Jakarta (Antaranews Sumut)- Meningkatnya perburuan dan penjualan satwa liar yang mayoritas merupakan satwa kunci akan mempengaruhi keberlanjutan pangan manusia jika tak ditangani segera dan berkelanjutan, kata CEO WWF Indonesia Rizal Malik.
Rizal Malik menyebut ketiadaan satwa kunci awalnya mengganggu keseimbangan ekosistem yang pada gilirannya mengganggu rantai makanan di alam.
"Sebagai contoh, menurunnya populasi harimau membuat populasi babi hutan meningkat yang lalu menjadi hama bagi para petani di sekitar hutan," kata Rizal dalam acara kampanye "Stop Perdagangan Ilegal Satwa Liar Dilindung" di Gedung Usmar Ismail,Jakarta, Senin.
Contoh yang tak jauh berbeda juga terjadi di laut. Menurunnya populasi hiu membuat ikan karnivora di bawahnya meningkat sehingga ikan herbivora pemakan algae habis dan membuat laut menjadi zona mati karena ledakan populasi algae.
"Kondisi seperti ini akan merugikan sektor perikanan karena tidak ada ikan yang dapat hidup serta berkembang biak akibat rendahnya kadar oksigen. Kaitannya jelas sekali antara hilangnya populasi satwa kunci dengan terancamnya keberlangsungan pangan kita," ucap dia.
Mengutip data WWF Living Planet Report 2018 yang diluncurkan pada 30 Oktober 2018, setidaknya 60 persen hewan bertulang belakang hilang dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun.
Ancaman utama untuk spesies yang diidentifikasi dalam laporan secara langsung terkait dengan aktivitas manusia, salah satunya memperdagangkan satwa liar akibat tingginya permintaan pasar terhadap beberapa spesies.
"Kami juga menemukan fakta kalau 85 persen satwa liar yang diperdagangkan berasal dari alam dan hasil perburuan liar. Kekayaan SDA di Indonesia pun membuat negara ini menjadi sumber dan tempat tujuan perdagangan satwa liar," kata Rizal.
Sementara berdasarkan kajian International Enforcement Agency, nilai global perdagangan satwa liar setara dengan nilai perdagangan manusia, narkotika, dan senjata gelap.
Perdagangan satwa dilindungi ini pun memiliki jalur transaksi yang rumit atau terselebung dan secara lebih terbuka melalui jalur e-commerce, marketplace, dan sosial media.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018
Rizal Malik menyebut ketiadaan satwa kunci awalnya mengganggu keseimbangan ekosistem yang pada gilirannya mengganggu rantai makanan di alam.
"Sebagai contoh, menurunnya populasi harimau membuat populasi babi hutan meningkat yang lalu menjadi hama bagi para petani di sekitar hutan," kata Rizal dalam acara kampanye "Stop Perdagangan Ilegal Satwa Liar Dilindung" di Gedung Usmar Ismail,Jakarta, Senin.
Contoh yang tak jauh berbeda juga terjadi di laut. Menurunnya populasi hiu membuat ikan karnivora di bawahnya meningkat sehingga ikan herbivora pemakan algae habis dan membuat laut menjadi zona mati karena ledakan populasi algae.
"Kondisi seperti ini akan merugikan sektor perikanan karena tidak ada ikan yang dapat hidup serta berkembang biak akibat rendahnya kadar oksigen. Kaitannya jelas sekali antara hilangnya populasi satwa kunci dengan terancamnya keberlangsungan pangan kita," ucap dia.
Mengutip data WWF Living Planet Report 2018 yang diluncurkan pada 30 Oktober 2018, setidaknya 60 persen hewan bertulang belakang hilang dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun.
Ancaman utama untuk spesies yang diidentifikasi dalam laporan secara langsung terkait dengan aktivitas manusia, salah satunya memperdagangkan satwa liar akibat tingginya permintaan pasar terhadap beberapa spesies.
"Kami juga menemukan fakta kalau 85 persen satwa liar yang diperdagangkan berasal dari alam dan hasil perburuan liar. Kekayaan SDA di Indonesia pun membuat negara ini menjadi sumber dan tempat tujuan perdagangan satwa liar," kata Rizal.
Sementara berdasarkan kajian International Enforcement Agency, nilai global perdagangan satwa liar setara dengan nilai perdagangan manusia, narkotika, dan senjata gelap.
Perdagangan satwa dilindungi ini pun memiliki jalur transaksi yang rumit atau terselebung dan secara lebih terbuka melalui jalur e-commerce, marketplace, dan sosial media.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018