Jakarta, 19/10 (Antara) - Hasil KTT ASEAN ke-23 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, pada awal Oktober kembali mengingatkan bahwa komunitas di kawasan itu mempunyai agenda penting di bidang perekonomian pada 2015, yakni pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Hasil KTT ASEAN ke-23 menyebutkan bahwa para pemimpin dari 10 negara anggota ASEAN mengatakan blok regional itu akan memperdalam integrasi ekonomi untuk lebih meningkatkan proses pembangunan MEA.
Memperhatikan bahwa 79,7 persen dari cetak biru MEA telah diimplementasikan, para pemimpin mengatakan untuk meningkatkan daya asing ASEAN perlu upaya-upaya yang lebih intensif.
ASEAN juga harus terus memperdalam serta memperluas integrasi ekonomi, sehingga dapat memenuhi target yang ditetapkan pada waktu yang tepat.
Pemberlakuan MEA atau ASEAN Economic Community (AEC) yang ditetapkan dalam KTT ASEAN ke-19 pada 2011 di Bali, Indonesia, memang makin dekat. Artinya, pertarungan terbuka di bidang ekonomi
antaranggota ASEAN sebentar lagi berlangsung.
Apakah penyatuan ekonomi di kawasan ini merupakan peluang atau ancaman bagi Indonesia? Pertanyaan yang juga selalu muncul adalah siapkah Indonesia? Kesiapan ini penting dimiliki agar ketika hari pemberlakuan tiba, tidak ada lagi yang terkejut dan prihatin.
Indonesia seharusnya siap dengan pelaksanaan MEA tersebut karena memang sudah terlibat dari awal pembicaraan mengenai kesepakatan liberalisasi bidang perdagangan, investasi, jasa, tenaga terampil dan arus modal di kawasan itu.
Namun, perbedaan pendapat, khususnya berkaitan dengan kesiapan Indonesia menghadapi pemberlakuan MEA, masih tetap ada, seolah tidak ada titik temu. Perbedaannya pun sangat mencolok.
Jika banyak pengamat serta pelaku industri dan jasa menyatakan khawatir dengan kesiapan Indonesia karena banyaknya masalah yang masih dihadapi, maka pemerintah melihatnya dari sudut berbeda, yakni bahwa Indonesia memiliki peluang besar dalam memanfaatkan kesepakatan itu.
Kalangan yang khawatir menilai industri nasional belum bisa bersaing dengan produk negara anggota ASEAN yang lain karena pengembangan industri nasional masih terkungkung sejumlah hambatan yang justru dari dalam negeri sendiri, seperti kondisi infrastruktur yang tidak memadai sehingga membuat biaya logistik tinggi, tarik ulur masalah ketenagakerjaan, hingga masalah maraknya pungutan liar hingga izin birokrasi yang berbelit.
Menteri Perindustrian MS Hidayat termasuk dalam kelompok yang khawatir. Ia masih melihat begitu banyak hambatan yang menghadang industri nasional, seperti kurangnya infrastruktur sehingga beban biaya logistik harus ditanggung oleh pelaku industri.
"Biaya logistik yang terlampau mahal serta buruknya infrastruktur membuat industri nasional 'gugup' menghadapi AEC 2015 nanti," kata Hidayat.
Di Indonesia biaya logistik saat ini rata-rata masih 16 persen dari total biaya produksi. Sedangkan normalnya maksimal hanya 9 persen sampai dengan 10 persen, ¿Jika tidak diperbaiki nanti Indonesia hanya menjadi penonton," kata Pak Hi, panggilan akrab MS Hidayat.
Ukur kekuatan
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta mengatakan perlunya Indonesia mengukur kekuatan dalam rangka menghadapi pemberlakukan kesepakatan tersebut pada 2015.
Ia mengulas, berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF), dari sisi daya saing di 2013-2014 Indonesia berada pada peringkat 38 dari 150 negara yang disurvei.
"Peringkat daya saing ini makin baik. Tapi jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan regional seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam ternyata kita masih di bawah negara-negara tersebut," katanya.
Ia menyampaikan menurut laporan WEF, penyebab daya saing Indonesia masih di bawah negara-negara di kawasan antara lain persoalan infrastruktur yang jauh tertinggal, persoalan efisiensi tenaga kerja, fakta bahwa Indonesia memiliki pasar jauh lebih besar, serta terkait dengan penyebaran pasar keuangan yang masih lebih rendah dibanding negara-negara tersebut.
Arif mengatakan apa pun tantangannya, kesepakatan MEA 2015 harus menjadikan masyarakat Indonesia lebih sejahtera dan lebih makmur sesuai diamanatkan UUD 1945.
Karena itu, ia menilai pemerintah perlu memperbaiki daya saing tenaga kerja, mengembangkan skema perlindungan konsumen seiring dengan bebasnya arus barang melalui penerapan standarisasi produk, serta mengembangkan skema perlindungan terhadap usaha nasional dengan kebijakan fiskal berupa insentif atau disinsentif.
Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan daya saing Indonesia mulai dari perbaikan infastruktur, reformasi birokrasi, peningkatan kualitas kesehatan dan pendidikan, efisiensi pasar tenaga kerja, penyediaan teknologi, pemerataan ekonomi dan proses pembangunan.
"Yang terakhir adalah, karena 2014 kita sudah mulai pemilu, maka kita semua harus menjaga pemilu bersih dan sehat termasuk penegasan hukum yang adil melalui pengadilan bersih dan wibawa," ujarnya.
Optimistis merupakan sikap yang baik dalam mencapai kemajuan dalam berbangsa dan bernegara, khususnya peningkatan kesejahteraan melalui MEA.
Namun, optimisme itu sepertinya harus didukung oleh fakta dan data yang bisa membuat masyarakat dan pelaku bisnis Indonesia yakin mereka mampu dan siap melaksanakan pertarungan terbuka bidang ekonomi di kawasan ASEAN. (A023)
MEA Makin Dekat
Sabtu, 19 Oktober 2013 12:25 WIB 1557