alpi yang sering dimintakan untuk menjadi saksi ahli di Pengadilan, untuk mengingatkan kepada masyarakat bahwa menghina presiden ataupun pejabat pemerintah lainya terkait penanganan virus corona diancam pidana sebagaimana dimaksud pasal 207 KUH Pidana.
Baca juga: Kapolri keluarkan surat telegram cegah kejahatan siber selama wabah COVID-19
Hukum pidana secara ontologisme menyangkut pemberian sanksi pidana didasarkan pada keadaan dan atau situasi sipetindak melakukan kejahatan misalnya di dalam tindak pidana pencurian dikenal dengan pencurian biasa dan pencurian dengan pemberatan.
'Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 KUH Pidana bukan tafsiran Kapolri karena di dalam hukum pidana dikenal asas "nullum crimen sine poena" sebagai pengejawantahan asas legalitas. Pasal 207 KUH pidana pasca putusan Mahkamah Konstitusi (judicial riview) No. 013-022/PUU-IV/2006 bukan mencabut ketentuan Pasal 207 KUHPidana, hanya terjadi pergeseran jenis delik dari gewone delict menjadi klact delict, artinya bahwa tidak menghilangkan sifat melawan hukum (formile wedertelijk) atas perbuatan pelaku yg menghina suatu penguasa atau badan umum yg ada di Indonesia," jelas Dr. Alpi.
Baca juga: Kapolri terbitkan surat edaran untuk cegah COVID-19 di lingkungan Polri
Selain itu ia menambahkan, hal ini juga dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi didalam pertimbangannya memberikan perlindungan martabat pejabat umum/penguasa (content of personal and not content of institutionwl) sebagai dasar pergeseran delik menjadi klacht delict (delik aduan).
Adapun pertimbangan MK sebagai dasar putusannya menyebutkan terkait pemberlakuan Pasal 207 KUH Pidana penuntutan hanya dilakukan atas dasar pengaduan.
Di samping itu, ia menjelaskan terhadap siapa saja yg menghina presiden atau pejabat pemerintah lainnya terkait penanganan COVID-19 dapat diancam Pasal 207 KUH Pidana dan UU ITE bukan klacht delic (delik aduan) melainkan gewone delict (delik biasa) yang merumuskan terkait informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik diancam dengan sangsi pidana.
Untuk itu ia mengharapkan bagi segala komponen bangsa termasuk para pakar hukum agar saling gotong royong untuk membantu negara dalam mengatasi dan menangani permasalahan bangsa saat ini akibat pandemi covid 19. Mari sama-sama membuat statemen yg menyejukkan masyarakat bukan menimbulkan hal-hal yang kontra produktif.
Pada kesempatan lain Guru Besar Unimed Prof. Ibrahim Gultom mengatakan di tengah pandemi ini kehidupan sebagaiknya menjaga kehidupan sosial tidak saling menghina apalagi menghina simbol negara.
Telegram Kapolri ini menurut Prof. Ibrahim adalaha langkah yang tepat untuk mencegah gesekan-gesekan sosial yang terjadi.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
Kebijakan itu menurut Dr. Alpi yang sering dimintakan untuk menjadi saksi ahli di Pengadilan, untuk mengingatkan kepada masyarakat bahwa menghina presiden ataupun pejabat pemerintah lainya terkait penanganan virus corona diancam pidana sebagaimana dimaksud pasal 207 KUH Pidana.
Baca juga: Kapolri keluarkan surat telegram cegah kejahatan siber selama wabah COVID-19
Hukum pidana secara ontologisme menyangkut pemberian sanksi pidana didasarkan pada keadaan dan atau situasi sipetindak melakukan kejahatan misalnya di dalam tindak pidana pencurian dikenal dengan pencurian biasa dan pencurian dengan pemberatan.
'Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 KUH Pidana bukan tafsiran Kapolri karena di dalam hukum pidana dikenal asas "nullum crimen sine poena" sebagai pengejawantahan asas legalitas. Pasal 207 KUH pidana pasca putusan Mahkamah Konstitusi (judicial riview) No. 013-022/PUU-IV/2006 bukan mencabut ketentuan Pasal 207 KUHPidana, hanya terjadi pergeseran jenis delik dari gewone delict menjadi klact delict, artinya bahwa tidak menghilangkan sifat melawan hukum (formile wedertelijk) atas perbuatan pelaku yg menghina suatu penguasa atau badan umum yg ada di Indonesia," jelas Dr. Alpi.
Baca juga: Kapolri terbitkan surat edaran untuk cegah COVID-19 di lingkungan Polri
Selain itu ia menambahkan, hal ini juga dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi didalam pertimbangannya memberikan perlindungan martabat pejabat umum/penguasa (content of personal and not content of institutionwl) sebagai dasar pergeseran delik menjadi klacht delict (delik aduan).
Adapun pertimbangan MK sebagai dasar putusannya menyebutkan terkait pemberlakuan Pasal 207 KUH Pidana penuntutan hanya dilakukan atas dasar pengaduan.
Di samping itu, ia menjelaskan terhadap siapa saja yg menghina presiden atau pejabat pemerintah lainnya terkait penanganan COVID-19 dapat diancam Pasal 207 KUH Pidana dan UU ITE bukan klacht delic (delik aduan) melainkan gewone delict (delik biasa) yang merumuskan terkait informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik diancam dengan sangsi pidana.
Untuk itu ia mengharapkan bagi segala komponen bangsa termasuk para pakar hukum agar saling gotong royong untuk membantu negara dalam mengatasi dan menangani permasalahan bangsa saat ini akibat pandemi covid 19. Mari sama-sama membuat statemen yg menyejukkan masyarakat bukan menimbulkan hal-hal yang kontra produktif.
Pada kesempatan lain Guru Besar Unimed Prof. Ibrahim Gultom mengatakan di tengah pandemi ini kehidupan sebagaiknya menjaga kehidupan sosial tidak saling menghina apalagi menghina simbol negara.
Telegram Kapolri ini menurut Prof. Ibrahim adalaha langkah yang tepat untuk mencegah gesekan-gesekan sosial yang terjadi.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020