Jakarta, 21/9 (Antara) - Bahasa yang digunakan awak media massa mestilah tertata sesuai dengan konstruksi yang gramatikal, ringkas, logis, dan lugas.
Untuk mencapai taraf itu, pemakai bahasa itu haruslah paham, sedikitnya, tentang esensi, peran dan fungsi kelas kata. Tanpa pemahaman itu, pengguna akan terjebak pada kesalahan-kesalahan yang tak disadari bahwa itu adalah kesalahan.
Beberapa contoh kesalahan di bawah ini menunjukkan bahwa awak media massa, dalam hal ini cetak, kurang paham betul tentang kelas kata. Contoh yang diambil dari Koran terkemuka yang terbit di Ibu kota pada 20 Agustus 2013 ini adalah sebagai berikut: "Polri secara akumulasi terbitkan 18.000 izin."
Tampaknya, sang jurnalis menulis kalimat itu langsung dari apa yang dikatakan oleh narasumber. Narasumber berita kebanyakan memang bukan orang yang dalam kariernya mengharuskan diri untuk piawai dalam olah bahasa. Wartawanlah yang harus piawai dalam berbahasa.
Untuk itu, jurnalis yang menerima kalimat-kalimat tak gramatikal harus memperbaiki bahasa narasumber, salah satunya dengan teknik parafrasa.
Pada contoh kalimat tak gramatikal di atas, jurnalis atau sang penyunting mestinya mengubahnya menjadi: "Polisi secara akumulatif terbitkan 18.000 izin." Perbedaan dua kalimat di atas terletak pada "akumulasi" dan "akumulatif". Perbedaan ini tidak mencolok, tentunya, sehingga secara komunikatif tidak menimbulkan salah tafsir.
Bagi media massa yang tidak mempedulikan kecanggihan ekspresif, kesalahan semacam itu bisa dimaklumi, bahkan mungkin tidak dianggap sebagai kesalahan. Namun, bagi media massa yang membangun kewibawaannya antara lain dari sisi linguistik, kesalahan adalah kesalahan, entah sepele entah fatal.
Beda "akumulasi" dan "akumulatif" sesungguhnya beda yang laksana jurang lebar dan dalam. Yang pertama masuk kelas kata benda dan yang belakangan kelas kata sifat. Ketika kata keterangan digunakan untuk memberi ciri perilaku verba, kata keterangan itu seyogyanya dibentuk atau dipungut dari kata sifat untuk mengikuti lema "secara".
Tampaknya ada kecenderungan untuk memungut nomina dalam membentuk kata keterangan dalam media massa belakangan ini. Pada koran yang sama, pada edisi terbit yang sama, terdapat kalimat berikut ini: "Kemarin, sembilan hakim MK dalam rapat permusyawaratan hakim secara aklamasi memilih kembali Akil Mochtar sebagai Ketua MK untuk 2,5 tahun mendatang (2013-2016)."
Perhatikan frasa "secara aklamasi" di atas. Seharusnya sih "secara aklamatif", tapi lema itu dalam bahasa Inggris tak punya turunan untuk kata sifat "aklamatif".
Bagaimana bahasa Inggris mengungkapkan pikiran "secara aklamasi"? Bukan diksi "acclamation" dan turunannya yang muncul dalam memerikan pikiran itu. Tapi, penggunan bahasa Inggris akan memakai adverbia "unanimously", yang dalam bahasa Indonesia sepadan dengan "mufakat".
Jadi, jika pewarta kreatif dan berpihak pada pemakaian kosa kata yang sudah akrab dengan pemakainya, kalimat di atas bisa disampaikan dalam bentuk ini: "Kemarin, sembilan hakim MK dalam rapat permusyawaratan hakim mufakat memilih kembali Akil Mochtar sebagai Ketua MK untuk 2,5 tahun mendatang (2013-2016)." Dengan demikian frasa tak gramatikal "secara aklamasi" bisa diperbaiki dengan kata "mufakat". Perbaikan ini juga seturut dengan anjuran berbahasa jurnalistik: menulis dengan efisien.
Pemakaian kata dalam kalimat, dalam bahasa pers tulis, tak perlu mengikuti kebiasaan tutur kata lisan, yang sering mengabaikan gramatika.
Dalam percakapan, kita sering mendengar orang mengatakan frasa seperti: "secara matematika", "secara kultur", "secara ekonomi". Frasa-frasa ini bila disampaikan secara lisan, meskipun tetap salah, tidaklah kentara tingkat kesalahannya.
Pewarta tulis tak boleh menenggang penggunaan frasa semacam itu. Dia harus memilih frasa yang gramatikal: "secara matematis", "secara kultural" dan "secara ekonomis".
Sepintas terasa bahwa untuk memahami kelas kata, seorang pewarta perlu belajar ilmu bahasa atau linguistik secara khusus. Tidak mesti begitu. Pemahaman itu bisa dilakukan tanpa harus belajar ilmu bahasa secara khusus. Yang penting belajar secara serius.
Dengan makin merajalelanya berita-berita media dalam jaringan atau daring, bahasa pers memang makin mengabaikan prinsip-prinsip kebahasaan yang paling elementer seperti ihwal kelas kata di atas. Apa kira-kira penyebab sering terjadinya kesalahan dalam penggunaan kata yang sesuai dengan kelas kata itu?
Kurangnya awak pers membaca kamus atau pedoman tata bahasa Indonesia, merupakan salah satu faktor. Yang kedua, kamus-kamus eka bahasa Indonesia belum sepenuhnya memberikan keterangan mengenai kelas kata dalam setiap lema yang dituliskannya.
Tanpa keterangan demikian, pengguna kamus bisa sesat ketika harus menggunkan lema tertentu yang tak jelas apakah lema itu masuk "verba", "nomina", "ajektiva" atau "partikel", misalnya.
Para ahli bahasa yang bekerja di institusi yang sering memproduksi kamus agaknya perlu memikirkan hal ini.
Dengan lahirnya kamus yang memberikan keterangan mengenai kelas kata pada setiap lema yang dikandungnya, diharapkan kesalahan yang bersumber pada tiadanya pemahaman mengenai kelas kata akan bisa diminimalkan.(M020)
Pemahaman Atas Kelas Kata
Minggu, 22 September 2013 0:27 WIB 2730