Surabaya, 7/6 (Antara) - "Riswah Laknatullah" (suap dikutuk Allah SWT), demikian tertulis pada sebuah surat suara pemilihan Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dalam Konperensi Wilayah NU Jatim di Pesantren Progresif "Bumi Sholawat" Lebo, Sidoarjo, 31 Mei-2 Juni 2013.
Tentu saja surat suara itu menjadi tidak sah karena pemilihnya tidak menyebut nama calon.
Namun isi surat suara itu agaknya merupakan bentuk protes atau peringatan kepada 44 pengurus NU yang menjadi pemilik suara dalam konperensi itu agar mengabaikan "riswah" atau suap yang sering disebut dengan "money politics" (politik uang).
Sebuah sumber menyebutkan bahwa "money politics" itu sebenarnya mencuat sebagai isu akibat adanya oknum birokrat Jatim yang melakukan pertemuan dengan sejumlah pengurus NU di Jalan Imam Bonjol, Surabaya, beberapa hari menjelang konperensi itu.
Target oknum birokrat itu adalah "mengendalikan" Ketua PWNU Jatim untuk kepentingan Pilkada/Pilgub Jatim pada 29 Agustus 2013, kendati PWNU Jatim sudah menyatakan netral dalam pilkada nanti. Caranya, tentu tak lepas dari "membeli" demokrasi.
"NU secara institusi harus netral, tapi NU secara individu, sebagai warga negara, boleh-boleh saja berpolitik praktis," ucap Ketua Umum PBNU KH Said Agil Siradj setelah membuka Konperwil NU Jatim di Sidoarjo, 31 Mei 2013.
Namun oknum birokrat di Jatim itu tetap melakukan "gerakan" sejak dini dengan menggiring pengurus NU se-Jatim untuk menolak mekanisme "ahlul halli wal aqdi" (pemilihan pengurus oleh dewan ulama) yang digagas PWNU Jatim untuk menggantikan pemilihan langsung dalam musyawarah tertinggi di lingkungan NU.
"Konsep Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) bisa menjadi strategi dalam pemilihan rais syuriah dan ketua tanfidziyah dengan menggunakan metode yang digunakan sejak zaman sahabat Rasulullah SAW," ucap Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim (demisioner) KH Abdurrahman Navis Lc.
Menurut dia, AHWA sendiri merupakan konsep lama yang pernah digunakan NU dimasa lalu dan terakhir digunakan pada Muktamar Situbondo (1984).
"Bahkan, konsep AHWA itu akan kami padukan dengan sistem demokrasi NU seperti diatur pada anggaran rumah tangga NU pasal 42 sehingga konsep ini menjadi konsep baru," tuturnya.
Mekanismenya, sebelum Konperwil NU Jatim, PCNU melalui rapat gabungan syuriyah dan tanfidziyah mengusulkan tiga nama calon dari mana saja di daerah Jatim untuk rais syuriyah dan ketua tanfidziah, lalu hasilnya ditabulasi oleh panitia di PWNU Jatim.
"Hasil tabulasi akan diumumkan secara terbuka di hadapan peserta konperwil, lalu nama-nama itu akan diambil sembilan peringkat teratas untuk syuriah (sembilan nama yang disebut 'ahlul halli wal aqdi) dan sembilan teratas untuk tanfidziyah. Sembilan syuriah/tanfidziyah terpilih itu bermusyawarah dengan dipandu pimpinan PBNU," katanya mengulas.
Sistem baru itu akan mampu menghasilkan pemimpin yang mempunyai kompetensi maksimal, menghindari pengaruh ekternal dalam menentukan kepemimpinan atau menangkal intervensi eksternal berupa calon dadakan atau calon bayaran, dan menangkal "riswah" atau suap yang sering disebut dengan "money politics" (politik uang).
Namun oknum birokrat itu menggalang "gerakan" hingga AHWA pun disepakati untuk ditunda hingga ada keputusan dalam Muktamar NU, meskipun peraturan NU sudah mengakomodasi AHWA melalui ketentuan pemilihan secara musyawarah atau langsung.
"Musyawarah itu ya AHWA," ujar Sekretaris PWNU Jatim (demisioner) HM Masyhudi Muchtar.
AHWA-Pakta Integritas
Kendati "gerakan" itu cukup santer, namun 418 peserta Konperwil NU se-Jatim akhirnya sepakat untuk menolak "gerakan" itu, sehingga Rais Syuriah "incumbent" KH Miftachul Akhyar terpilih kembali untuk memimpin Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur periode 2013-2018.
Terpilihnya KH Miftachul Akhyar itu membuktikan seorang calon syuriah yang diusung oknum birokrat itu keok, bahkan dalam pemilihan yang diikuti 43 dari 44 cabang (satu cabang dibekukan) itu, KH Miftachul Akhyar meraih 41 suara. Itu bukti pengurus NU se-Jatim masih solid untuk "tolak riswah".
Calon Rais Syuriah PWNU Jatim lainnya adalah KH Marzuqi (satu suara), Prof HM Ridlwan Nasir MA (mantan Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya dan A'wan PWNU Jatim) yang mendapatkan satu suara, dan KHM Mutawakkil Alallah (satu suara).
"Innalillahi... Insya-Allah saya siap (bersedia), tapi saya mohon dukungan para ulama dan pengurus cabang se-Jatim," ujar KH Miftachul Akhyar sesaat setelah terpilih secara aklamasi, karena calon yang mendapatkan suara minimal atau sembilan suara hanya satu orang.
Agaknya panitia PWNU Jatim juga menyiapkan strategi untuk menangkal "riswah" akibat konsep AHWA ditolak, yakni pimpinan sidang pun minta KH Miftachul Akhyar untuk menyampaikan kesediaan dan menandatangani kontrak jamiyah (pakta integritas).
Pakta integritas antara lain (1) Siap mematuhi Qanun Asasi dari Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy'ari. (2) Siap mematuhi AD/ART NU. (3) Siap menjalankan amanat Konperwil Sidoarjo. (4) Tidak melibatkan dalam jabatan politik dan bersedia mundur bila terlibat. (5) Jika dalam proses pencalonan hingga pemilihan mengandung 'riswah' (suap) akan siap mundur atau hasilnya dinyatakan gugur.
Tidak kalah serunya, proses pemilihan Ketua Tanfidziyah PWNU Jatim berlangsung dalam dua tahap, karena tahap pertama ada dua calon yang lolos (melebihi sembilan suara) yakni KHM Mutawakkil Alallah ("incumbent") dengan 18 suara dan Dr KH Abdullah Syamsul Arifin atau Gus Aab (Ketua PCNU Jember) dengan 11 suara.
Keduanya juga minta restu Rais Syuriah terpilih dan KH Miftachul Akhyar pun menerima keduanya. Setelah itu, keduanya juga menyampaikan kesediaan dan menandatangani kontrak jamiyah (pakta integritas) seperti yang dilakukan KH Miftachul Akhyar.
Akhirnya, KHM Mutawakkil unggul dalam pemilihan tahap kedua dengan 26 suara, sedangkan Gus Aab dengan 17 suara, serta satu suara tidak sah karena bertuliskan "Riswah Laknatullah" itu.
Dengan begitu, pasangan "incumbent" Rais Syuriah KH Miftachul Akhyar dan Ketua Tanfidziyah KHM Hasan Mutawakkil Alallah terpilih kembali untuk memimpin Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur periode 2013-2018.
Walhasil, semuanya berproses dengan indah melalui kontrak jamiyah atau pakta integritas. Ke depan, AHWA dan kontrak jamiyah (pakta integritas) itu sama-sama penting untuk diberlakukan dalam proses demokrasi termasuk dalam organisasi partai politik sekalipun, mengingat ikhtiar menangkal "riswah" (money politics) itu menentukan kualitas organisasi, orang, dan programnya.
"Money Laundering"
Tidak hanya soal pemilihan sosok pemimpin, Konperwil NU Jatim juga menggelar sidang Bahsul Masail (pembahasan masalah agama) tentang berbagai masalah kemasyarakatan dan keagamaan, termasuk masyarakat dalam skala nasional maupun internasional.
Contohnya, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur membahas dan menggali hukum Islam untuk "money laundering" atau tindak pencucian uang sebagai "jarimah" (tindak pidana), karena itu pelakunya harus dihukum sampai jera, termasuk dengan hukuman mati.
"Itu merupakan salah satu keputusan sidang Bahsul Masail dalam Konperensi Wilayah NU Jatim di Sidoarjo pada 31 Mei hingga 2 Juni lalu," kata salah seorang pimpinan sidang Bahsul Masail itu KH Hasyim Abbas yang juga dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Menurut dia, peserta Bahsul Masail Konperwil NU Jatim menghukumi "money laundering" adalah "jinayah mal" (perbuatan haram pada harta).
"Syuriah (dewan pengarah/ulama) NU se-Jatim menilai tindak pencucian uang itu merupakan lanjutan dari tindak korupsi, sehingga hartanya wajib dikembalikan dan pelakunya harus dihukum sampai jera," urainya.
Dalam Bahsul Masail juga didiskusikan status Darul Islam (Negara Islam) pada sebagian wilayah NKRI yang menganut tata cara Islami seperti Aceh, Banten, Demak, dan sebagainya, meski ada sebagian wilayah NKRI yang bukan mayoritas Islam, seperti Bali.
"Syuriah (dewan pengarah/ulama) NU se-Jatim menilai Indonesia dapat dikatakan sebagai Negara Islam, karena mayoritas Islam dan umat Islam bebas menjalankan ajarannya," paparnya.
Namun, Indonesia tidak bisa disebut Daulah Islamiyah (Pemerintahan Islam), karena masyarakatnya majemuk sesuai Pasal 29 UUD 1945, seperti tindakan Nabi Muhammad di Madinah yang menghargai kemajemukan dengan Piagam Madinah.
Ia merinci bahsul masail dalam Konperwil NU Jatim ada tiga kajian yakni maudlu'iyah (masalah pemikiran), waqi'iyah (masalah aktual), dan qanuniyah (masalah terkait perundang-undangan yang ada).
"Selain kasus poligami (pakta integritas anti-poligami) atau pernikahan ala Eyang Subur, masalah waqi'iyah yang dikaji dari sudut agama antara lain penyewaan lahan tebu dengan berbagai cara, puasa bagi pasien gangguan jantung, dan kegagalan berangkat umrah," katanya.
Masalah waqi'iyah lainnya, harga jual barang bersubsidi, penyerahan saham atas nama, perbedaan harga karena berbeda hari, makanan dengan penyedap, penguncian atau penyegelan pagar/pintu masjid, dan sebagainya.
"Untuk Bahsul Masail Maudlu'iyah antara lain mengkaji status nasab anak, kekebalan jurnalistik, operasionalisasi maqashidus syariah, baiat dalam pengamalan agama, prinsip Jam'iyah NU, dasar memilih alternatif kebijakan, dan sebagainya," katanya menandaskan.
Sementara masalah qanuniyah yang dikaji antara lain wasiat wajibah, perlindungan pengusaha domestik, sengketa hak asuh anak, sita aset sebagai sanksi tindak pidana, anak luar nikah dan jabatan publik, dan sebagainya.
"Untuk tausiyah (rekomendasi), pengurus NU se-Jatim mendesak pemerintah untuk membahas nasib umat Islam Rohingnya di Myanmar dalam forum ASEAN, sedangkan masalah internal organisasi akan mengusulkan mekanisme musyawarah mufakat atau ahlul halli wal aqdi akan diusulkan kepada PBNU untuk dibahas dalam Muktamar agar segera dapat diberlakukan untuk menomerduakan politik dan menomersatukan umat," tukasnya. (T.E011)
Demokrasi Tanpa "Money Politics" Ala NU
Jumat, 7 Juni 2013 8:34 WIB 1444