Lubuk Pakam, 20/6 (Antarasumut) - Komisi A DPRD Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, menyimpulkan bahwa proses ganti rugi pembebasan lahan jalan arteri Bandara Internasional Kuala Namu atau Kuala Namu International Airport (KNIA) belum tuntas.
"Ternyata masih ada lahan seluas 11.462 meter persegi lagi yang belum selesai diganti rugi," kata anggota Komisi A DPRD Kabupaten Deli Serdang, Syarifuddin Rosha, di Lubuk Pakam, Kamis.
Sementara, lanjut dia, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) baru-baru ini telah mengumumkan bahwa seluruh lahan warga yang terkena proyek jalan arteri sudah selesai diganti rugi.
Khusus mengenai keberadaan lahan seluas 11.462 meter persegi yang hingga kini diklaim oleh 100 kepala keluarga, Pihak Pemprov Sumut tidak bersedia membayar ganti rugi karena lahan tersebut berstatus eks hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 2.
Padahal, menurut dia, dari laporan yang diterima Komisi A DPRD Deli Serdang, lahan seluas 11.462 meter persegi yang terkena pembangunan jalan arteri KNIA tersebut telah dihuni 100 kepala keluarga umumnya lebih dari 20 tahun.
Lokasi lahan seluas 11.462 meter persegi itu tersebar di Desa Telaga sari dan Desa Dalu X-A.
Warga di dua desa tersebut umumnya mempunyai surat keterangan tanah (SKT) yang dikeluarkan oleh kepala desa setempat dan Camat Tanjung Morawa.
Bahkan, kata Syarifuddin, sejak tahun 1997, ada lima camat yang pernah bertugas di Kecamatan Tanjung Morawa melegalisir sejumlah SKT tersebut dengan membubuhkan tanda tangan dan stempel.
Mencermati permasalahan tersebut, pihaknya menyarankan kepada Pemprov Sumut agar menerapkan kebijakan "win-win solution" atau saling menguntungkan antara warga yang mendiami lahan dengan pemerintah.
Kebijakan "win-win solution" itu, menurut dia, dapat direalisasikan Pemprov Sumut dengan membayar ganti rugi lahan sesuai dengan nilai jual objek pajak yang berlaku.
"Untuk merealisasikan kebijakan itu, tentunya dibutuhkan penambahan anggaran untuk ganti rugi lahan," ujarnya.
Ia mengasumsikan, jika harga lahan seluas 11.462 meter persegi itu dipatok sebesar Rp75 ribu per meter, berarti anggaran untuk pembebasan lahan yang dialokasikan pemerintah menjadi bertambah sekitar Rp960 juta.
Sedangkan mengenai payung hukum pembayarannya, menurut dia, bisa dirembukkan oleh Pemprov Sumut dengan DPRD setempat.
Dikatakan Syarifuddin, dalam hal penambahan anggaran pembangunan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, seyogyanya perlu diakomodir dan dimasukkan dalam skala prioritas.
Penyelesaian pembangunan jalan alteri menuju KNIA, kata dia, merupakan kebutuhan nasional.
Oleh karena itu, menurutnya, menjadi kewajiban semua warga negara untuk menyukseskan pembangunan infrastruktur bandara yang direncanakan beroperasi sebelum akhir tahun 2013 itu.
"Kami juga berharap Gubernur Sumatera Utara dapat memberi perhatian khusus mengenai permasalahan yang sedang dihadapi 100 kepala keluarga yang masih bertahan di lahan seluas 11.462 meter persegi itu," ujarnya.(TNA)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013
"Ternyata masih ada lahan seluas 11.462 meter persegi lagi yang belum selesai diganti rugi," kata anggota Komisi A DPRD Kabupaten Deli Serdang, Syarifuddin Rosha, di Lubuk Pakam, Kamis.
Sementara, lanjut dia, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) baru-baru ini telah mengumumkan bahwa seluruh lahan warga yang terkena proyek jalan arteri sudah selesai diganti rugi.
Khusus mengenai keberadaan lahan seluas 11.462 meter persegi yang hingga kini diklaim oleh 100 kepala keluarga, Pihak Pemprov Sumut tidak bersedia membayar ganti rugi karena lahan tersebut berstatus eks hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 2.
Padahal, menurut dia, dari laporan yang diterima Komisi A DPRD Deli Serdang, lahan seluas 11.462 meter persegi yang terkena pembangunan jalan arteri KNIA tersebut telah dihuni 100 kepala keluarga umumnya lebih dari 20 tahun.
Lokasi lahan seluas 11.462 meter persegi itu tersebar di Desa Telaga sari dan Desa Dalu X-A.
Warga di dua desa tersebut umumnya mempunyai surat keterangan tanah (SKT) yang dikeluarkan oleh kepala desa setempat dan Camat Tanjung Morawa.
Bahkan, kata Syarifuddin, sejak tahun 1997, ada lima camat yang pernah bertugas di Kecamatan Tanjung Morawa melegalisir sejumlah SKT tersebut dengan membubuhkan tanda tangan dan stempel.
Mencermati permasalahan tersebut, pihaknya menyarankan kepada Pemprov Sumut agar menerapkan kebijakan "win-win solution" atau saling menguntungkan antara warga yang mendiami lahan dengan pemerintah.
Kebijakan "win-win solution" itu, menurut dia, dapat direalisasikan Pemprov Sumut dengan membayar ganti rugi lahan sesuai dengan nilai jual objek pajak yang berlaku.
"Untuk merealisasikan kebijakan itu, tentunya dibutuhkan penambahan anggaran untuk ganti rugi lahan," ujarnya.
Ia mengasumsikan, jika harga lahan seluas 11.462 meter persegi itu dipatok sebesar Rp75 ribu per meter, berarti anggaran untuk pembebasan lahan yang dialokasikan pemerintah menjadi bertambah sekitar Rp960 juta.
Sedangkan mengenai payung hukum pembayarannya, menurut dia, bisa dirembukkan oleh Pemprov Sumut dengan DPRD setempat.
Dikatakan Syarifuddin, dalam hal penambahan anggaran pembangunan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, seyogyanya perlu diakomodir dan dimasukkan dalam skala prioritas.
Penyelesaian pembangunan jalan alteri menuju KNIA, kata dia, merupakan kebutuhan nasional.
Oleh karena itu, menurutnya, menjadi kewajiban semua warga negara untuk menyukseskan pembangunan infrastruktur bandara yang direncanakan beroperasi sebelum akhir tahun 2013 itu.
"Kami juga berharap Gubernur Sumatera Utara dapat memberi perhatian khusus mengenai permasalahan yang sedang dihadapi 100 kepala keluarga yang masih bertahan di lahan seluas 11.462 meter persegi itu," ujarnya.(TNA)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013