Langkat, Sumut, 19/2 (Antara) - Tim Restorasi Kawasan Ekosistem Leuser dari Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Pusat Informasi Orang Utan (YOSL-OIC) menargetkan menanam sebanyak 165 ribu bibit tanaman untuk menyelamatkan lahan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

"Sekarang ini, hanya tersisa tiga tahun," Direktur YOSL-OIC Panut Hadisiswoyo saat mengunjungi kawasan TNGL, Kabupaten Langkat, Sumut, Senin.

Pada 2011, UNESCO PBB menetapkan hutan hujan tropis di Sumatera itu dengan status kritis.

Panut Hadisiswoyo mengatakan, TNGL menyandang status
sebagai situs warisan dunia sejak 2004. Namun dua tahun lalu, UNESCO memasukannya dalam daftar situs warisan dunia dalam kondisi kritis.

Namun, sejak penetapan status itu belum ada perbaikan atau penghentian perambahan di taman nasional seluas lebih dari 1 juta hektare tersebut.

Panut mengatakan perambahan terus terjadi.Padahal, status kritis yang ditetapkan UNESCO ini seharusnya menjadi peringatan agar pemerintah segera mengupayakan tindakan.

"TNGL ini punya kedudukan yang sama dengan Borobudur dan Taman Nasional Komodo. Butuh perhatian agar tetap jadi warisan dunia,"
kata dia.

Menurut Panut, upaya restorasi yang dilakukan lembaga yang dipimpinnya masih terbatas. YSOL-OIC hanya bisa melakukan restorasi di lokasi yang sudah tidak berkonflik.

Namun, menurut Panut, hampir semua resor di TNGL bermasalah. Konflik paling sering terjadi di Resort Sekoci, yang menjadi lokasi perkebunan kelapa sawit. Kondisi ini sudah berlangsung sejak 1990.

"Kalau melihat kondisinya, Resort Sekoci itu tak mungkin selesai dalam dua tahun," kata dia.

Meski demikian, Panut menyatakan, pihaknya tetap memaksimalkan upaya yang bisa dilakukan. Sejak 2007, YSOL-IOC melakukan upaya restorasi di Resor Sei Betung, Langkat, Sumatera Utara.

"Hingga saat ini, perambahan di Sei Betung hampir nol," ujar dia.

Sementara itu, Koordinator Pusat Pelatihan Pembibitan Desa Halaban, Kabupaten Langkat Ahmad Azhari mengatakan saat ini baru sekitar 6 ribu bibit yang telah ditanam di konservasi tersebut.

"Bibit ini kita dapat ada yang dari hutan langsung ada juga yang berupa anakan dari masyarakat sekitar. Media tanam yang digunakan pun tanah lokal," katanya.

Namun, secara keseluruhan bibit yang di tanam dari lima pusat pembibitan di TNGL baru 125 ribu bibit sementara jumlah yang ditargetkan sebanyak 165 bibit hingga Juni 2013.

Dia menambahkan seluas 80 hektar lahan ditanami 1.100 bibit.
"Tanamannya sebagian besar 'fast growing ' (cepat tumbuh) yang beberapa bulan saja sudah tumbuh besar," katanya.

Azhari menyebutkan beberapa tanaman yang menjadi pionir (utama), yakni tanaman Waru dan Matao.

"Waru ini 'the best pioneer', satu tahun tumbuhnya bisa dua hingga tiga meter dan daunnya cepat terdekomposisi (terurai) hanya dua hingga tiga hari. Sementara, pohon matao buahnya disenangi orangutan dan landak," katanya.

Dia menjelaskan kegiatan tersebut juga disambut antusias oleh masyarakat sekitar serta mahasiswa atau pun wisatawan asing yang tertarik akan konservasi lahan hutan.

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013