Panyabungan (Antaranews Sumut) – Guna mempertahankan keberagaman budaya Indonesia belasan organisasi kemahasiswaan yang terdiri dari Ima Madina, Imapasbar kota Padang, Imlu, Imlabsel, Hmp2 Paluta, Imapas, Mac, Linma, Kamus, Himadumpas, Ima Palas, Himsu, Iks, Saroha, dan parsadaan gelar seminar kebudayaan.
Budayawan Mandailing Natal, Askolani Nasution yang merupakan salah satu pemateri pada kegiatan tersebut kepada ANTARA melalui telephone selulernya mengatakan, diadakannya kegiatan ini berawal dari keresahan para organisasi mahasiswa daerah itu terhadap simpang siur persoalan kebudayaan daerah di kawasan Sumatera Utara yang merebak akhir-akhir ini.
Terutama persoalan Mandailing Bukan Batak, masalah marga, konsep-konsep kebudayaan, batasan sosial dan geografis, dan lain-lain.
“Kegiatan ini dilaksanakan berawal dari keresahan para organisasi mahasiswa daerah itu terhadap simpang siur persoalan kebudayaan daerah di kawasan Sumatera Utara yang merebak akhir-akhir ini, untuk itu mereka sepakat untuk menggalang kajian ilmiah dalam bentuk seminar,” katanya.
Dalam seminar kebudayaan Mandailing bertajuk "TAROMBO MARGA” yang berlangsung di BLPT Sumatera Barat, Padang ini dihadiri oleh para organisasi mahasiswa yang datang dari beragam wilayah, mulai dari Mandailing Natal, Paluta, Palas, Pasaman Barat, Labuhan Batu Selatan, Labuhan Batu Utara, Pasaman Timur, dan Tapsel secara umum.
Tiga orang pemateri diundang ke acara itu, yakni Hasanul Arifin Nasution, Raja Panusunan Huta Siantar, Drs. Askolani Nasution, Budayawan Mandailing dan ketua Karang Taruna Mandailing Natal Al-Hasan Nasution.
Dalam kegiatan tersebut Hasanul Arifin Nasution mengkaji persoalan Marga dan dimensi kekerabatan tradisional Mandailing, sedangkan Al-Hasan Nasution mengkaji sisi sejarah persoalan Batak dan Non-Batak sementara Askolani Nasution dari segi dimensi arkeologi dan linguistik.
“Seminar ini menjadi menarik karena antusiasme para peserta mempertanyakan berbagai konteks kekinian kebudayaan Mandailing. Termasuk apa yang Mandailing, marga-marga lain, batasan budaya, konteks Angkola, Padang Lawas, hingga kawasan pesisir timur Sumatera,” ujarnya.
Dalam seminar tersebut menyepakati kesimpulan bersama bahwa kebudayaan Mandailing sudah sangat tua, bahkan jauh sebelum masuknya peradaban Megalitikum di Desa Runding. Mandailing juga disimpulkan sebagai satu bangsa yang utuh, bukan sekedar etnik.
Kesimpulan penting lainnya adalah pemahan bersama bahwa kawasan Angkola-Sipirok-Padang Lawas dan Mandailing merupakan satuan wilayah adat yang sama dan kohesif. Perbedaan antara Mandailing-Angkola-Padang Lawas hanya pada tataran Lingistik saja, bukan pada perbedaan entitas kebudayaan.
“Tentu ini semua dengan kajian-kajian akademis, karena semua pesertanya mahasiswa,” kata Askolani yang juga merupakan kabid Kebudayaan di Dinas Pendidikan Madina itu.