Jakarta (ANTARA) - Dosen Antropologi dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Rosramadhana mengatakan dokumentasi sejarah mengenai rekam jejak para pahlawan perempuan masih minim, sehingga masyarakat tidak banyak mengetahui kisah mereka yang berperan dalam kemerdekaan dan pembangunan bangsa.
“Sebenarnya ini persoalan klasik. Masyarakat tidak memahami tentang pejuang-pejuang perempuan itu, tentu salah satunya karena kurangnya bahkan ketiadaan dokumentasi dan publikasi terkait dengan para pahlawan perempuan ini,” kata Rosramadhana dalam webinar yang diikuti di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan, buku-buku yang berkaitan dengan sejarah dan antropologi juga cenderung lebih banyak berbahasa Belanda. Dalam hal ini, arsip-arsip yang terkait dengan pergerakan perempuan di Indonesia tersimpan dalam arsip-arsip Belanda. Di sisi lain, Indonesia kekurangan sumber daya manusia yang mampu menerjemahkan arsip-arsip tersebut.
Rosramadhana mengamini bahwa pahlawan-pahlawan perempuan yang lebih dikenal masyarakat, seperti R.A. Kartini, Dewi Sartika, dan Cut Nyak Dhien, telah banyak disebut dalam buku-buku sejarah. Sayangnya, penulisan sejarah mengenai perempuan pejuang kerap bias gender dan tidak holistik.
“Dalam penulisan metode sejarah, ada yang namanya historiografi. Dalam penulisan historiografi itu, seyogianya seorang penulis harus benar-benar mengungkap kisah itu dari kehidupan tokoh di depan layar maupun di balik layar. Tapi lagi-lagi, sejarawan masih bias gender. Yang lebih dicatat itu adalah peran laki-laki dibandingkan peran perempuan-perempuannya. Inilah yang menjadi problem besar,” jelas dia.
Para tokoh perempuan yang mendapat pengakuan sebagai pahlawan nasional juga hanya sebatas diperkenalkan dari kisah permukaannya saja dan tidak mendalam. Dampaknya, masyarakat menjadi kurang mengenal mereka yang memiliki peran besar di masa lalu.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, menurut Rosramadhana, kunci utamanya yaitu mengedepankan upaya untuk berliterasi tinggi terhadap pembacaan-pembacaan arsip-arsip dan pendokumentasian sejarah. Ia juga mendorong pemerintah untuk menghadirkan museum yang lebih spesifik untuk mengedepankan tentang pergerakan perempuan.
Selain itu, orang muda juga didorong untuk memanfaatkan platform media sosial untuk memopulerkan kisah-kisah pahlawan perempuan tidak saja pada hari peringatan tertentu melainkan dilakukan secara rutin.
“Misalnya podcast yang bisa kita jadikan sebagai platform yang digunakan untuk memopulerkan para pahlawan ini. Saya rasa lebih efisien untuk bisa mencari solusi dalam kegiatan-kegiatan bersama,” kata dia.
Senada dengan Rosramadhana, Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang juga mendorong kelompok muda atau mahasiswa untuk mengangkat kisah pahlawan perempuan melalui media sosial, terutama pahlawan perempuan yang selama ini jarang dikenali masyarakat.
“Sebenarnya cukup banyak, misalnya bisa saja bikin flyer atau film dokumenter singkat sehingga bisa menarik animo publik, termasuk juga pemerintah untuk mengenali para pahlawan perempuan ini. Karena kalau tidak, kita akan semakin banyak kehilangan. Sama seperti misalnya bukti-bukti sejarah kita yang banyak diambil alih oleh Belanda. Jangan sampai justru bangsa lain yang akan mengangkat kisah-kisah pahlawan perempuan di Indonesia. Itu akan menjadi sangat miris,” kata dia.
Very mengatakan, Komnas Perempuan telah membuat langkah awal dengan memperkenalkan tokoh-tokoh perempuan yang jarang dikenali publik. Ia berharap, langkah ini dapat diteruskan dan dikembangkan oleh kelompok lainnya termasuk kelompok orang muda.
Very mengatakan, Komnas Perempuan akan terus mengampanyekan betapa pentingnya mengenali dan mengakui perempuan pahlawan perempuan di Indonesia. Adapun pada tahun ini, Komnas Perempuan memperkenalkan tiga pahlawan perempuan antara lain Ratu Ageng Tegalrejo, S.K. Trimurti, dan R.A. Soetartinah.
Mengutip data dari Kementerian Sosial (Kemensos), hingga tahun 2023 tercatat sebanyak 206 pahlawan yang diberikan gelar oleh negara. Namun, ujar Very, hanya 16 tokoh perempuan yang diakui dari total 206 pahlawan nasional tersebut.
“Kami berharap bahwa pahlawan perempuan siapapun ada di antara pahlawan-pahlawan yang akan diberikan gelar pahlawan pada tahun 2024,” kata Very.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi: Dokumentasi rekam jejak pahlawan perempuan masih minim