Jakarta (Antaranews Sumut) - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai putusan Bawaslu RI terkait pencalonan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang sebagai anggota DPD RI, merupakan putusan yang aneh.
"Keputusan Bawaslu ini aneh. Putusan itu lebih nampak seperti permainan administratif ketimbang sebuah solusi baru atas masalah sesungguhnya terkait dengan pencoretan OSO dari DCT DPD 2019," kata peneliti Formappi Lucius Karus dihubungi di Jakarta, Kamis.
Lucius mengatakan putusan itu disebut permainan lantaran inti putusan Bawaslu sama dengan keinginan KPU yang bermaksud mengakomodasi OSO dalam DCT, dengan syarat menyerahkan surat pengunduran diri dari kepengurusan parpol terlebih dahulu. Hal yang membedakan menurutnya hanya soal waktu.
Pengunduran diri tersebut dalam kebijakan KPU merupakan syarat bagi pencantuman nama OSO dalam DCT, sedangkan Bawaslu menjadikannya sebagai syarat untuk penentuan calon terpilih DPD.
"Bagi saya pilihan waktu Bawaslu itu aneh dan patut dicurigai," kata dia lagi. Dia mempertanyakan bagaimana bisa administrasi terkait pencalonan dalam DCT, persyaratannya baru dituntut setelah pemungutan suara atau hari H pemilu diadakan.
Dia juga mencermati bagaimana bisa untuk memutuskan OSO masuk DCT, syaratnya justru baru dituntut setelah proses pencalonan sudah berlalu.
"Ibaratnya seorang pelajar, baru diminta menyerahkan persyaratan pendaftaran setelah dirinya sudah mengetahui hasil ujian dan tinggal ditetapkan saja," kata Lucius. Keanehan itu, kata dia, memunculkan kecurigaan, Bawaslu bermain-main dalam melahirkan keputusan, sebab Bawaslu seperti tidak mempertimbangkan efek putusannya tersebut pada saatnya nanti.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019
"Keputusan Bawaslu ini aneh. Putusan itu lebih nampak seperti permainan administratif ketimbang sebuah solusi baru atas masalah sesungguhnya terkait dengan pencoretan OSO dari DCT DPD 2019," kata peneliti Formappi Lucius Karus dihubungi di Jakarta, Kamis.
Lucius mengatakan putusan itu disebut permainan lantaran inti putusan Bawaslu sama dengan keinginan KPU yang bermaksud mengakomodasi OSO dalam DCT, dengan syarat menyerahkan surat pengunduran diri dari kepengurusan parpol terlebih dahulu. Hal yang membedakan menurutnya hanya soal waktu.
Pengunduran diri tersebut dalam kebijakan KPU merupakan syarat bagi pencantuman nama OSO dalam DCT, sedangkan Bawaslu menjadikannya sebagai syarat untuk penentuan calon terpilih DPD.
"Bagi saya pilihan waktu Bawaslu itu aneh dan patut dicurigai," kata dia lagi. Dia mempertanyakan bagaimana bisa administrasi terkait pencalonan dalam DCT, persyaratannya baru dituntut setelah pemungutan suara atau hari H pemilu diadakan.
Dia juga mencermati bagaimana bisa untuk memutuskan OSO masuk DCT, syaratnya justru baru dituntut setelah proses pencalonan sudah berlalu.
"Ibaratnya seorang pelajar, baru diminta menyerahkan persyaratan pendaftaran setelah dirinya sudah mengetahui hasil ujian dan tinggal ditetapkan saja," kata Lucius. Keanehan itu, kata dia, memunculkan kecurigaan, Bawaslu bermain-main dalam melahirkan keputusan, sebab Bawaslu seperti tidak mempertimbangkan efek putusannya tersebut pada saatnya nanti.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019