Beredar di media sosial video seorang mahasiswi koas berinisial F beradu mulut dengan pengendara di parkiran Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pirngadi Medan, Senin 10 April 2023. Video berdurasi 1 menit 53 detik tersebut viral bahkan menjadi pemberitaan di media arus utama.

Dalam video itu sang mahasiswi koas sempat menunjuk-nunjuk seorang wanita yang berada di dalam mobil sembari mengeluarkan kata dan nada yang tinggi bahkan menunjukkan nama di baju yang ia kenakan.

Jika dilihat secara teliti pengendara yang merupakan perekam peristiwa itu sempat berucap dengan kata "gila" yang dilontarkan kepada sang mahasiswi. "Ini we, ini dokter galak banget ada gilanya" di awal video.

Lebih dari empat kali sang perekam mengatakan gila, dan mengaku si mahasiswa koas tersebut memukul mobilnya.

Di titik ini sang perekam menjadikan media sosial sebagai senjata untuk "menusukkan pisaunya" ke jantung pertahanan lawan dan ternyata berhasil, hujatan demi hujatan dilontarkan oleh netizen di kolom-kolom komentar postingan video tersebut.

Atas beredarnya rekaman video itu netizen mengecam aksi yang dilakukan si mahasiswi koas dan menjadikan media sosial ruang penghakiman tanpa tau sebab musabab yang terjadi.

Saya tidak mengaminkan atas tindakan yang dilakukan sang mahasiswi koas itu, karena dalam persepsi masyarakat profesi yang sedang ia jalani syarat dengan pelayanan.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Dalam keterangannya Humas RSUD Pirngadi, Edison Perangin-angin mengatakan bahwa kejadian itu akibat kesalahpahaman antara F dan pengendara mobil, saat itu pengendara membunyikan klakson.

Lantas apakah video sebelum adu mulut terjadi beredar? bagaimana klakson yang ditekan oleh pengendara mobil itu apakah suaranya mengganggu?

Kita tidak melihat kejadian sebelum adu mulut terjadi, namun sekali lagi netizen telah menghakimi atas tindakan sang koas yang bisa saja merupakan "akibat" bukan sebab. Sebab yang saya maksud adalah mengapa hal itu memicu emosi si koas.

Kita hidup di era post truth

Post Truth, yakni frasa yang dipakai sejak tahun 1992, oleh Steve Tesich dalam tulisannya The Government of Lies dalam majalah The Nation, “Kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan kita ingin hidup di dunia post truth.” 

Sederhananya jika sesuatu dikemas dengan rapi dan mendapatkan apresiasi maka itu akan menjadi sebuah kebenaran. 

Jika dikaitkan dengan teori gunung es, bahwa 10 persen yang tampak dipermukaan dan 90 persennya lagi tidak kelihatan. Bisa jadi peristiwa rekaman video itu merupakan 10 persen atas renteran peristiwa yang terjadi sebenarnya.

Lantas bagaimana "post truth" melanglang buana di media sosial? 

Dalam persepsi masyarakat digital, saat ada masalah si perekam adalah korban dan subjek yang direkam adalah pelaku. Hal ini banyak sekali dibuktikan dengan berbagai peristiwa.

Sekali lagi, perekaman yang dilakukan wanita tersebut adalah sebagai upaya untuk mendapatkan kekuatan dari warganet. Sang perekam tanpa mukadimah menjelaskan hal yang terjadi dan langsung mencerca si mahasiswi koas.

Sadar tidak sadar acapkali perekaman dianggap obat mujarab dalam menyebarkan sebuah peristiwa, tanpa ada keterangan yang jelas dan detail atas peristiwa yang terjadi dan goalsnya adalah "persepsi".

Sekali lagi saya tidak mengaminkan tindakan emosional yang dilakukan oleh sang koas, namun saya ingin mengatakan unsur objektivitas dan kroscek terlebih dahulu sebelum memberikan penghakiman di media sosial.

*** Irsan Mulyadi adalah  Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi FISIP USU
 

Pewarta: Irsan Mulyadi )***

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023