Jakarta (ANTARA) - Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Pemerintah Untuk Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito mengatakan pemerintah daerah, khususnya wilayah kepulauan bisa mencontoh Singapura yang berpenduduk 5,6 juta jiwa dalam mengendalikan penularan virus corona tipe baru.
"Kita bisa belajar dari Singapura untuk provinsi atau kabupaten/kota yang daerahnya terdiri dari pulau-pulau, kita bisa contoh itu. Kalau sebagai negara besar, kita bisa belajar dari Tiongkok untuk mengendalikan penularannya," kata Prof Wiku dalam dialog daring "Perkembangan Penangan COVID-19: Belajar dari Negara Lain" di Jakarta, Selasa (5/1).
Dengan melakukan pelacakan, tes usap, isolasi (3T) lebih awal, menurut Wiku, mereka bisa memutus mata rantai penularan virus tersebut, sehingga kasus aktif COVID-19 menjadi sedikit.
Baca juga: Inggris kembali berlakukan 'lockdown', varian baru COVID-19 menggila
Yang terjadi di Indonesia masih banyak virus bersirkulasi karena diberi kesempatan oleh orang Indonesia yang masih berkerumun. "Kalau mereka melakukan 3M harusnya tidak menulari lagi. Jadi yang diperlukan, kita mencegah virus itu menulari lagi," katanya.
Ia menegaskan, Indonesia bisa melakukan pengereman penularan COVID-19 dengan membatasi mobilitas. Jika di bulan Maret-April 2020 peningkatan 50.000 kasus butuh waktu empat bulan, tapi di November-Desember 2020 hanya butuh waktu enam hari.
"Kalau mobilitas tinggi lalu penularannya tinggi terus maunya dites saja apa gunanya, sama saja menggarami laut. Angka kasus positif kita sekarang tinggi, sampai 18 persen. Jadi kita tidak bisa hanya tes saja tanpa rem. Mudahnya ya jangan berkerumun, 3M dilaksanakan, jangan biarkan virus menular," ujar Wiku.
Kalau daerah dapat melakukan seperti yang dilakukan Singapura, penularan virus ini bisa diselesaikan. Jadi, ia mengatakan, jangan melihat semuanya dari pusat, karena kemampuan daerah kendalikan COVID-19 itu yang perlu juga dilihat.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura Suryopratomo mengatakan sejak 28 Desember 2020, Singapura masuk fase tiga sehingga pengawasan relatif lebih longgar. Jika sebelumnya warga hanya diperbolehkan maksimal berlima makan di restoran sekarang boleh berdelapan, pertemuan yang sebelumnya maksimal 50 orang sekarang boleh 200 orang.
Namun itu dapat terjadi karena kurva penularan COVID-19 di negara tersebut sangat rendah bahkan tidak ada, katanya. Pengawasannya pelaksanaan protokol kesehatan sangat ketat, itu karena mereka belajar dari bulan April 2020 saat ditemukan 1.300 kasus aktif dari warga atau pendatang yang pulang dari Inggris.
"Sehingga ketat sekali. Praktis sekarang tidak ada penularan," ujar dia.
Di Singapura pengawasan tempat-tempat publik dilakukan di mana-mana bukan oleh aparat tetapi oleh masyarakat biasa yang menggunakan rompi berwarna khusus. Mereka masuk ke kawasan yang banyak terjadi kerumunan, mengingatkan mereka, jika tidak berhasil mereka akan foto dan dikirimkan ke aparat.
Pihak kepolisan yang akan mendatangi kerumunan tersebut lalu menerapkan denda. Jika ketahuan sudah dua kali melanggar protokol kesehatan akan didenda 600 dolar Singapura, dan jika tertangkap melanggar lagi akan didenda dua kali lipat dari yang sebelumnya sehingga membuat orang kapok.