Sengketa antara PT Kereta Api (Persero) dengan PT Arga Citra Kharisma untuk obyek tanah yang terletak di Gang Buntu dan dikenal dengan nama Center Point yang melibatkan pihak Pemkot Medan, meskipun oleh kedua belah pihak telah dianggap selesai, tetapi penyelesaian itu sebenarnya banyak menyisakan tanda tanya. Terutama bagi para akademisi dan pihak Kesultanan Deli sebagai pihak yang berhak atas obyek tanah itu. 

“Center Point tak jadi dirobohkan,” kata Tribun, “Kemelut Status Center Point Tuntas”, demikian pemberitaan Analisa (Harian Analisa dan Tribun Medan, 28 Juli 2019).
 
Kanwil Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN Provinsi Sumatera Utara yang ikut mentriger agar sengketa ini dapat diselesaikan memang patut kita beri apresiasi.

Apalagi upaya itu melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi yang sudah barang tentu keputusan itu dianggap yang terbaik untuk diambil saat ini.

Namun demikian banyak pihak yang belum mengetahui “kedudukan” hukum dan alas hak yang sebenarnya atas obyek tanah yang disengketakan itu.
 
Langkah Penyelesaian Pragmatis

Penyelesaian yang diambil sangat pragmatis, yakni untuk tidak menimbulkan kerugian  yang lebih besar bagi pihak investor yang telah menginvestasikan modalnya di atas proyek itu.

Namun tidak ada sedikitpun pertimbangan historis, pertimbangan terhadap hak-hak pihak lain yang melekat di atas obyek tanah tanah itu, yang memperlihatkan betapa pendeknya ingatan bangsa ini, betapa a-historisnya para pengambil keputusan di negeri ini.

Penyelesaian yang  menyepakati dengan meletakkan HPL di atas HGB yang diberikan selama 20 tahun dianggap sebagai penyelesaian yang arif. Padahal baik PT KAI maupun PT ACK keduanya bukanlah pemilik atas obyek tanah yang disengketakan itu.

Sedikit Sejarah Tentang PT KAI

Jaringan kereta api DSM di Sumatera Timur dibangun atas inisiatif J.T. Cremer, koisaris, pengelola dan sekaligus sebagai pemegang saham perkebunan tembakau Deli Maatschappij dan Senembah Maatschappij.

Tujuan utama pembangunannya untuk melayani keperluan logistik komoditi tembakau di pelabuhan dan angkutan penumpang. Hal itu bisa dimengerti karena hampir seluruh komoditi perkebunan diekspor melalui kapal laut.

Kereta api merupakan moda angkutan termurah dibandingkan dengan sarana angkutan darat lainnya yang infrastrukturnya belum tersedia seperti sekarang.

Pembangunan kereta api pertama adalah menghubungkan Medan ke pelabuhan lama di Labuhan Deli. Pembangunannya dimulai tahun 1883 dan mulai dioperasikan pada tahun 1886.

DSM merupakan satu-satunya perusahaan kereta api swasta di antara 11 perusahaan kereta api yang ada di Hindia Belanda (termasuk Pulau Jawa) saat itu. Pertumbuhan DSM sejalan dengan meningkatnya volume ekspor komoditi perkebunan, terutama tembakau dan karet di pasar internasional pada awal abad ke 20.

DSM berdiri atas dukungan penuh Deli Maatchappij dan Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) pada 25 Juli 1883. Belakangan saham DSM juga dimiliki oleh AVROS.

Inisiatif awal pendirian DSM oleh NHM dan Nederlandsche Indische Handelsbank adalah untuk membawa produk ekspor perkebunan seperti tembakau ke pelabuhan. (Mohammad Abdul Ghani, 2019)
 
Konsesi Kersultanan Deli

Tanah-tanah eks konsesi Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) sesuai pasal 16 Concessievoorwaarden van Deli Spoorweg Maatschappij (Syarat-Syarat Konsesi DSM) tanggal 23 Januari 1883 No.17 merupakan tanah-tanah Kesultanan Deli sebagai sebuah institusi.

Pasal 16 Concessievoorwaarden berbunyi: “Omtrent het verkrijgen van den voor den spoorweg benoodigden grond, voor zover nog schikkingen vereischt worden, na den door den Sultan en de Rijksgrooten van Deli gedanen kosteloozen afstand bij bezegelde verklaring van 30 September 1882, zullen de concessionarissen zich rechstreeks hebben te verstaan met de rechthebbenden”). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia: “Tentang perolehan tanah-tanah yang dibutuhkan untuk kereta api, yang saat ini masih dimohonkan, setelah oleh Sultan dan Orang-Orang Besar Deli disewakan dengan gratis melalui pernyataan di atas kertas yang bersegel tertanggal 30 September 1882, pemegang konsesi secara langsung akan  telah memahaminya dengan para pemegang hak (Sultan Deli dan para Orang Besar).”

Bahwa untuk menjalankan maksud terwujudnya jalur kereta api, Deli Mij mengajukan permohonan kepada Sultan Deli (wakil dari datuk empat suku) - Datuk Empat Suku yang dimaksud adalah Datuk (Kepala Urung) XII Kuta (Hamparan Perak), Sunggal (Serbanyaman), Sukapiring dan Senembah.

Keempat Datuk inilah yang memiliki kewenangan-kewenangan strategis di wilayahnya dan menjadikan Sultan Deli sebagai pemimpin/kepala adat, agama dan pemerintahan yang menghimpun kesatuan keempat kedatukan tadi - yang membentuk Kesultanan Deli untuk mendapatkan tanah terkait pembangunan jalur kereta api dan peruntukan terkait lainya yang selanjutnya pada tanggal 30 September 1882, Sultan Deli beserta orang-orang besarnya membuat surat pernyataan di atas segel yang menyatakan persetujuannya untuk pemakaian tanah Kesultanan bagi pembangunan jalur kereta api dari Kuala Sungai Belawan ke Medan Putri dan Deli Tua dan dari Medan Putri ke Timbang Langkat tanpa perlu membayar apapun kepada Kesultanan Deli. 

Namun di dalam Surat Sultan Deli tersebut disebutkan bahwa: “De gronden die zij later niet meer nodig, moet hebben voorgemelde doeleinden komen om ons terug zonder verdere formaliteiten.” (tanah-tanah yang tidak dibutuhkan lagi oleh Deli Mij, harus dikembalikan pada akhirnya kepada kami (dalam hal ini Kesultanan Deli) tanpa formalitas-formalitas tertentu.  (Perret, Daniel, 2010 : 141-142).

Kontrak atau Syarat-Syarat Konsesi DSM berbasis kepada Kontrak Konsesi Mabar-Deli Toe yang dibuat antara Kesultanan Deli dan Perusahaan Perkebunan Deli Maatschappij (Deli Mij) tertanggal 11 Juni 1870 untuk jangka waktu 99 tahun, kemudian diganti dengan kontrak tertanggal 1 November 1874. Dinamakan Kontrak Mabar-Deli Toea disebabkan tanah yang disewakan kepada Deli Mij tersebut adalah seluas antara Sungai Deli dan Sungai Percut, dan dari Mabar sampai Deli Toea. (Jansen Gerard, 1925:38).

DSM sebagai perusahaan bentukan Deli Mij tidak membutuhkan lagi semacam kontrak dengan Kesultanan Deli, karena sudah ada kontrak induknya yakni Kontrak Mabar-Deli Toewa yang disebutkan di atas.

Sewa jangka panjang Perusahaan Perkebunan Tembakau Deli Maatschappij dari Kesultanan Deli. Konsesi Deli Spoorweg Maatschappij (selanjutnya disingkat dengan DSM) ditetapkan pada tanggal 23 Januari 1883 melalui Besluit Gouverneur Generaal (GG) No.17. Selanjutnya disebutkan jangka waktu konsesi sesuai pasal 42 Concessievoorwaarden tahun 1883 dan kemudian diperbaharui melalui Concessievoorwaarden 1912 adalah selama 90 tahun. Oleh karena itu seyogiyanya Pemerintah Indonesia wajib mengembalikan tanah-tanah eks konsesi tersebut kepada Kesultanan Deli karena jangka waktu perjanjian konsesi tersebut sudah berakhir pada tahun 2002. (Edy Ikhsan, 2015).
 
Gugatan Sultan Deli

Sultan Deli pernah mengajukan gugatan atas obyek tanah itu melalui Surat Gugatan yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Medan, melalui Kuasa Hukumnya Dr. Abdul Hakim Siagian, pengacara/advocat di Medan. Gugatan itu didaftarkan pada tanggal 16 Juni 2015 dengan Nomor Perkara, 308/Pdt.G/2015/PN./Mdn.

Walaupun kesudahan dari gugatan itu sampai hari ini tak jelas kesudahannya, akan tetapi substansi dari Gugatan Sultan Deli itu memperlihatkan bahwa; baik PT KAI dan PT ACK bukanlah pihak yang mendapatkan hak atas obyek tanah itu secara sah.

Beberapa pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh Kesultanan Deli  dalam mengajukan gugatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Bahwa secara historis terdapat mata rantai kepemilikan hak-hak atas tanah tempat berdirinya sarana dan prasarana transportasi kereta api di Kota Medan yang meliputi jalur rel kereta api, stasiun, rumah-rumah dinas, rumah-rumah karyawan dan kantor yang saat ini berada di bawah perusahaan PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang tidak dapat dihilangkan begitu saja untuk menelusuri keabsahan atas penguasaan tanah milik Kesultanan Deli.

2. Bahwa hak-hak atas tanah milik Kesultanan Deli yang saat ini dikuasai oleh PT. KAI (Persero) adalah berasal dari tanah milik Kesultanan Deli yang Kesultanan Deli izinkan untuk dipakai oleh Deli Spoorweg Maatschappij (melalui Deli Maatcshappij yang meminta izin kepada Kesultanan Deli yang pada waktu itu, Deli Spoorweg Maatschappij belum berdiri, untuk pemakaian lahan tersebut) yang merupakan cikal bakal pembangunan perkeretaapian di Sumatera Utara hari ini.

3. Bahwa terdapat beberapa bidang tanah yang Kesultanan Deli izinkan untuk dipakai oleh Deli Spoorweg Maatcshappij melalui Deli Maatschappij yang haknya diteruskan kepada PT. KAI (Persero) yang kesemua itu berasal dari tanah milik Kesultanan Deli yang seyogyanya telah berakhir penguasaannya, namun sampai saat ini tidak pernah dikembalikan kepada Kesultanan Deli.

4. Bahwa tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pimpinan dan direksi kepada Direksi, cq. Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara dan demi bangsa dan anak-anak bangsa yang memerlukan transportasi massal maka terhadap tanah-tanah kami yang masih dipergunakan oleh pihak PT. KAI untuk kepentingan sesuai dengan maksud dan tujuan ketika pemberian izin pemakaian tanah ini dahulunya diserahkan kepada Deli Spoorweg Maatschappij, maka dengan ini Kesultanan Deli menyatakan tetaplah pihak PT. KAI (Persero) dapat mempergunakannya, akan tetapi terhadap tanah-tanah yang tidak dipergunakan lagi demi hukum untuk dikembalikan kepada Kesultanan Deli, demikian juga apabila di atas lahan-lahan kami tersebut terdapat kontrak-kontrak sewa terhadap pihak ketiga maka uang pembayaran sewa tersebut demi hukum untuk dapat diteruskan kepada kami sesuai syarat-syarat yang kami tentukan dalam surat kami tertanggal 30 September 1882 pada saat pemberian izin pemakaian untuk kepentingan sarana dan prasarana kereta api yang ditujukan kepada Deli Spoorweg Maatschappij.

5. Bahwa mata rantai sejarah kepemilikan tanah obyek terperkara dimulai pada tanggal 11 Juni 1870 atau bertepatan dengan 11 Rabiul Awal 1287, antara Kesultanan Deli selaku pemilik tanah dengan Deli Maatschappij selaku pemegang hak konsesi/penyewa membuat perjanjian yang dituangkan dalam Kontrak Konsesi Mabar Deli Toewa yang dibuat dan ditandatangani di depan Notaris W. J. M Michielsen, tertanggal 17 November 1870.

6. Bahwa perkembangan yang pesat dari produksi tembakau di Deli dan kawasan lainnya seperti Langkat dan Serdang mendorong Deli Maatschappij untuk mencari cara yang lebih efisien (terutama dalam bidang finansial) agar transportasi hasil-hasil perkebunan, terutama tembakau, bisa lebih cepat sampai ke Pelabuhan Laut Belawan untuk kemudian mempersingkat waktu (efisiensi waktu) sampainya hasil-hasil perkebunan itu ke luar negeri.

7. Bahwa untuk menjalankan maksud terwujudnya jalur kereta api, Deli Mij mengajukan permohonan kepada Sultan Deli untuk mendapatkan tanah terkait pembangunan jalur kereta api dan peruntukan terkait lainnya yang selanjutnya pada tanggal 30 September 1882, Sultan Deli beserta orang-orang besarnya membuat surat pernyataan di atas segel yang menyatakan persetujuannya untuk pemakaian tanah Kesultanan bagi pembangunan jalur kereta api dari Kuala Sungai Belawan ke Medan Putri dan Deli Tua dan dari Medan Putri ke Timbang Langkat tanpa perlu membayar apapun kepada Kesultanan Deli, namun di dalam Surat Sultan Deli tersebut disebutkan bahwa: “De gronden die zij later niet meer nodig, moet hebben voorgemelde doeleinden komen om ons terug zonder verdere formaliteiten.” (tanah-tanah yang tidak dibutuhkan lagi oleh Deli Mij, harus dikembalikan pada akhirnya kepada kami (dalam hal ini Kesultanan Deli) tanpa formalitas-formalitas tertentu.

8. Bahwa untuk mendapatkan pengesahan selanjutnya terkait dengan pembukaan jalur kereta api tersebut, Deli Maatschappij mengajukan permohonan resmi ke Gouverneur Generaal di Batavia dan pada tanggal 23 Januari 1883 (Besluit van Gouverneur Genereaal 23 Januari 1883, No.17), konsesi yang definitif (concessievoorwaarden) diperoleh Deli Mij. Peletakan batu pertama pembangunan rel kereta api tersebut dilakukan oleh Residen Sumatera Timur yang berkedudukan saat itu di Bengkalis.

9. Bahwa di dalam konsesi definitif tersebut, diwajibkan kepada Deli Mij untuk segera membuat perusahaan sendiri terkait perkeretapian ini dan memiliki kantor yang tetap di Belanda. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya persetujuan Raja di Belanda diperoleh dan lahirlah sebuah perusahaan baru yang bernama Deli Spoorweg Maatschappij (DSM), yang di dalam statuta pendiriannya disebutkan dibentuk pada tanggal 28 Juni 1883.

10. Bahwa setelah terbentuknya statuta Deli Spoorweg Maatschappij ijin untuk memakai tanah milik Sultan Deli yang dipergunakan untuk jalur kereta api yang dikeluarkan oleh Sultan Deli tanggal 30 September 1882 yang diberikan kepada Deli Maatschappij (oleh karena obyek tanah masih terikat dalam konsesi antara Sultan Deli dengan Deli Maatschappij) maka obyek tanah yang diijinkan untuk dipakai oleh Deli Spoorweg Maatschappij itu dituangkan dalam berbagai-bagai peta antara lain :
a. Peta Kota Medan, Sumber: Arsip Nasional Belanda, Kode Arsip: 4.MIKO. Nomor Arsip 1646. Hoofdplaats Medan. Samengesteld uit de kaart van Gouvernementsgebouwen, de blokkaart van Medan, De Kaarten van Deli Spoorwegmaatschappij en opnemingen onder toezicht van F.M.E.L. Kerstens. Uitgave van het Topografische Burea Batavi, Fotolitho, 1895 1 Blad.
b. Peta Kota Medan, Sumber: Arsip Nasional Belanda, Kode Arsip: 4.Deli.Nomor Arsip: 511-512, Kaart Betrefende Gronduitgifte in de Hoofdplaats Medan z.d. 2 bladen.
c. Peta Emplasemen Medan. Sumber: Arsip Nasional Belanda, Kode Arsip. 4.DSM. Nomor Arsip: 77, Plattegrond van het Spoorweg Emplacement te Medan, 1924. 1 blad.
 
11. Bahwa oleh karena tanah-tanah yang dipakai oleh Deli Spoorweg Maatschappij masih terikat konsesi dengan Deli Maatschappij maka obyek tanah yang dipakai oleh Deli Spoorweg Maatschappij itu didaftar dalam beberapa bidang tanah yang dicatat sebagai eigendom verponding yaitu hak Deli Spoorweg Maatschappij untuk memakai tanah Kesultanan Deli yang masih terikat konsesi dengan Deli Maatschappij atau dengan kata lain eigendom verponding itu adalah merupakan hak pakai yang diletakkan di atas hak konsesi.

12. Bahwa dengan demikian eigendom verponding itu akan berakhir bersamaan dengan berakhirnya konsesi Deli Maatschappij dengan Kesultanan Deli.

13. Bahwa oleh karena obyek tanah tersebut tunduk pada prinsip hukum perikatan yang didalam pemakaian tanah itu disebutkan batas waktu berakhirnya pemakaian tanah dimaksud maka ketika perikatan itu berakhir maka obyek tanah dimaksud haruslah dikembalikan kepada Kesultanan Deli.

14. Bahwa jangka waktu konsesi sesuai pasal 42 Concessievoorwaarden tahun 1883 dan kemudian diperbaharui melaluiConcessievoorwaarden 1912 adalah selama 90 tahun dan karenanya konsesi tanah Deli Spoorweg Maatschappij berakhir pada tahun 2002.

15. Bahwa sebelum kontrak berakhir, Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, sebagai negara merdeka lepas dari penjajahan Kolonial Belanda, maka lahirlah keputusan politik, semua yang “berbau Belanda” harus dikembalikan ke negara merdeka, harus di Indonesiakan.

16. Bahwa seiring dengan itu lahirlah kebijakan politik melalui Undang-undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda, yang diikuti dengan peraturan organiknya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1959 tentang Nasionalisasi Perusahaan Kereta Api dan Tilpon Milik Belanda dan pihak Pemerintah Republik Indonesia.

17. Bahwa sekalipun kebijakan politik nasionalisasi telah diterapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, tetapi Pemerintah Republik Indonesia tetap saja memberikan ganti rugi kepada pihak Deli Spoorweg Maatschappij namun ganti rugi itu hanya menyangkut terhadap asset-asset kekayaan Deli Spoorweg Maatschappij saja, dengan kata lain ganti rugi terhadap tanah yang menjadi milik Kesultanan Deli sampai hari ini belum pernah dilakukan pembayaran ganti rugi.

18. Bahwa asset-asset yang merupakan milik Belanda dalam hal ini Deli Spoorweg Maatschappij haruslah dipisahkan dengan asset-asset milik Kesultanan Deli dimana asset-asset milik Belanda (Deli Spoorweg Maatschappij) itu antara lain adalah stasiun, rumah dinas karyawan dan kantor, serta rel kereta api dialihkan kepada Perusahaan Negara yang bernama Perusahaan Jawatan Kereta Api, kemudian berubah nama menjadi Perusahaan Negara Kereta Api, dan terakhir berubah nama menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero).

19. Bahwa penerapan Undang-undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi jo. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1959 tentang Nasionalisasi Perusahaan Kereta Api dan Tilpon Milik Belanda itu hanya berlaku untuk aset Belanda yang ada di Indonesia, yang dalam perkara ini hanya sebatas pada gedung, rel kereta api dan perumahan karyawan bukan kepada tanah yang jelas-jelas bukan lah milik Belanda, melainkan milik Pribumi yakni Kesultanan Deli, sebagaimana tercantum dalam Akta Konsesi Mabar sehingga Nasionalisasi tidak mengikat kepada tanah milik Kesultanan Deli yang termaktub didalam Akta Konsesi Mabar Deli Toewa Tahun 1870.

20. Bahwa kemudian dengan berdasar kepada keputusan politik tentang Nasionalisasi, PT. Kereta Api Indonesia (Persero) tidak pernah mengembalikan tanah yang termaktub didalam Akta Konsesi Mabar Deli Toewa Tahun 1870 kepada Kesultanan Deli dan mengakui sebagai pemilik sebahagian tanah eks Akta Konsesi Mabar Deli Toewa Tahun 1870 tersebut dengan mengabaikan hak keperdataan Kesultanan Deli.

21. Bahwa praktek nasionalisasi yang diikuti dengan Keppres No. 32 Tahun 1979 dan Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor S-1069/HK.03/1990 tanggal 4 September 1990, Perihal Penertiban Tanah Hasil Konversi Hak Barat yang Dikuasai/dimiliki Instansi Pemerintah/Badan-badan Negara dan BUMN dimaknai secara keliru dengan tafsir yang diperluas melampaui maksud dan tujuan undang-undang nasionalisasi karena obyek tanah tersebut bukanlah hak barat yang diatur dalam Buku II KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek). Oleh karena itu, konversi hak-hak eks hak barat yang diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tidak berlaku atas obyek tanah milik Kesultanan Deli.
 
Kebijakan yang Keliru

Ada kekeliruan besar yang dilakukan oleh pihak-pihak dalam penyelesaian sengketa itu. Pertama pihak yang mengklaim obyek hak itu adalah pihak yang tidak memiliki kewenangan hukum. Sejak awal PT ACK memperoleh hak itu dengan cara melawan hukum ketika ia menggugat PT. KAI.

PT KAI itu adalah pihak yang juga bukan pihak yang memiliki hak karena dia memperoleh hak dari Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) yang mendapat hak (eigendom verponding) dari Deli Maatschappij. Delimij sendiri mendapakan hak dari Konsesi Sultan Deli yang kemudian an Nasionalisasi dikonversi dari Hak  Konsesi Kesultaan Deli yang pada awalnya diberikan kepada Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) kemudian berubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA)  kemudian menjadi PT Kereta Api Indonesia (Persero).

Nasionalisasi itu keliru, karena makna nasionalisasi itu adalah menasionalkan yang bukan milik nasional seperti rel kereta api, bangunan peron, bangunan gedung stasiun, bangunan rumah dinas, dan lain-lain tapi bukan tanahnya.

Tanah milik Kesultanan Deli

Bagaimana nantinya Pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang meletakkan Hak  Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan sedangkan pihak pemegang Hak Pengelolaannya sendiri bukanlah pihak yang berhak yang memiliki kewenangan hukum (beschikking bevoegheid).

PT ACK tidak dapat memperoleh HGB  di atas tanah itu  dengan perjanjian atau MoU, karena pihak yang akan memberikan hak itu bukan pihak yang memiliki hak. Sebab syarat untuk memperoleh hak itu ditentukan secara limitatif dalam Pasal 584 KUHPerdata, yaitu pendakuan, hibah, waris, wasiat atau dengan cara lain melalui pengalihan hak yang dilakukan oleh orang yang berhak atas benda itu (beschikking bevoegheid).

Pihak yang paling berhak atas benda itu adalah Sultan Deli. Pihak lain tidak memiliki kewenangan (unbevoegheid).

Prinsip Hukum Perjanjian

Syarat untuk mengalihkan hak itu tunduk pada prisip-prinsip hukum perjanjian. Antara lain kausalitas yang halal, sebab musabab yang dibenarkan oleh undang-undang. Kita tak boleh membuat perjanjian di atas obyek milik orang lain. Baik PTKAI maupun PT ACK bukanlah pemilik atas obyek pertapakan Center Point.

Alasan untuk mempermudah usaha atau percepatan investasi tak dapat dijadikan sebagai premis hukum untuk pembenaran suatu peristiwa yang sejak awal di dalamnya terdapat banyak banyak kesalahan. Mulai dari izin yang diterbitkan Wali Kota sampai pada keabsahan alas hak atas obyek tanah pertapakan Gedung Center Point tersebut.

Ini sudah keterlaluan, meminjam istilah Pilpres 2019,  ini sebuah pelanggaran hukum yang masif dan terstruktur. Peristiwa semacam ini sudah berlangsung lama di atas obyek tanah Kesultanan Deli.

Kasus sebelumnya adalah tanah pertapakan  JW Marriott yang menggunakan Grand Sultan bodong. Alas hak bodong itu dijadikan "modal" untuk bersengketa ke pengadilan. Semua orang tahu itu. Tanah Konsesi VDM dengan Sultan Deli yang digunakan sebagai Gedung Paramedis yang terkenal dengan Gedung Testak adalah milik Sultan Deli yang dikonsesikan kepada Verenigde Deli Maatschappij (VDM) penggabungan dari Deli Mij, Deli Rubber Maatschappij dan Arensberg Maatshappij.

Tapi pengadilan telah memenangkan pihak pemilik Grand Bodong tersebut atas nama Darapsyah, dkk yang dibelakangnya adalah pihak yang sama dengan pemegang saham PT ACK. Grand itu diterbitkan oleh Sultan Deli dan Sultan Deli sudah menyangkalnya.

Saya mengambil bukti alas hak itu tahun 2005 di Nationaal Archief di Amsterdaam di Negeri Belanda. Tapi bukti-bukti itu dianggap "tak berguna". Ada kekuatan non hukum yang bekerja di atas kasus ini. Jika diperlukan saya bersedia memaparkannya kembali disertai dengan bukti dan dokumen autentik. Secara kasat mata pun orang  mengetahui, mana mungkin seorang bumi Putra Melayu bernama Mandaco Wewengkang berpangkat Kolonel, memiliki tanah yang diperoleh dari Sultan Deli, lalu kemudian Mandaco Wewengkang mengalihkannya kepada Darapsyah. Padahal semua orang tahu di situ berdiri kokoh Gedung Paramedis.

Ada dua pelanggaran berat dalam kasus itu, pertama penghancuran heritage, yang kedua adalah mengambil alih hak Kesultanan Deli dengan cara melawan hukum.
 
Pelaku dan Modus Yang Sama

Kini dengan pelaku yang sama, modus dengan  hal yang sama mereka ulangi lagi dalam kasus Center Point. Jika hukum dapat memperjanjikan milik orang lain untuk dapat dijadikan milik sendiri tanpa melibatkan dan meminta persetujuan dari pemiliknya, maka kita bisa mendapatkan hak untuk semua tanah-tanah di Indonesia ini, tinggal tunjuk saja. Cukup kita tunjuk saja obyek tanah yang kita suka, setelah itu kita cari lawan sengketa lalu kita pergi ke Pengadilan untuk mendapat justifikasi, setelah itu buat perjanjian suka sama suka untuk memperoleh bahagian masing-masing.

Seperti yang dibuat oleh PT.KAI dan PT. ACK, mereka membuat janji untuk tanah milik pihak lain, milik Kesultanan Deli.
Kalau bisa perjanjian suka sama suka dengan alasan untuk mempermudah urusan, memperlancar aktivitas usaha, maka buat  saja janji antara laki-laki hidung belang dengan perempuan PSK untuk tidur satu atau dua malam, toh kedua-duanya suka sama suka. Apa bisa perbuatan yang di dalamnya terdapat pelanggaran hukum, melanggar prinsip hukum dihalalkan dengan perjanjian atau MoU. Pasal 1320 KUHPerdata jelas mengatakan syarat sah perjanjian itu harus dengan "kausalitas" yang halal. Dalam kasus ini  semua pihak telah melihat dengan terang benderang ada kausalitas yang  tidak halal, kausalitas yang tidak dibenarkan oleh undang-undang.
 
Sebuah alternatif penyelesaian menyeluruh
Kesepakatan antara PT. KAI dengan PT.ACK yang diinisiasi atau setidak-tidaknya melibatkan KPK patut ditinjau ulang dengan melibatkan Kesultanan Deli. Saya beryakinan baik Kakanwil BPN-Pak Bambang dan KPK-Pak Saut Situmorang tidak diberi pemahaman lebih awal oleh pihak-pihak yang bersengketa tentang struktur persoalan yang melingkari kasus ini.

Saya hanya ingin menumbuhkan kesadaran baru bagi para pihak terutama PT KAI dan PT ACK agar selalu bersikap jujur. Jangan lukai  hati puak Melayu, jangan lukai hati Kesultanan Deli. Mumpung belum terlambat.

Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, saya akan minta waktu kepada Presiden Republik Indonesia Bapak Ir. H. Joko Widodo Gelar Tuanku Seri Indera Utama Junjungan Negeri untuk memohon keadilan dan meminta semua proses hukum dijalankan secara transparan.

Kami dari pihak Kesulatan Deli akan memulai dengan memasukkan Gugatan Baru dan meminta kepada KPK untuk menelusuri kembali unsur tindak pidana korupsi di atas lahan pertapakan JW Marriott dan Center Point, supaya semuanya menjadi terang benderang.
 
HGU di atas HPL di mana obyeknya milik Kesultanan Deli, jika tidak mendapat pelepasan atau izin dari Kesultanan Deli yang hak keperdataannya terus melekat selama dunia ini terbentang, selamanya akan mengandung cacat hukum yang berpotensi untuk dibatalkan atau Batal Demi Hukum. Jika negara ini masih berpegang pada prinsip negara hukum (rechtsstaat), sebaiknya ini harus menjadi perhatian serius negara yang berjanji akan melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Kecuali negeri ini sudah bergerak ke arah pragmatis yang kapitalis dan sudah bergeser ke negara kekuasaan (maachsstaat).

Tapi kita masih memiliki keyakinan, masih ada hukum dan masih ada keadilan yang bisa kita perjuangkan di negeri ini. Jika MoU itu meletakkan HGB PT ACK di atas HPL  PT KAI, maka harus ditambah lagi HPL itu di atas Hak Milik Kesultanan Deli atau setidak-tidaknya PT KAI meminta pelepasan hak keperdataan dari pihak Kesultanan Deli. Itulah keputusan yang dapat memberi rasa keadilan bagi semua pihak.

*) Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
 

Pewarta: OK Saidin *)

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019