Jakarta, 12/4 (Antara) - Adat menjadi salah satu hambatan bagi perempuan di beberapa daerah untuk mendaftar sebagai bakal calon legislatif, kata Penggiat Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan Yudha Irlang.
"Adat memang salah satu pagar penghalang, tapi itu bukan satu-satunya," kata Yudha Irlang saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Yudha mengatakan, perempuan di Bali misalnya, berkewajiban untuk mempersiapkan upacara adat dan kegiatan keagamaan lain setiap hari sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk mengenal politik.
Karena itu, lanjut Yudha, partai politik perlu melakukan pendekatan dengan tokoh adat untuk meningkatkan kesadaran bahwa setiap warga negara memiliki hak politik yang sama.
"Sebetulnya ini bukan masalah perempuan dan laki-laki saja, tapi soal hak politik warga negara," kata Yudha.
Selain itu, Yudha mengemukakan, beberapa daerah lain di Indonesia seperti Maluku, Kalimantan, dan Papua menganggap tabu perempuan yang bekerja di ranah publik.
"Kalau perempuan bekerja di ladang itu malah biasa sekali, tapi kalau di ranah publik seperti politik itu masih dianggap tabu, ini karena kurangnya pendidikan politik dari parpol maupun pemerintah," kata Yudha.
Selayaknya, lanjut Yudha, parpol dan pemerintah menjangkau berbagai daerah terpencil di Indonesia untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Namun, karena waktu penyerahan Daftar Calon Legislatif Sementara (DCS) yang mengharuskan 30 persen keterwakilan perempuan akan berakhir pada 22 April, pendidikan politik dapat dilakukan setelah para wakil rakyat terpilih dan duduk di kursi parlemen.
"Nanti calon yang terpilih memiliki pekerjaan rumah untuk memberikan pendidikan politik di daerah mereka masing-masing agar perempuan dan masyarakat melek politik," kata Yudha.(S038)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013
"Adat memang salah satu pagar penghalang, tapi itu bukan satu-satunya," kata Yudha Irlang saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Yudha mengatakan, perempuan di Bali misalnya, berkewajiban untuk mempersiapkan upacara adat dan kegiatan keagamaan lain setiap hari sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk mengenal politik.
Karena itu, lanjut Yudha, partai politik perlu melakukan pendekatan dengan tokoh adat untuk meningkatkan kesadaran bahwa setiap warga negara memiliki hak politik yang sama.
"Sebetulnya ini bukan masalah perempuan dan laki-laki saja, tapi soal hak politik warga negara," kata Yudha.
Selain itu, Yudha mengemukakan, beberapa daerah lain di Indonesia seperti Maluku, Kalimantan, dan Papua menganggap tabu perempuan yang bekerja di ranah publik.
"Kalau perempuan bekerja di ladang itu malah biasa sekali, tapi kalau di ranah publik seperti politik itu masih dianggap tabu, ini karena kurangnya pendidikan politik dari parpol maupun pemerintah," kata Yudha.
Selayaknya, lanjut Yudha, parpol dan pemerintah menjangkau berbagai daerah terpencil di Indonesia untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Namun, karena waktu penyerahan Daftar Calon Legislatif Sementara (DCS) yang mengharuskan 30 persen keterwakilan perempuan akan berakhir pada 22 April, pendidikan politik dapat dilakukan setelah para wakil rakyat terpilih dan duduk di kursi parlemen.
"Nanti calon yang terpilih memiliki pekerjaan rumah untuk memberikan pendidikan politik di daerah mereka masing-masing agar perempuan dan masyarakat melek politik," kata Yudha.(S038)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013