Jakarta (ANTARA) - Pada hari Kamis (27/6) pukul 12.30 WIB Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman membuka jalannya sidang pembacaan putusan untuk hasil Pemilihan Umum Presiden 2019 yang dimohonkan oleh pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno.
Dalam pembukaan itu, Anwar menegaskan kembali bahwa sembilan hakim konstitusi hanya takut kepada Allah Swt. Oleh karena itu, majelis hakim telah berusaha sedemikian rupa untuk mengambil putusan dalam perkara ini berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dan terbukti dalam persidangan.
Pada pukul 21.20 WIB, akhirnya Anwar membacakan amar putusan Mahkamah yang berbunyi, "Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya karena seluruh dalil permohonan tersebut tidak dapat dibuktikan sehingga dianggap tidak beralasan menurut hukum."
Putusan tersebut secara tidak langsung menyatakan pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin memenangi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI.
Pasangan Prabowo-Sandi sendiri mengajukan 25 dalil permohonan. Namun, dimentahkan seluruhnya oleh Mahkamah karena tidak terbukti.
Selain itu, Mahkamah juga memberikan pertimbangan hukum untuk dalil-dalil permohonan tersebut.
Menolak Eksepsi
Terkait dengan permohonan eksepsi pihak termohon (Komisi Pemilihan Umum) dan pihak terkait (Jokowi-Ma'ruf). Eksepsi itu meminta Mahkamah untuk menolak perbaikan permohonan Prabowo-Sandi yang diserahkan pada tanggal 10 Juni 2019.
"Terhadap keberatan atau eksepsi termohon atau pihak terkait, sepanjang berkaitan dengan naskah menurut pemohon adalah perbaikan permohonan, harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum," ujar hakim konstitusi Saldi Isra.
Dalam pertimbangannya, Mahakamah berpendapat bahwa pihak terkait yaitu pasangan Jokowi-Ma'ruf, dan pihak termohon yaitu KPU telah menanggapi dalil-dalil serta petitum pemohon dari permohonan tertanggal 10 Juni 2019, terlepas secara substansial bahwa termohon, pihak terkait, dan Bawaslu menyatakan menolak permohonan pemohon tersebut.
Selain itu, Mahkamah juga telah memberikan kesempatan bagi pihak terkait dan termohon untuk memberikan keterangan, jawaban, dan pendapatnya secara luas, bahkan memberi 1 hari kelonggaran waktu untuk memperbaiki dan melengkapi jawaban serta keterangan.
Mahkamah menyatakan sikap bahwa di satu sisi tidak ada keinginan untuk tidak melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan dan peraturan MK. Namun, di sisi lain Mahkamah juga harus memperhatikan rasa keadilan para pihak, terutama karena peesoalan teknis yang terjadi.
Pertimbangan dalil
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi tidak menemukan adanya intimidasi yang disebabkan ajakan menggunakan baju putih pada hari pemungutan suara oleh pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, sebagaimana didalilkan oleh pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Hakim konstitusi Arief Hidayat yang membacakan pertimbangan Mahkamah menyebutkan bahwa tidak ditemukan pengaruh ajakan tersebut terhadap perolehan suara pemohon, maupun suara untuk Jokowi-Ma'ruf selaku pihak terkait.
"Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa dalil permohonan tersebut tidak relevan dan karenanya harus dikesampingkan," katanya.
Mahkamah juga tidak menerima dalil yang mengatakan ada ketidaknetralan aparat negara dalam Pemilu 2019.
Hakim konstitusi Aswanto menyebutkan bahwa Mahkamah mempertimbangkan bukti saksi Rahmadsyah. Namun, Mahkamah tidak menemukan bukti yang meyakinkan tentang kebenaran yang oleh pemohon didalilkan sebagai ketidaknetralan aparat negara.
Rahmadsyah dalam kesaksiannya mengaku menerima laporan ketidaknetralan oknum polisi. Dugaan polisi yang mendata kekuatan dukungan calon presiden hingga ke desa, menurut Mahkamah, tidak cukup bukti karena hanya dibuktikan oleh fotokopi tanpa ada alat bukti lainnya.
Selain itu, video dugaan ada ajakan presiden untuk mendukung Pasangan Calon 01, majelis hakim menyatakan telah memeriksa secara saksama bahwa video tersebut berisikan permintaan atau imbauan presiden kepada jajaran Polri dan TNI untuk menyosialisasikan program pemerintah. Hal tersebut, menurut hakim, adalah sesuatu yang wajar dilakukan oleh seorang kepala negara.
Gugatan lainnya yang didalilkan pemohon adalah ada kedekatan antara Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Budi Gunawan dengan Ketua Umum PDIP Megawati. Mahkamah mempertimbangkan jika dalil tersebut tidak serta-merta berarti BIN mendukung pasangan calon 01.
Anggota majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Enny Nurbaningsih menyatakan bukti video adanya perubahan hasil rekapitulasi suara dari sistem informasi penghitungan suara (situng) KPU yang membuat pemohon kehilangan suara, ternyata hanyalah narasi dari akun media sosial Facebook.
Perihal bimbingan teknis untuk petugas saksi oleh Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf, tidak dipertimbangkan oleh Mahkamah karena tidak masuk di dalam dalil permohonan.
"Karena perihal training of trainers tidak didalilkan oleh pemohon, tidak ada relevansinya bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan itu lebih jauh," kata hakim Wahiduddin Adams saat membacakan pertimbangan Mahkamah dalam putusan.
Pemohon juga mendalilkan bahwa cara lembaga pers atau penyiaran mengkaji kerja-kerja jurnalistiknya merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak lainnya.
Dalil pemohon tersebut dinilai menarik oleh Mahkamah sebagai objek kajian komunikasi politik. Akan tetapi, tidak sebagai bukti hukum yang menuntut sebagai hubungan sebab akibat yang memengaruhi jumlah perolehan suara.
Pemohon dalam dalilnya menguraikan pihaknya memperoleh 52 persen atau 68.650.239 suara, sedangkan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebanyak 63.573.169 atau 48 persen suara.
Namun, menurut hasil rekapitulasi yang dilakukan secara berjenjang di tingkat TPS, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional oleh pihak termohon (KPU), Pasangan Calon Nomor Urut 01 unggul dengan perolehan suara 85.607.362 suara, sedangkan Pasangan Calon Nomor Urut 02 dengan 68.650.239 suara.
Majelis hakim pun mempertimbangkan, pemohon untuk membenarkan dalilnya tidak melampirkan bukti hasil rekapitulasi perolehan suara yang lengkap untuk 34 provinsi. Selain itu, bukti yang dilampirkan oleh pemohon, menurut juga tidak lengkap bagi seluruh TPS.
Dalil pemohon terkait adanya TPS siluman juga tidak beralasan menurut hukum karena pada dalil tersebut tidak ada yang dapat memastikan bahwa keberadaan TPS tambahan beserta para pemilih telah pasti mendukung salah satu pasangan calon.
Justru sebaliknya, hakim menyebut pemohon hanya dapat membuktikan tentang data jumlah TPS di seluruh Indonesia dan tidak memerinci lebih lanjut TPS siluman yang dimaksud.
Terkait dengan dalil pemohon yang menyatakan banyaknya kesalahan input data pada laman Situng KPU yang mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian data pada Situng dengan data yang terdapat pada C1 di 34 Provinsi Seluruh wilayah Indonesia, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 secara jelas mengatakan apa yang tertera di dalam laman Situng KPU bukanlah hasil resmi karena hasil resmi adalah hasil penghitungan suara manual yang dilakukan secara berjenjang.
"Apabila sistem keamanan Situng bermasalah, laman Situng tidak dapat digunakan sebagai dasar rekapitulasi berjenjang untuk menentukan hasil akhir perolehan suara pasangan calon dalam Pilpres 2019," ujar Arief.
Selain itu, Mahkamah mengungkapkan bukti dari dalil tersebut ternyata tidak pernah diserahkan kepada Mahkamah dan tidak disahkan sebagai alat bukti.
Terakhir, Mahkamah menolak argumentasi pemohon terkait posisi Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden karena kedudukannya di anak perusahaan BUMN yakni di BNI Syariah dan Mandiri Syariah sebagai Dewan Pengawas Syariah.
Mengenai hal itu, Mahkamah menjelaskan bahwa tidak ada modal atau saham yang dimiliki negara secara langsung maka BNI Syariah dan Mandiri Syariah tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan anak BUMN karena didirikan berdasarkan penyertaan saham, hal itu sebagaimana tertuang dalam UU Perbankan.
Selain itu, Mahkamah juga menyatakan bahwa dewan pengawas syariah merupakan lembaga yang memberi jasa ke bank syariah seperti halnya akuntan publik, konsultan hukum, di luar direksi, komisaris, dan karyawan bank syariah atau umum yang memiliki unit usaha syariah.
"Oleh sebab itu dalil pemohon tidak terbukti dan tidak relevan sehingga dianggap tidak beralasan menurut hukum," pungkas Hakim Konstitusi Arief Hidayat.