Hari Tanpa Tembakau Sedunia atau HTTS diperingati setiap 31 Mei dan tema tahun ini adalah "Larang Total Iklan, Promosi dan Sponsor Rokok".

Tema yang diambil itu dinilai tepat karena industri rokok tampaknya terus gencar melayangkan iklan maupun menjadi sponsor dalam berbagai kegiatan, baik itu di media cetak, media elektronik, baliho, hingga menjadi pendukung konser musik.

Terus gencarnya industri rokok tersebut mempromosikan produk tembakau itu, membuat kalangan masyarakat antitembakau mengecam tindakan mereka.

Badan Khusus Pengendalian Tembakau-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) mengajak semua lapisan masyarakat melakukan gerakan melarang promosi dan sponsor rokok serta industri sigaret tidak lagi berkampanye kepada anak-anak dan remaja.

"Di Indonesia industri rokok memiliki kebebasan nyaris absolut untuk memasarkan produknya kepada anak-anak dan remaja tanpa ada kebijakan kuat untuk membatasi," kata Ketua TCSC-IAKMI dr Kartono Mohamad.

Menurut mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia atau IDI tersebut ,berbeda dengan yang terjadi di negara lain, mereka memberlakukan larangan iklan rokok, promosi dan sponsor dengan sangat ketat, sementara di Indonesia hal itu belum dilakukan.

Industri rokok di Indonesia menghabiskan sedikitnya Rp1,6 triliun untuk belanja iklan.

Menurut Kartono, studi penelitian di DKI Jakarta menunjukkan 99,7 persen remaja melihat iklan rokok di televisi, sebanyak 86,7 persen remaja melihat iklan rokok di media luar ruang, sebanyak 76,2 persen remaja melihat iklan rokok di koran dan majalah, dan 81 persen remaja melihat iklan rokok di berbagai kegiatan yang disponsori industri rokok.

Sebanyak 37,3 persen remaja laki-laki usia 15-19 tahun merokok dan kenaikan prevalansi perokok remaja meningkat tiga kali lipat pada rentang waktu 1995-2007.

Sementara penelitian yang dilakukan Komnas Perlindungan Anak (2007) menunjukkan 70 persen remaja merokok karena pengaruh iklan.

"Tidak dapat disangkal lagi bahwa iklan, promosi, sponsor dan CSR rokok harus dilarang," kata Kartono.

Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) bersama beberapa organisasi anggotanya dalam memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2013 juga menyatakan aksi menolak kegiatan iklan, promosi, dan sponsor rokok.

Ketua Komnas PT Prijo Sidipratomo mengatakan biaya ekonomi yang dikeluarkan untuk menangani masalah kesehatan akibat rokok sebenarnya lebih besar dari bea yang didapat dari industri rokok.

"Sebagaimana kita ketahui prevalensi perokok akibat kebiasaan merokok terus meningkat. Bahkan, lebih dari 50 persen perokok adalah orang miskin," kata Prijo.

Hal itu, kata dia, tidak terlepas dari iklan dan promosi rokok yang terus gencar dilakukan oleh industri rokok untuk mempengaruhi masyarakat, khususnya bagi generasi muda yang cenderung mudah terjerat dalam kebiasaan merokok.

Seruan WHO
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyerukan kekhawatiran atas fakta bahwa tiga dari empat anak berusia antara 13-15 tahun terpapar iklan prorokok dan pesan-pesan pro tembakau di kegiatan olahraga dan acara lainnya.

"Iklan semacam ini telah terbukti bisa mempengaruhi mereka untuk mulai merokok," kata WHO Regional Director for South-East Asia (WHO SEARO) Dr Samlee Plianbangchang.

WHO menyerukan negara anggotanya untuk melarang iklan, promosi maupun kegiatan sponsor produk tembakau dengan memperkuat aturan dan penegakan hukum yang lebih tegas, untuk mencegah penyakit terkait tembakau.

Di Asia Tenggara, setiap tahun diperkirakan sekitar 1,3 juta orang meninggal dunia akibat penyakit yang berkaitan dengan tembakau.

Produk tembakau merupakan satu-satunya yang tersedia di pasaran secara legal yang dapat membunuh hingga separuh dari penggunanya jika dikonsumsi sesuai rekomendasi produsen.

WHO mengawasi dan menarik perhatian global terhadap aktivitas dan kegiatan industri tembakau agar tetap sesuai dengan Resolusi Sidang Umum Kesehatan Dunia (WHA) bernomor WHA54.18 dan WHO "Framework Convention on Tobacco Control".

"Statistik menunjukkan bahwa pelarangan iklan dan 'sponsorship' tembakau adalah salah satu cara paling efisien dari segi biaya , untuk mengurangi permintaan atas tembakau," ujar Plianbangchang.

Larangan iklan, promosi dan sponsorship tembakau secara komprehensif juga telah terbukti dapat mengurangi konsumsi tembakau rata-rata sebesar tujuh persen, dengan beberapa negara mengalami penurunan konsumsi hingga 16 persen.

"Upaya yang kita lakukan harus berfokus pada pencegahan anak-anak terpapar kepada segala bentuk iklan tembakau, promosi dan sponsorship," kata Plianbangchang.

Selain itu, Plianbangchang juga menekankan bahwa dibutuhkan penegakan aturan yang melarang penjualan tembakau bagi anak-anak.

Pengawasan yang efektif, penegakan hukum dan sanksi, ditambah kesadaran masyarakat yang tinggi sangat penting untuk penerapan larangan iklan, promosi dan sponsorship tembakau secara komprehensif.

Plianbangchang mengatakan meskipun sebagian besar negara telah memiliki aturan untuk mengontrol tembakau, masih butuh peningkatan bagi penegakan aturannya.

Riset menyatakan bahwa satu dari 10 siswa memiliki barang yang berlogo produk rokok dan satu dari 10 siswa pernah ditawari rokok oleh perusahaan rokok di wilayah tersebut.

Survei itu juga menyatakan tujuh dari 10 siswa melihat nama merek rokok ketika menonton acara olahraga di televisi.

"Begitu anak muda bereksperimen dengan tembakau, mereka lebih mudah untuk menjadi konsumen rokok ketika dewasa," kata Plianbangchang.

UU Kesehatan di Indonesia telah mencakup beberapa hal seperti kawasan bebas rokok, peringatan kesehatan bergambar dan pembatasan iklan dan promosi tembakau.(A025)

Pewarta: Ahmad Wijaya

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013