Kasus DBD merupakan salah satu ancaman kesehatan masyarakat di dunia, dan Indonesia adalah salah satu negara yang terdampak. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang DBD di kalangan masyarakat, praktisi kesehatan, dan pemangku kebijakan guna merumuskan strategi untuk mengurangi angka kerugian dan kematian akibat DBD. 

Melalui sesi “Burden of Dengue in Indonesia” dalam InaHEA Biennial Scientific Meeting 2023 dibahas bagaimana kasus DBD dapat berdampak jangka panjang terhadap kualitas hidup individu, tekanan pada keluarga, serta aspek penanganan dalam sistem perawatan kasus DBD dan dampaknya terhadap  perekonomian Indonesia.

Sesi ini dihadiri oleh 3 orang panelis yaitu dr. Imran Pambudi, MPHM selaku Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI diwakili oleh dr. Asik Surya, MPPM, dengan topik “The Dengue Challenge in Indonesia: Understanding, Prevention, and Mitigation”, dr. Nandyan N. Wilastonegoro, M.Sc.I.H. selaku Deputi Direktur CFHC-IPE, FK-KMK UGM dengan topik "Societal and Humanistic Impact of Dengue in Indonesia: A Community Perspective" dan Prof. Dr. drg. Mardiati Nadjib, M.Sc selaku Guru Besar FKM UI dengan topik “The Economic Burden of Dengue: Understanding the Costs and Impacts”.

dr. Asik Surya, MPPM selaku Koordinator Substansi Arbovirosis yang mewakili dr. Imran Pambudi, MPHM selaku Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kementerian Kesehatan RI membahas lebih lanjut terkait bagaimana uraian prevalensi dan insidens penyakit DBD di Indonesia beserta pola epidemiologinya berdasarkan karakteristik wilayah dan masyarakat, apa yang menjadi determinan kejadian DBD di Indonesia, bagaimana upaya dan kebijakan yang telah disusun dan diimplementasikan dalam menurunkan kasus DBD di Indonesia pada jangka pendek dan Panjang, serta bagaimana tantangan utama yang dihadapi dalam penanganan kasus DBD di Indonesia dari sisi masyarakat maupun penyedia pelayanan.

Dalam presentasinya, dr. Asik menyampaikan bahwa interaksi agent, host dan lingkungan pada DBD merupakan suatu penyakit yang menempatkan semua orang memiliki resiko untuk tertular, dengan golongan tertinggi untuk penderita DBD adalah usia 0-14 tahun sebesar 49,8 persen. Kasus DBD ini diperparah dengan adanya perubahan iklim yang terjadi saat ini.

Menanggapi situasi ini, dr. Asik juga menyampaikan, “Ada beberapa strategi nasional dalam menanggulangi DBD di Indonesia menuju zero dengue death 2030, yaitu Koalisi Bersama Lawan Dengue, Pemberantasan Sarang Nyamuk 3M plus, melalui G1R1J (Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik), Pokjanal DBD menggerakan G1R1J, dan Inovasi terkini: Teknologi Nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia sebagai upaya pelengkap Strategi Penanggulangan DBD dan Vaksin dengue yang telah disetujui Badan Pengelola Obat dan Makan (BPOM). Saat ini vaksinasi dengue dapat diberikan kepada masyarakat dengan rentang usia 6-45 tahun berdasarkan rekomendasi dokter.” 

Berbagai strategi ini masih menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan upaya bersama, antara lain utamanya dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat karena pemberdayaan masyarakat masih menjadi peran utama pencegahan dan penanggulangan DBD. 
dr. Nandyan N. Wilastonegoro, M.Sc.I.H. selaku Deputi Direktur CFHC-IPE, FK-KMK UGM membahas lebih lanjut terkait dampak sosial langsung maupun tidak langsung yang dirasakan oleh masyarakat akibat penyakit DBD serta tingkat keparahannya, bagaimana tantangan dan hambatan akses pelayanan DBD di masyarakat terutama pada kelompok marjinal, serta bagaimana rekomendasi kebijakan pencegahan dan penanganan DBD yang komprehensif yang perlu diimplementasikan oleh pemerintah.

dr. Nandyan memaparkan, “Kasus dengue mengalami kenaikan yang dramatis. Per tahun, diestimasikan ada 58 juta hingga 105 juta kasus di seluruh dunia. Kenaikan juga terlihat pada disability-adjusted life year (DALY). Dimana pada tahun 1990 berada pada 800 ribu, dan tahun 2016 menyentuh angka 2,8 juta.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beban DBD yang terbesar di dunia, dimana diestimasikan ada sekitar 7.8 juta kasus DBD. Dari sisi beban keuangan DBD, sebagian besar ditanggung dengan keuangan rumah tangga, dan diikuti oleh JKN dan kontribusi dari kerabat.” 

“Terdapat pilihan lain untuk intervensi DBD, yaitu dengan protokol observasi praktikal yang bisa melalui data pengawasan dengan sampel yang kecil, namun representatif dari rumah sakit di daerah tersebut, penggunaan nyamuk yang dimasukkan bakteri Wolbachia, dengan keuntungan bisa mengurangi kasus DBD, namun tergantung dengan seberapa luas daerah untuk biayanya. Kota di indonesia yang menjadi prioritas program ini adalah Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Denpasar, dan Mataram, vaksin DBD yang bisa mengurangi kasus DBD, namun tergantung dengan seberapa banyak individu yang terlindungi untuk biayanya. Kota di Indonesia yang menjadi prioritas program ini adalah Banda Aceh, Batam, Padang, Samarinda, dan Manado,” tambah dr. Nandyan 

Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. drg. Mardiati Nadjib, M.Sc selaku Guru Besar FKM UI menjelaskan lebih lanjut terkait dampak ekonomi kesehatan dari demam berdarah di Indonesia, “Di Indonesia, Aedes aegypti and Aedes albopictus adalah vektor primer dan sekunder untuk transmisi DBD. Jumlah rata-rata kasus DBD tahunan yang dilaporkan ke otoritas kesehatan di Indonesia lebih dari 129.000 untuk periode antara 2004 dan 2010, tingkat insiden tertinggi kedua di dunia setelah Brasil. Pelaporan DBD di Indonesia diakui belum lengkap dan prosedur pelaporan antar provinsi sangat bervariasi. Sebuah studi pemodelan kartografi tahun 2013 memperkirakan bahwa sekitar 7,6 juta infeksi DBD mungkin telah terjadi di Indonesia pada tahun 2010, yang sebagian besar tidak dilaporkan. Penyakit ini biasanya paling umum di daerah perkotaan, namun, daerah pedesaan semakin terpengaruh. Selain itu, wabah epidemi DBD secara tradisional tampaknya menjadi lebih tidak menentu dalam beberapa dekade terakhir.” 

“Total cost (direct dan indirect) mencapai sebesar USD 791 di Yogyakarta, USD 1.241 di Bali and USD 1.250 di Jakarta. Beban DBD setiap tahunnya menurut penelitian Sheppard (2018) banyak berasal dari biaya rawat inap (922.000 orang) dan rawat jalan (1,7 juta orang), sementara perawatan sendiri (4,6 juta orang) sehingga harus berhenti bekerja atau sekolah, sehingga diperkirakan Indonesia kehilangan 311.744 DALY’s setiap tahun yang terdiri dari 71,9 persen karena disabilitas dan 28,1 persen karena fatalitas. Dengan besarnya beban ekonomi pada kasus DBD, Indonesia harus memperbaiki sistem pencatatan pelaporan kasus, meningkatkan pencegahan seperti vektor kontrol dan pengembangan vaksin untuk menekan beban itu mengingat Indonesia adalah daerah endemis DBD. Apabila hal ini tidak dilakukan, Indonesia berpotensi mengalami kerugian. Jika Indonesia tidak bisa menekan beban ekonomi akibat DBD, maka jumlah kasus akan terus meningkat. Bila jumlah kasus meningkat tentu beban ini akan meningkat, termasuk beban bagi BPJS kesehatan dan Pemerintah serta masyarakat sendiri,” tambah drg. Mardiyati. 

Andreas Gutknecht selaku Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines, dalam wawancara terpisah mengatakan, "Takeda menghargai kontribusi InaHEA dalam meningkatkan kesadaran tentang beban penyakit demam berdarah di Indonesia dan dampaknya pada kesehatan masyarakat. Kami juga merasa terhormat atas kepercayaan yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan RI dalam menjalin kemitraan yang kuat untuk berbagai upaya pencegahan DBD, sejalan dengan tujuan nol kematian akibat DBD di Indonesia pada tahun 2030. Komitmen Takeda terhadap masalah DBD tercermin dalam keterlibatan kami dalam inisiatif seperti KOBAR (Koalisi Bersama) Lawan Dengue sebagai salah satu anggota pendiri dan dalam pelaksanaan kampanye masyarakat #Ayo3mplusVaksinDBD yang mendukung upaya pencegahan dan pengendalian DBD yang komprehensif.”

Pewarta: Evalisa Siregar

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023