Pengamat Pendidikan yang juga dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Jejen Musfah, menyebut batalnya kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) mendorong pemerintah untuk meninjau ulang subsidi Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
"Pembatalan kenaikan UKT mendorong pemerintah meninjau ulang kebijakan pengurangan subsidi atas biaya operasional kampus negeri. Pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah," ujar Jejen saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.
Ia mengingatkan agar pemerintah tidak mudah memberikan status PTN Berbadan Hukum (PTN-BH) sebelum kampus benar-benar bisa mandiri secara finansial.
"Kampus sendiri menahan diri dari keinginan menjadi PTN-BH jika belum benar-benar punya kemandirian finansial, karena kampus harus bisa mengatur dana yang ada untuk pelayanan akademik yang berkualitas di satu sisi, dan mengembangkan badan usaha di sisi yang lain," katanya.
Ia menekankan agar kampus merevisi cara penetapan UKT, sehingga mahasiswa benar-benar bisa membayar sesuai dengan kemampuan orang tua mereka.
Menurutnya, kontribusi finansial pemerintah terhadap biaya operasional PTN-BH tidak sebesar Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU) dan PTN-Satuan Kerja, sehingga mereka harus punya sumber pendapatan dari badan-badan usaha dan dana abadi pendidikan, maka menaikan UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) atau uang pangkal dinilai menjadi cara instan.
"Masalahnya, saat PTN-BH gagal atau kurang dalam mengembangkan badan-badan usaha, sementara mereka memerlukan dana operasional, cara instannya adalah menaikkan UKT dan IPI atau uang pangkal," tuturnya.
Ia menambahkan peningkatan tajam UKT dan IPI menunjukkan kegagalan kampus dalam mencari sumber penghasilan dari badan usaha dan dana abadi pendidikan.
Ia mengemukakan pentingnya pemerintah dan kampus memiliki prinsip bahwa pendidikan adalah nirlaba, sehingga tidak boleh ada komersialisasi agar warga miskin dan menengah memiliki kesempatan untuk menjadi sarjana dan bisa memperbaiki kualitas hidup mereka.
"Pemerintah dan kampus harus mengunci prinsip bahwa pendidikan adalah hak warga, terutama bagi warga miskin dan menengah. Pendidikan adalah nirlaba atau tidak boleh terjadi komersialisasi pendidikan. Artinya, kampus negeri harus terjangkau, namun dengan tetap meningkatkan kualitas fasilitas dan layanan pendidikan," paparnya.
Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk membatalkan kebijakan kenaikan UKT yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2024.
Menurut Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, keputusan tersebut diambil setelah pemerintah berdialog dengan para rektor universitas dan mendengar aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan terkait isu yang belakangan menjadi sorotan publik ini.
“Kemendikbudristek telah mengambil keputusan untuk membatalkan kenaikan UKT pada tahun ini dan kami akan merevaluasi semua permintaan peningkatan UKT dari PTN,” kata Nadiem usai menemui Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: UKT batal naik, pengamat sebut perlunya tinjau subsidi kampus negeri
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2024
"Pembatalan kenaikan UKT mendorong pemerintah meninjau ulang kebijakan pengurangan subsidi atas biaya operasional kampus negeri. Pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah," ujar Jejen saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.
Ia mengingatkan agar pemerintah tidak mudah memberikan status PTN Berbadan Hukum (PTN-BH) sebelum kampus benar-benar bisa mandiri secara finansial.
"Kampus sendiri menahan diri dari keinginan menjadi PTN-BH jika belum benar-benar punya kemandirian finansial, karena kampus harus bisa mengatur dana yang ada untuk pelayanan akademik yang berkualitas di satu sisi, dan mengembangkan badan usaha di sisi yang lain," katanya.
Ia menekankan agar kampus merevisi cara penetapan UKT, sehingga mahasiswa benar-benar bisa membayar sesuai dengan kemampuan orang tua mereka.
Menurutnya, kontribusi finansial pemerintah terhadap biaya operasional PTN-BH tidak sebesar Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU) dan PTN-Satuan Kerja, sehingga mereka harus punya sumber pendapatan dari badan-badan usaha dan dana abadi pendidikan, maka menaikan UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) atau uang pangkal dinilai menjadi cara instan.
"Masalahnya, saat PTN-BH gagal atau kurang dalam mengembangkan badan-badan usaha, sementara mereka memerlukan dana operasional, cara instannya adalah menaikkan UKT dan IPI atau uang pangkal," tuturnya.
Ia menambahkan peningkatan tajam UKT dan IPI menunjukkan kegagalan kampus dalam mencari sumber penghasilan dari badan usaha dan dana abadi pendidikan.
Ia mengemukakan pentingnya pemerintah dan kampus memiliki prinsip bahwa pendidikan adalah nirlaba, sehingga tidak boleh ada komersialisasi agar warga miskin dan menengah memiliki kesempatan untuk menjadi sarjana dan bisa memperbaiki kualitas hidup mereka.
"Pemerintah dan kampus harus mengunci prinsip bahwa pendidikan adalah hak warga, terutama bagi warga miskin dan menengah. Pendidikan adalah nirlaba atau tidak boleh terjadi komersialisasi pendidikan. Artinya, kampus negeri harus terjangkau, namun dengan tetap meningkatkan kualitas fasilitas dan layanan pendidikan," paparnya.
Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk membatalkan kebijakan kenaikan UKT yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2024.
Menurut Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, keputusan tersebut diambil setelah pemerintah berdialog dengan para rektor universitas dan mendengar aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan terkait isu yang belakangan menjadi sorotan publik ini.
“Kemendikbudristek telah mengambil keputusan untuk membatalkan kenaikan UKT pada tahun ini dan kami akan merevaluasi semua permintaan peningkatan UKT dari PTN,” kata Nadiem usai menemui Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: UKT batal naik, pengamat sebut perlunya tinjau subsidi kampus negeri
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2024