Sakit kepala merupakan satu di antara beragam keluhan fisik yang paling sering dirasakan oleh masyarakat.

Mengingat kurang dari satu persen dari semua jenis sakit kepala mengancam jiwa, tantangannya adalah meyakinkan dan merawat pasien dengan sakit kepala ringan sambil menemukan sakit kepala langka yang mengancam jiwa tanpa evaluasi berlebihan.

Umumnya sakit kepala dibedakan menjadi dua macam, yakni primer dan sekunder.

Baca juga: Lagu "Lathi" pecahkan rekor Spotify Indonesia

Baca juga: Mitos dan fakta seputar masalah kesehatan

Perbedaan sakit kepala primer dan sekunder bermanfaat secara diagnostik. Sakit kepala primer, seperti sakit kepala tegang otot (SKTO), migrain, dan klaster, didiagnosis secara klinis, menggunakan kriteria diagnostik --yang paling umum digunakan berdasarkan kriteria IHS (International Headache Society). Bila dirinci, terdapat lebih dari 30 diagnosis dengan keluhan utama sakit kepala.

Berbagai studi diagnostik konvensional atau tradisional, seperti studi laboratorium, radiologi, patologi tidak dapat memverifikasi diagnosis.

Sakit kepala sekunder, seperti sakit kepala yang disebabkan oleh tumor sistem saraf pusat (SSP), seringkali dapat didiagnosis secara pasti dengan cara mengidentifikasi penyakit yang mendasari.

Secara klinis, sakit kepala primer dan sekunder bisa sulit dibedakan. Satu-satunya pertanyaan terpenting ketika mengembangkan diagnosis banding untuk sakit kepala adalah, "Apakah ini sakit kepala baru atau lama?" Sakit kepala kronis cenderung bersifat primer, sedangkan sakit kepala yang baru timbul biasanya bersifat sekunder.

Ini adalah poin penting pertama dan terpenting dalam mendiagnosis sakit kepala.

Beberapa pertanyaan yang menjadi fokus perhatian dokter saat melakukan anamnesis (wawancara terstruktur) pasien dengan keluhan sakit kepala adalah lokasi, onset, derajat keparahan, kualitas, tanda dan gejala atau potret klinis, pola serangan, bagian atau area di kepala yang sering sakit kepala, riwayat penyakit terdahulu, faktor-faktor risiko, dan pencetus sakit kepala.

Mari kita bicarakan sakit kepala yang sering dirasakan masyarakat, yakni Tension Type Headache (TTH). Istilah awamnya sakit kepala tegang otot (SKTO). Dahulu, istilah SKTO di dunia kedokteran disebut juga sebagai tension headache, psychogenic headache, stress headache, muscle-contraction headache. Terminologi ini sekarang tidak digunakan lagi.

                                                                                       Kategori
Menurut The international Classification of Headache Disorders, edisi ketiga pada 2013, SKTO dikategorikan sebagai gangguan kepala primer (primary headache disorder). SKTO memiliki beberapa subtipe, seperti (1) SKTO episodik infrekuen. Episode sakit kepala terjadi kurang dari satu hari per bulan, (2) SKTO episodik frekuen. Episode sakit kepala terjadi 114 hari per bulan, (3) SKTO kronis. Episode sakit kepala terjadi selama 15 hari atau lebih per bulan.

Sakit kepala tegang otot (SKTO) merupakan sakit kepala primer tersering dijumpai pada populasi umum. Prevalensi SKTO di kehidupan sekitar 3.078 persen. Seringnya sakit kepala ini terjadi, maka pantaslah bila SKTO dijuluki sebagai sakit kepala sejuta umat alias sakit kepala sejuta massa.

SKTO tipe episodik infrekuen lebih sering terjadi dibandingkan tipe lainnya. Perempuan cenderung memiliki prevalensi lebih tinggi (2,7-86 persen) terkena SKTO dibandingkan pria (1,3-65 persen). Prevalensi tertinggi pada dekade keempat dan menurun sesuai usia.

Umumnya, penyebab SKTO dibagi menjadi dua, yakni organik dan gangguan fungsional.

Penyebab organik SKTO meliputi meningitis, hidrosefalus, sifilis, tumor serebral. Gangguan fungsional sebagai penyebab SKTO antara lain anemia, kelelahan, kerja lembur, bekerja tidak mengenal waktu, kegemukan (obesitas), gout, ketidaknormalan sistem endokrin, intoksikasi (keracunan), nyeri alih, dan nyeri yang direfleksikan.

Faktor risiko SKTO antara lain gangguan emosional, usia muda, tidak mampu bersantai atau relaksasi usai bekerja, gangguan tidur, tidur hanya beberapa jam di setiap malam, kurang mampu menjaga kesehatan diri sendiri.

Pencetus dan pemicu SKTO misalnya stres, ketegangan mental, konflik emosional, faktor pekerjaan (beban kerja menumpuk atau terlalu berat), dehidrasi, kelaparan, putus kafein mendadak, fluktuasi siklus hormonal pada wanita, dan perubahan pola tidur.

Pasien mendeskripsikan SKTO sebagai sakit kepala yang bersifat ringan hingga sedang. Rasa nyeri, sakit, tertekan, berat, tidak enak, atau tidak nyaman dirasakan bilateral.

Maksudnya, di kedua sisi kepala. Rasa tidak nyaman itu dapat menjalar ke dahi, pelipis, hingga leher. Rasa sakit atau nyeri pada SKTO dapat berlangsung selama 30 menit hingga beberapa hari dan dapat berlanjut pada kasus-kasus berat.

Kualitas nyeri pada SKTO terasa sangat khas, yakni non-pulsating atau non-throbbing (tidak berdenyut), tightening (mengikat), pressing (menekan). Seringkali dilukiskan pasien seolah kepalanya diikat pita dengan ketat atau ditekan kuat. Aktivitas fisik di kehidupan sehari-hari tidak memengaruhi intensitas SKTO.

Umumnya, penderita SKTO dapat merasakan anoreksia (gangguan makan salah satunya karena takut gemuk), namun tidak disertai mual atau muntah. Silau karena cahaya (fotofobia) atau bising karena suara (fonofobia) bisa ada salah satunya, namun tidak keduanya sekaligus. Stres dilaporkan sebagai pemicu SKTO.

Penderita SKTO umumnya tidak disertai gangguan penglihatan apapun, nyeri umum yang berkelanjutan, demam, kaku leher, trauma (jatuh atau kecelakaan, bukan trauma psikologis), atau bruxism (pengeratan gigi, gemeretak atau bunyi gigi saling bergesekan).

Pemeriksaan fisik dan sistem persarafan dapat dikatakan normal, meskipun terkadang dijumpai nyeri otot perikranial (kepala) dan miofasial (wajah).

                                                                                 Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan penunjang penderita SKTO umumnya normal. Pemeriksaan laboratorium, CT scan, MRI, dan cairan serebrospinal dalam batas normal.

Untuk keperluan diagnostik atau riset, dokter dan klinisi dapat menggunakan instrumen penilaian berupa kuesioner. Frekuensi nyeri diukur menggunakan catatan harian sakit kepala (headache diary).

Intensitas nyeri diukur menggunakan skala analog visual, algometri tekanan, the Headache Index, dan McGill Pain Questionnaire. Disabilitas diukur menggunakan Headache Disability Index (HDI).

Kualitas kehidupan dinilai menggunakan Survei Kesehatan Formulir Pendek-36 dan Survei Kesehatan Formulir Pendek-12. Derajat gerakan leher dinilai dengan pengukuran goniometrik dan Cervical Range of Motion Device. Dampak sakit kepala di keseharian dinilai dengan Headache Impact Test (HIT-6).

Untuk terapi lini pertama, dokter biasanya merekomendasikan analgesik sederhana. Medikamentosa yang umumnya diresepkan dokter antara lain ibuprofen (400 mg), naproxen (220-550 mg), atau aspirin (650-1.000 mg).

Pemberian acetaminophen (1.000 mg) kurang efektif, namun masih masuk akal bila pasien tidak dapat menoleransi obat dari golongan NSAID atau merupakan kontraindikasi.

Bila monoterapi dari analgesik sederhana belum efektif, hendaklah dikonsultasikan ke dokter. Dokter akan meresepkan kafein. Kombinasi analgesik yang mengandung kafein perlu dibatasi hingga dua hari per minggu untuk mencegah berlanjut menjadi sakit kepala akibat kelebihan obat (medication overuse headaches).

Kombinasi analgesik yang mengandung butalbital atau opioid perlu dihindari karena berisiko terjadi ketergantungan, toleransi, dan sakit kepala akibat kelebihan obat.

Modalitas terapi parenteral tidak perlu diberikan pada kasus nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang. Bila perlu sekali diberikan, maka dokter akan meresepkan klorpromazin, difenhidramin, ketorolak, metoklopramid yang dapat digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi.

Obat dari golongan triptan atau relaksan otot tidak direkomendasikan, mengingat keterbatasan data efektivitas pemberiannya.

Terapi nonfarmakologis meliputi terapi fisik dan psikologis. Keduanya dapat disarankan untuk mereka yang enggan minum obat. Terapi fisik, termasuk biofeedback, perbaikan postur tubuh, relaksasi, beristirahat, berolahraga, pemberian kompres panas dan dingin, dan stimulasi elektrik. Kombinasi dari beragam teknik, seperti pijat, relaksasi, berolahraga di rumah memberikan efek bermakna.

Menambahkan pelatihan gerak kepala leher (training kranioservikal) terhadap fisioterapi klasik lebih baik dibandingkan dengan fisioterapi.

Sakit kepala tegang otot memiliki beberapa diagnosis banding. Maksudnya, para klinisi memperhatikan bahwa SKTO ini kondisinya mirip dengan migrain atau gangguan kepala sekunder, berupa sakit kepala akibat penggunaan obat berlebihan, sakit kepala sinus (akibat sinusitis akut atau kronis), sakit kepala servikogenik, sakit kepala akibat tumor otak.

                                                                             Pencegahan
Tatalaksana pencegahan perlu dipertimbangkan pada penderita SKTO episodik frekuen dan kronis. Tujuannya menurunkan frekuensi dan intensitas serangan sakit kepala dan meningkatkan respons terhadap terapi akut.

Amitriptilin dapat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama. Medikasi lainnya masih memerlukan riset lanjutan, seperti gabapentin, mirtazapine, tizanidine, topiramate, dan venlafaxine. Terapi non farmakologis dapat berupa akupunktur, biofeedback, terapi relaksasi, terapi fisik. Pendekatan ini dapat dikombinasikan dengan amitriptilin.

Segeralah ke dokter bila anda mengalami sakit kepala dengan karakteristik seperti sakit kepala dimulai setelah berusia 50 tahun (curiga ada lesi massa atau arteritis temporal), onset sakit kepala mendadak (curiga terjadi perdarahan subarachnoid, pituitary apopleksi pituitari, perdarahan menuju lesi massa atau malformasi vaskuler).

Selain itu, sakit kepala meningkat dalam hal frekuensi dan derajat keparahan atau semakin memberat (curiga lesi massa, hematoma subdural, kelebihan medikasi), sakit kepala onset baru pada pasien dengan faktor risiko infeksi HIV atau kanker (meningitis kronis atau karsinomatosa, abses otak termasuk toksoplasmosis, penyebaran penyakit atau metastasis), sakit kepala dengan tanda-tanda penyakit sistemik berupa demam, kaku leher, ruam kemerahan (curiga meningitis, ensefalitis, penyakit Lyme, infeksi sistemik, penyakit vaskuler kolagen).

Pada kasus sakit kepala akibat trauma kepala (kecelakaan, jatuh), maka dokter dan tim medis akan mencurigai adanya perdarahan intrakranial, hematoma subdural, hematoma epidural, sakit kepala post-traumatic, sehingga akan direkomendasikan untuk pemeriksaan neuroimaging.

*) dr Dito Anurogo MSc adalah dosen tetap di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah (FKIK Unismuh) Makassar, delegasi Indonesia terpilih untuk mengikuti 2020 The Annual Biomedical Exploration Workshop di Taipei Medical University (TMU) Taiwan yang disponsori oleh Kementerian Pendidikan Taiwan, pengurus Asosiasi Sel Punca Indonesia/ASPI, dokter literasi digital, penulis puluhan buku, pengurus Himpunan Dosen Indonesia Jaya, pengurus FLP Makassar Sulawesi Selatan, pengurus APKKM (Asosiasi Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan Muhammadiyah) dan AWMI (Asosiasi Wisata Medis Indonesia), anggota Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) dan ForMIND (the Young Indonesian Research Forum), Dewan Pembina/Penasihat berbagai komunitas. Passion terbesarnya adalah riset, membaca, menulis, literasi, publikasi.
 

Pewarta: dr Dito Anurogo MSc

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020