Menteri Kesehatan Jerman Jens Spahn pada Selasa (3/11) mempertahankan keputusannya untuk membeli pasokan tambahan remdesivir guna mengobati COVID-19.
Menurut dia, obat antivirus buatan Gilead itu bermanfaat, terutama di awal perjalanan penyakit.
"Karena dapat diterima di beberapa kondisi dan karena tingginya kebutuhan, kami telah mengamankan pasokan tambahan remdesivir," kata Spahn saat konferensi pers.
Baca juga: Obat penanganan COVID-19 racikan holding BUMN farmasi siap digunakan
Jerman pada Senin mengatakan telah meminta sekitar 5 persen dari pasokan remdesivir di bawah kontrak Uni Eropa dan Gilead selama enam bulan, meski kontrak tersebut dikritik lantaran minimnya bukti keampuhan remdesivir dalam pengobatan COVID-19.
Baca juga: Satu dari tiga pasien COVID-19 di Korsel sembuh dengan remdesivir
Para pakar telah meminta Brussels agar menegosiasikan kontrak senilai 1 miliar euro (sekitar Rp17 triliun) yang disepakati bulan lalu setelah remdesivir menunjukkan hasil yang buruk dalam uji klinis berskala besar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Ketua asosiasi DIVI Jerman untuk perawatan intensif, Uwe Janssens, mengatakan Uji Klinis Solidaritas WHO tentang remdesivir belum dilakukan tinjauan sejawat oleh pakar eksternal.
"Inilah alasan bagi kami untuk melihatnya secara hati-hati," katanya, seraya mengatakan bahwa dirinya yakin bahwa penggunaan remdesivir dalam tahap awal pengobatan dapat diterima.
Para dokter Swiss mengatakan kepada Reuters bahwa mereka juga masih menggunakan remdesivir di rumah sakit.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
Menurut dia, obat antivirus buatan Gilead itu bermanfaat, terutama di awal perjalanan penyakit.
"Karena dapat diterima di beberapa kondisi dan karena tingginya kebutuhan, kami telah mengamankan pasokan tambahan remdesivir," kata Spahn saat konferensi pers.
Baca juga: Obat penanganan COVID-19 racikan holding BUMN farmasi siap digunakan
Jerman pada Senin mengatakan telah meminta sekitar 5 persen dari pasokan remdesivir di bawah kontrak Uni Eropa dan Gilead selama enam bulan, meski kontrak tersebut dikritik lantaran minimnya bukti keampuhan remdesivir dalam pengobatan COVID-19.
Baca juga: Satu dari tiga pasien COVID-19 di Korsel sembuh dengan remdesivir
Para pakar telah meminta Brussels agar menegosiasikan kontrak senilai 1 miliar euro (sekitar Rp17 triliun) yang disepakati bulan lalu setelah remdesivir menunjukkan hasil yang buruk dalam uji klinis berskala besar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Ketua asosiasi DIVI Jerman untuk perawatan intensif, Uwe Janssens, mengatakan Uji Klinis Solidaritas WHO tentang remdesivir belum dilakukan tinjauan sejawat oleh pakar eksternal.
"Inilah alasan bagi kami untuk melihatnya secara hati-hati," katanya, seraya mengatakan bahwa dirinya yakin bahwa penggunaan remdesivir dalam tahap awal pengobatan dapat diterima.
Para dokter Swiss mengatakan kepada Reuters bahwa mereka juga masih menggunakan remdesivir di rumah sakit.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020