Kementerian Agama menyatakan sebanyak 56 ribu guru madrasah di Indonesia belum memenuhi kriteria S1 atau sarjana lengkap kendati pemerintah telah mewajibkan guru harus berijazah setidaknya S1 sesuai UU Nomor 14/2005 tentang guru.
"Ini memang menjadi salah satu prioritas kerja kita untuk mengentaskan mereka," ujar Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kementerian Agama Muhammad Zain dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Sabtu (5/6)
Zain mengatakan seharusnya para guru madrasah yang belum bergelar S1 dilarang mengajar berdasarkan regulasi tahun 2005 tentang guru tersebut.
Baca juga: UISU-UIR kerjasama peningkatan pendidikan dan penelitian
Namun saat ini para guru madrasah itu masih diberi waktu untuk menyesuaikan diri karena pemerintah memberikan kelonggaran waktu berdasarkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Kelonggaran ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag Muhammad Ali Ramdhani meminta para rektor kampus Islam ikut melek terhadap kenyataan tersebut. Para guru yang belum S1 itu mayoritas berada di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Menurut dia, para guru yang belum S1 itu kebanyakan menjadi figur sentral bagi unit pendidikan di lingkungannya. Dengan demikian mereka tidak dimungkinkan mengambil jeda libur yang lama hanya untuk kuliah tatap muka demi mengejar S1.
"Kalau mereka kuliah ke kota sekolah mereka bisa bubar," kata Ali Ramdhani.
Baca juga: DPRD Kota Medan apresiasi pencairan bantuan guru honor
Maka dari itu, ia menyatakan bahwa negara harus hadir dalam menyajikan pendidikan bagi para pejuang ini dengan membentuk Cyber Islamic University atau universitas islam berbasis siber.
Awalnya terdapat ide pembentukan semacam universitas Islam terbuka, tetapi ide itu berkembang menjadi Cyber Islamic University untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Ide perkuliahan siber itu diwujudkan sepenuhnya dengan menggunakan sistem daring, mulai dari pendaftaran, proses pembelajaran, sampai kelulusannya.
Saat ini peta konsep, modul, dan model pembelajaran jarak jauhnya sudah ada, sehingga dalam waktu dekat sudah siap diaplikasikan.
"Ini merupakan pekerjaan berat, karena saat ini yang akan terlibat sebanyak 58 kampus. Bila dihitung kapasitas, untuk mengentaskan 56 ribu guru menjadi sarjana lengkap memerlukan waktu lebih dari 10 tahun," kata dia.
Model universitas siber ini nantinya juga akan dibutuhkan oleh warga negara Indonesia yang berada di luar teritori, seperti para TKI. Di waktu senggang usai bekerja, mereka dapat kuliah melalui platform ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021
"Ini memang menjadi salah satu prioritas kerja kita untuk mengentaskan mereka," ujar Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kementerian Agama Muhammad Zain dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Sabtu (5/6)
Zain mengatakan seharusnya para guru madrasah yang belum bergelar S1 dilarang mengajar berdasarkan regulasi tahun 2005 tentang guru tersebut.
Baca juga: UISU-UIR kerjasama peningkatan pendidikan dan penelitian
Namun saat ini para guru madrasah itu masih diberi waktu untuk menyesuaikan diri karena pemerintah memberikan kelonggaran waktu berdasarkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Kelonggaran ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag Muhammad Ali Ramdhani meminta para rektor kampus Islam ikut melek terhadap kenyataan tersebut. Para guru yang belum S1 itu mayoritas berada di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Menurut dia, para guru yang belum S1 itu kebanyakan menjadi figur sentral bagi unit pendidikan di lingkungannya. Dengan demikian mereka tidak dimungkinkan mengambil jeda libur yang lama hanya untuk kuliah tatap muka demi mengejar S1.
"Kalau mereka kuliah ke kota sekolah mereka bisa bubar," kata Ali Ramdhani.
Baca juga: DPRD Kota Medan apresiasi pencairan bantuan guru honor
Maka dari itu, ia menyatakan bahwa negara harus hadir dalam menyajikan pendidikan bagi para pejuang ini dengan membentuk Cyber Islamic University atau universitas islam berbasis siber.
Awalnya terdapat ide pembentukan semacam universitas Islam terbuka, tetapi ide itu berkembang menjadi Cyber Islamic University untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Ide perkuliahan siber itu diwujudkan sepenuhnya dengan menggunakan sistem daring, mulai dari pendaftaran, proses pembelajaran, sampai kelulusannya.
Saat ini peta konsep, modul, dan model pembelajaran jarak jauhnya sudah ada, sehingga dalam waktu dekat sudah siap diaplikasikan.
"Ini merupakan pekerjaan berat, karena saat ini yang akan terlibat sebanyak 58 kampus. Bila dihitung kapasitas, untuk mengentaskan 56 ribu guru menjadi sarjana lengkap memerlukan waktu lebih dari 10 tahun," kata dia.
Model universitas siber ini nantinya juga akan dibutuhkan oleh warga negara Indonesia yang berada di luar teritori, seperti para TKI. Di waktu senggang usai bekerja, mereka dapat kuliah melalui platform ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021