Mantan pemain PSMS era 1970-an akhir hingga 1990-an Sugito divonis gagal ginjal dan sangat membutuhkan uluran tangan dermawan untuk sedikit meringankan biaya pengobatannya.
“Sebelum ini saya harus operasi mata dampak dari diabetes. Dan sekarang, oleh dokter saya divonis gagal ginjal sehingga dua kali seminggu harus menjalani cuci darah,” kata Sugito saat dijenguk di RS Putri Hijau Jalan Putri Hijau Medan, Minggu.
Sugito dulu adalah pemain yang sangat piawai di lapangan. Postur tubuhnya tidak begitu tinggi, namun gocekan bolanya sangat mengagumkan. Dua hingga tiga bahkan empat pemain bisa dilewatinya. Apalagi kemampuannya berlari cukup kencang. Pergerakannya pun lincah bagai belut, dan tidak pernah mengenal rasa takut.
Hal inilah terkadang membuat pemain bawah lawan harus bekerja ekstra keras bahkan harus bermain keras untuk menghalaunya.
Dampak dari kedegilannya sebagai pemain depan, bukan saja membuatnya berulangkali jatuh bangun dan terguling akibat kena “tebas”, tapi ususnya pun pernah bocor karena dipijak pemain lawan.
Ya itulah sosok dari seorang Sugito. Mantan pemain PSMS era 1970-an akhir hingga 1990-an.
Tapi kini pemain kelahiran Rambung Sialang 59 tahun lalu itu sudah sangat jauh berubah. Hal ini bukan karena usianya yang semakin menua, tapi dampak dari sakit yang dideritanya.
Terhitung sejak sebelas tahun terakhir, atau sejak 2008, Sugito menginap penyakit diabetes. Dampak sakitnya tersebut meluas atau komplikasi hingga mengganggu mata, bahkan kini ia pun divonis gagal ginjal.
Pria yang di masa aktifnya pernah membela Mercu Buana Galatama dan mengantarkan Sumut meraih medali emas PON XI/1985 ini mengaku, selama ini sudah banyak menjalani pengobatan, baik medis maupun alternatif.
“Sudah banyak dokter dan rumah sakit yang saya kunjungi. Demikian juga pengobatan alternatif. Namun penyakit ini belum kunjung sembuh,” ujar Sugito lirih.
Ia kini mengaku kian bingung, karena untuk berobat selama sebelas tahun terakhir sudah banyak menghabiskan biaya. Ditambah lagi dengan vonis gagal ginjal yang mengharuskannya cuci darah dua kali seminggu.
“Di sini saya sudah lebih seminggu. Saya tidak tahu lagi berapa biaya yang dibutuhkan,” ujarnya sedih.
Karenanya Sugito mohon doa dan juga bantuan dana, baik dari pemerintah maupun lembaga olahraga dan juga masyarakat maupun simpatisan.
“Alhamdulillah, belum lama ini saya mendapat bantuan Rp2,5 juta dari KONI Sumut. Dan biaya tersebut sudah saya gunakan untuk pengobatan disini,” jelasnya.
Atas saran rekan-rekannya, Sugito juga mengaku sudah menyurati Gubernur Sumut Edy Rahmadi, Plt Walikota Medan Achyar Nasution, dan Ketua Umum Asprov PSSI Kodrat Shah agar mendapat bantuan.
“Saya kini hanya bisa berdoa, kiranya pemerintah memberi perhatian terhadap mantan atlet seperti saya ini,” ujar Sugito usai difoto sembari memegang medali emas PON 1985.
“Ini medali kenangan tidak terlupakan. Sebab saat itu ranking Sumut anjlok di luar sepuluh besar. Syukurnya sepak bola meraih medali emas, dan saya menyumbang satu gol saat final melawan Irian Jaya (Papua). Medali emas sepak bola ini membuat kontingen Sumut selamat dari ancaman pulang akan dilempar telur busuk,” ujar Sugito menceritakan kenangannya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019
“Sebelum ini saya harus operasi mata dampak dari diabetes. Dan sekarang, oleh dokter saya divonis gagal ginjal sehingga dua kali seminggu harus menjalani cuci darah,” kata Sugito saat dijenguk di RS Putri Hijau Jalan Putri Hijau Medan, Minggu.
Sugito dulu adalah pemain yang sangat piawai di lapangan. Postur tubuhnya tidak begitu tinggi, namun gocekan bolanya sangat mengagumkan. Dua hingga tiga bahkan empat pemain bisa dilewatinya. Apalagi kemampuannya berlari cukup kencang. Pergerakannya pun lincah bagai belut, dan tidak pernah mengenal rasa takut.
Hal inilah terkadang membuat pemain bawah lawan harus bekerja ekstra keras bahkan harus bermain keras untuk menghalaunya.
Dampak dari kedegilannya sebagai pemain depan, bukan saja membuatnya berulangkali jatuh bangun dan terguling akibat kena “tebas”, tapi ususnya pun pernah bocor karena dipijak pemain lawan.
Ya itulah sosok dari seorang Sugito. Mantan pemain PSMS era 1970-an akhir hingga 1990-an.
Tapi kini pemain kelahiran Rambung Sialang 59 tahun lalu itu sudah sangat jauh berubah. Hal ini bukan karena usianya yang semakin menua, tapi dampak dari sakit yang dideritanya.
Terhitung sejak sebelas tahun terakhir, atau sejak 2008, Sugito menginap penyakit diabetes. Dampak sakitnya tersebut meluas atau komplikasi hingga mengganggu mata, bahkan kini ia pun divonis gagal ginjal.
Pria yang di masa aktifnya pernah membela Mercu Buana Galatama dan mengantarkan Sumut meraih medali emas PON XI/1985 ini mengaku, selama ini sudah banyak menjalani pengobatan, baik medis maupun alternatif.
“Sudah banyak dokter dan rumah sakit yang saya kunjungi. Demikian juga pengobatan alternatif. Namun penyakit ini belum kunjung sembuh,” ujar Sugito lirih.
Ia kini mengaku kian bingung, karena untuk berobat selama sebelas tahun terakhir sudah banyak menghabiskan biaya. Ditambah lagi dengan vonis gagal ginjal yang mengharuskannya cuci darah dua kali seminggu.
“Di sini saya sudah lebih seminggu. Saya tidak tahu lagi berapa biaya yang dibutuhkan,” ujarnya sedih.
Karenanya Sugito mohon doa dan juga bantuan dana, baik dari pemerintah maupun lembaga olahraga dan juga masyarakat maupun simpatisan.
“Alhamdulillah, belum lama ini saya mendapat bantuan Rp2,5 juta dari KONI Sumut. Dan biaya tersebut sudah saya gunakan untuk pengobatan disini,” jelasnya.
Atas saran rekan-rekannya, Sugito juga mengaku sudah menyurati Gubernur Sumut Edy Rahmadi, Plt Walikota Medan Achyar Nasution, dan Ketua Umum Asprov PSSI Kodrat Shah agar mendapat bantuan.
“Saya kini hanya bisa berdoa, kiranya pemerintah memberi perhatian terhadap mantan atlet seperti saya ini,” ujar Sugito usai difoto sembari memegang medali emas PON 1985.
“Ini medali kenangan tidak terlupakan. Sebab saat itu ranking Sumut anjlok di luar sepuluh besar. Syukurnya sepak bola meraih medali emas, dan saya menyumbang satu gol saat final melawan Irian Jaya (Papua). Medali emas sepak bola ini membuat kontingen Sumut selamat dari ancaman pulang akan dilempar telur busuk,” ujar Sugito menceritakan kenangannya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019