Jakarta (ANTARA) - Pelaksana Tugas (Plt) Deputi II KSP bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Ekologi dan Budaya Strategis Abetnego Tarigan menjawab kritikan terhadap keputusan untuk menaikkan iuran peserta mandiri Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
"Dengan angka segitu itu yang memang punya prospek sustainability, keberlanjutan pengelolaan BPJS itu. Memang mereka dari Kementerian Keuangan mengatakan perhitungan itu juga sudah memperhitungkan terkait dengan ability to pay dalam melakukan pembayaran," kata Abetnego di Jakarta, Kamis.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan iuran peserta mandiri kelas I naik 87,5 persen dari Rp80 ribu menjadi Rp150 ribu dan kelas II naik 96,07 persen dari Rp51 ribu menjadi Rp100 ribu.
Baca juga: Anggota DPR tetap tolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan
Baca juga: Pemerintah siapkan Rp3,1 triliun untuk subsidi peserta BPJS kelas III
Selanjutnya iuran peserta mandiri kelas III baru akan naik tahun depan. Pemerintah menaikkan iuran peserta mandiri kelas III sebesar 37,25 persen dari Rp25.500 menjadi Rp35 ribu.
Sebelumnya, Mahkamah Agung membatalkan Perpres No. 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang memuat soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pada Perpres 75 tahun 2019 yang sudah dibatalkan itu menyebut iuran peserta mandiri kelas I sebesar Rp160 ribu, kelas II sebesar Ro110 ribu dan kelas III sebesar Rp42 ribu.
Baca juga: Kemenkeu sebut kenaikan iuran BPJS telah pertimbangkan putusan MA
"Paket di perpres yang baru adalah upaya untuk perbaikan keseluruhan sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), jadi dari kami sendiri di dalam diskusi memperkuat upaya perbaikan tata kelola dari JKN kita," tutur Abetnego.
Dalam perpres No. 64 tahun 2020 itu juga mengatur iuran bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah Pusat.
Semula, peserta PBI terbagi menjadi PBI pusat dan PBI daerah atau PBI APBD, artinya pembayaran PBI bagi 40 persen dari penduduk ekonomi terbawah di Indonesia berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DKTS) ditanggung pemerintah pusat.
Sedangkan nantinya pemerintah daerah akan menanggung sebagian iuran peserta mandiri Kelas III.
Baca juga: BPJS Kesehatan akan tindak tegas faskes terbukti langgar perjanjian kerja sama
"Jadi yang dibatalkan terkait dengan dilakukan penyesuaian. Kemudian penyesuaian dilakukan pemerintah caranya adalah yang PBI pasti dibayar pemerintah tapi yang bukan PBI itu tetap bayar seperti dulu, selebihnya ada bantuan iuran pemerintah," ungkap Abetnego.
Bagi peserta mandiri yang kesulitan membayar tetap ada kesempatan untuk mengajukan diri sebagai peserta PBI melalui perbaikan data di Kementerian Sosial.
"Yang juga harus dilihat terus-menerus adalah upaya perbaikan sistem informasi ketersediaan tempat tidur RS sekarang kan sudah online, tidak ada lagi orang ditolak-tolak, kemudian prosesnya lebih cepat dan lain-lainnya," ucap Abetnego.
Ia pun menegaskan bahwa kenaikan tersebut demi perbaikan sistem dan tidak ada lagi keributan soal defisit BPJS yang justru memperlambat pemerintah dalam penyelesaian tanggung jawab ke rumah sakit.
"Jadi situasinya itu terbuka artinya terbuka untuk warga masyarakat menyesuaikan di kelas mana bahkan termasuk ketika banyak warga kita jadi PBI karena situasi pandemik COVID sehingga banyak keluarga yang jatuh miskin," ujar Abetnego.
Abetnego juga mengakui bahwa kondisi negara sedang dalam situasi solid akibat pandemik COVID-19. Ia pun terbuka bila ada kelompok masyarakat yang mengajukan uji materi ke MA terkait perpres tersebut.
"Setiap warga negara juga berhak menggunakan hak-haknya termasuk menggugat kebijakan pemerintah ke MA, tapi tentu pemerintah harus bisa menjelaskan situasinya kenapa angka-angka ini yang muncul," tutur Abetnego.
Dikritik soal kenaikan iuran PBJS, ini jawaban Istana
Kamis, 14 Mei 2020 18:13 WIB 1062