Wacana itu dimulai sejak masa Presiden Republik Indonesia Keenam, Susilo Bambang Yudhoyono tepatnya pada tanggal 26 Oktober 2010.
Setelah itu, DPR mulai membuka kepada publik mendesaknya merevisi UU KPK serta memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional 2011.
Ada sepuluh poin penting yang disampaikan Ketua Komisi III DPR 2009-2014, Benny K Harman.
Pertama, mengenai dengan kewenangan KPK untuk melakukan rekrutmen terhadap penyidik dan penuntut umum.
"Kami menginginkan itu menjadi kewenangan otonom KPK untuk mengambil penyidik dan penuntut umum, bisa dari polisi dan kejaksaan tapi kewenangan mengetesnya di KPK," kata Benny kepada wartawan di Kompleks Parlemen RI Senayan Jakarta, Selasa (25/10).
Benny memastikan revisi UU KPK justru membuat KPK memiliki standar tersendiri untuk rekrutmen sehingga semakin ditakuti para koruptor.
Kedua, revisi UU KPK berkaitan dengan fokus agenda pemberantasan korupsi ke depan yang harus dipertegas. Seperti tugas koordinasi, supervisi, penindakan, dan tugas reformasi birokrasi.
Ketiga, mengenai penyadapan. Bagaimana mengenai penyadapan ke depan. Apakah yang berlaku di UU Nomor 30 tahun 2002 dipertahankan atau ada yang diubah.
Misalnya, apakah kewenangan penyadapan dilakukan setelah seseorang ditetapkan menjadi tersangka atau belum. Sementara saat ini, ketika masih dalam penyelidikan, KPK sudah diberi kewenangan untuk menyadap.
Keempat, terkait pelaporan harta kekayaan pejabat negara yang tidak jelas. Sikap KPK cenderung deklaratif namun tidak konstitutif, maksudnya tidak memberikan sanksi jika warga negara tidak melakukan korupsi itu.
Kelima, mengenai kewenangan untuk melakukan penyitaan dan penggeladahan. Selama ini, kewenangan itu terlalu luas dilakukan KPK. Apakah diperlukan izin pengadilan atau tidak, itu kata Benny, harus diatur dalam UU KPK.
Keenam, mengenai kewenangan tidak menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), apakah perlu dipertahankan atau tidak.
Kewenangan menerbitkan SP3, kata Benny, perlu diatur karena KPK adalah extraordinary agency, sehingga harus ada kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Ketujuh, berkaitan dengan prinsip kolektif kolegial. Apakah prinsip kolektif kolegial itu berlaku juga untuk pengangkatan, seleksi, pemilihan dan penetapan pimpinan KPK atau tidak.
Kedelapan, berkaitan dengan politik hukum fundamental KPK, ke depan akan mengutamakan penindakan atau pencegahan korupsi. Itu akan diperjelas.
Menurut Benny, kalau KPK mengutamakan penindakan, maka harus dibentuk lembaga baru untuk pencegahan. Atau KPK fokusnya pencegahan sedang penindakan diberikan polisi atau kejaksaan. Kalau dua-duanya maka akan overload.
Kesembilan, terkait skala penanganan kasus tindak pidana korupsi yang bernilai di atas Rp1 miliar. Ke depan, menurut Benny, KPK menangani kasus yang di atas Rp10 miliar.
Kesepuluh, terkait fokus KPK untuk menyelamatkan uang negara atau menghukum orang.
"Harus fokus, selama ini lebih fokus pada menghukum orang. Jadi lebih pada kriminalisasi daripada mengembalikan uang negara," tutur Benny.
Ada batasnya
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Luhut Pangaribuan, independensi KPK harus ada batasnya.
"Profesi juga begitu, misalnya, yang independen, tetap dibatasi dengan kode etik dan juga ada orang luar yang mengadilinya.
Menurut Luhut, UU KPK yang lama itu tidak selaras dengan peradilan hukum pidana. Hal itu disebabkan karena sewaktu UU itu disahkan, rakyat sedang marah terhadap korupsi.
"Kita menganggap ada darurat terhadap korupsi. Cuma itu diterjemahkan dalam UU KPK yang lama itu tidak simetris dan mengakibatkan ada pro dan kontra," ujar Luhut di Jakarta, Jumat (4/10).
Menurut Luhut, jangan sampai UU KPK menimbulkan penyalahgunaan wewenang sebab ada potensi untuk melakukan itu. Oleh karena itu, pengawasan internal memang diperlukan melalui adanya Dewan Pengawas.
Namun, tak dapat ditampik bahwa kehadiran lembaga KPK membuat pejabat negara harus berpikir dua kali jika ingin melakukan korupsi.
Presiden Joko Widodo juga memaparkan data saat debat Pilpres 2019 keempat yang digelar pada 30 Maret 2019, bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia terus mengalami perbaikan sehingga kini berada di angka 38.
Jokowi saat itu melihat data pada 1998, Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia saat itu adalah 20, di mana ketika itu Indonesia dianggap menjadi negara terkorup di Asia.
Namun, sikap Presiden Jokowi terhadap KPK seperti berbanding terbalik setelah Pilpres 2019 ia menangkan. Padahal, sebelum Pilpres, Presiden Jokowi dua kali meminta DPR untuk menunda pembahasan revisi UU KPK, yaitu pada 13 Oktober 2015 dan 22 Februari 2016. Salah apa KPK?
Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV bidang komunikasi Kantor Staf Kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalin mengatakan Presiden Jokowi sebenarnya ingin agar revisi UU KPK bisa memberikan asas kepastian hukum dan keadilan bagi tersangka tindak pidana korupsi.
Ia memberi contoh pada kasus Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dan Mantan anggota dewan Gubernur Bank Indonesia Siti Chalimah Fadjriyah yang tidak mendapat kepastian hukum atas kasus dugaan korupsi yang menjeratnya.
"Bahkan sampai meninggal dunia, (tidak mendapat kepastian hukum). Mereka terus dibuat menjadi tersangka bertahun-tahun, itu sama saja dengan membuat orang hidup segan mati tak mau. Masuk lorong keluar lorong, masuk Mal keluar Mal dengan satu hukuman yang luar biasa," ujar Ali.
Anggota DPR-RI dari Fraksi PKS Nasir Djamil mengatakan revisi UU KPK ini sebenarnya sudah dibahas berkali-kali oleh DPR, serta sudah mengundang beberapa tenaga ahli yang berkompeten.
Sehingga anggapan UU KPK dikeluarkan terburu-buru dengan agenda tertentu itu tidak benar. Ia tidak menampik jika setiap kali pembahasan revisi ingin dilakukan, selalu mengundang protes karena dinilai melemahkan KPK.
Stigma ini sering kali dimunculkan untuk membangun narasi yang tidak ilmiah.
‘"Kita tidak tergesa-gesa untuk mengesahkannya UU ini, kita masih punya waktu untuk mendengarkan masukan masyarakat demi KPK yang lebih baik," ucap Nasir.
Menjelang masa akhir jabatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019 telah berhasil menuntaskan revisi UU KPK. Revisi UU itu kemudian juga disetujui oleh Presiden Jokowi.
Berbagai kalangan menilai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh KPK seringkali mengabaikan hak asasi manusia (HAM) baik dengan menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa melalui proses dan beragam bukti yang mendukung, hingga penetapan status hukum yang sering menjadi terkatung-katung dalam waktu yang lama.
Selain itu, tindakan penyadapan seringkali menyangkut hal pribadi yang melibatkan keluarga dan relasi tersangka yang tidak ada hubungannya dengan kasus tindak pidana korupsi.
Perhatikan HAM
Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita, revisi UU KPK yang baru disahkan itu menjadikan KPK lebih memperhatikan hak asasi manusia.
Apalagi dengan adanya kewenangan menerbitka SP3 yang akan memberi kepastian hukum kepada tersangka kasus korupsi, sehingga nama baiknya bisa dipulihkan bila memang tidak ditemukan adanya bukti-bukti pendukung yang kuat keterlibatannya dalam kasus kejahatan yang merugikan negara tersebut.
Kehadiran Dewan Pengawas (Dewas) untuk memberi izin penyadapan kepada seseorang yang terindikasi melakukan kasus korupsi juga dirasa penting untuk mengontrol tindakan penyelidik lembaga itu dari dalam (internal KPK).
Menurut Romli, dalam UU KPK yang baru, tidak ada satupun tugas KPK yang dikurangi, malah tugas KPK menjadi bertambah dengan adanya fungsi pertimbangan HAM.
KPK juga tidak perlu khawatir dengan hadirnya dewan pengawas, karena semua badan/ lembaga di Indonesia termasuk Presiden sekali pun juga diawasi. Yang paling penting diperhatikan adalah aturan main yang akan berlaku bagi Dewas itu. The man behind the gun-nya harus maksimal.
Masyarakat perlu melihat kinerja Dewas dan mengontrol jika memang Dewas tidak bekerja maksimal. Karena menurut Romli, jika fungsi Dewas tidak maksimal mengontrol KPK, maka KPK perlu dibubarkan daripada menghabiskan anggaran negara tanpa memberi hasil maksimal atas pengembalian aset negara dari kasus korupsi.
Ketua Peradi, Luhut Pangaribuan juga memandang revisi UU itu memiliki politik hukum yang lebih baik dibandingkan UU lama yang banyak bertentangan dengan HAM.
Namun, jika memang ada protes yang diberikan oleh masyarakat, ia berpendapat itu wajar. Hanya saja, tidak perlu dengan melakukan demonstrasi ataupun kericuhan.
"Dengan melihat kondisi yang berkembang saat ini, bila ada pihak-pihak yang tidak menerima revisi UU ini, lakukan saja judicial review, tidak perlu memaksa pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)," ujar Luhut.
Anggota DPR-RI dari Fraksi PKS Nasir Djamil setuju dengan usulan tersebut. "Kita adalah negara hukum yang demokratis, sehingga bila ada pandangan yang tidak sejalan, silahkan melalui judicial review," tegas Nasir.
Menurut Ali Mochtar Ngabalin, revisi UU KPK itu telah diputuskan oleh DPR yang adalah perwakilan seluruh rakyat Indonesia, sehingga UU KPK adalah representasi wajah Republik Indonesia. Namun, pemerintah tidak menutup pintu dialog jika memang ada rakyat yang ingin memberi masukan.
"UU ini sudah menjadi keputusan seluruh rakyat Indonesia, ketika ada masukan dari masyarakat, kami masih membuka ruang untuk berdialog," ujar Ali.