Pemerintah diminta mengkaji ulang upaya penerapan "Zero" Keramba Jaring Apung (KJA) di perairan Danau Toba, Sumatera Utara dalam memajukan sektor pariwisata. 

Soalnya, menurut anggota DPRD Sumut, Gusmiyadi, Sabtu (20/11), kebijakan pengosongan itu melibatkan nasib banyak orang yang akan kehilangan mata pencariannya. 

Politisi Partai Gerindra itu menyebutkan, perputaran uang dari hasil budidaya perikanan di perairan untuk kawasan Danau Toba mencapai Rp 3 triliun lebih per tahunnya. 

Baca juga: Tumbuhan semak halangi view Danau Toba

Selain itu, dia mengetahui di beberapa tempat, masyarakat sekitar Danau Toba tidak mempunyai lahan yang bisa dioptimalkan untuk pertanian. 

Kalau pun ada lahan, bukan hal yang gampang untuk mengalihfungsikan mereka menjadi petani dil uar dari pembudidaya ikan. 

Makanya menjadi situasi penting bagi Pemerintah melakukan kajian yang tuntas, dengan melakukan semacam proyeksi jika kemudian kebijakan pengosongan dilakukan. 

Pemerintah katanya, juga harus mampu mengkolaborasi dan memberikan opsi kemungkinan kegiatan KJA itu pada skala tertentu dijadikan bagian yang terintegrasi dengan kegiatan pariwisata, sehingga potensi konflik bisa dikurangi.

Sejumlah pemilik KJA mengaku gelisah. Satu di antaranya, T Sinaga, warga Dusun Bontean, Nagori Sibaganding, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun. 

Dia masih bingung bila pengosongan KJA dilakukan, karena tinggal di perbukitan, dan tidak bisa diusahai dengan tanaman pertanian. 

Apalagi, pengembangan destinasi pariwisata super prioritas kawasan Danau Toba belum memberikan pengaruh positif untuk kehidupan keluarganya. 

Untuk itu, dia mengusulkan agar KJA di seputaran atau yang berdekatan dengan objek wisata, yang ditertibkan. 
 

Pewarta: Waristo

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021