Ilmuwan Singapura yang menguji vaksin COVID-19 dari perusahaan Amerika Serikat Arcturus Therapeutics berencana melakukan uji coba pada manusia Agustus mendatang setelah menjanjikan respons awal pada tikus.
Lebih dari 100 vaksin di seluruh dunia sedang dikembangkan, termasuk beberapa yang sudah dalam uji coba manusia seperti dari AstraZeneca dan Pfizer, guna mencoba mengendalikan penyakit yang telah menginfeksi lebih dari delapan juta orang dan menewaskan 430.000 orang secara global.
Baca juga: Kasus COVID-19 di Sumut terus naik, total sudah 957 orang positif
Baca juga: Gugus Tugas: Tujuh provinsi tanpa kasus baru COVID-19
Vaksin tersebut sedang dievalusi oleh Sekolah Kedokteran Duke-NUS Singapura yang bekerja pada teknologi Messenger RNA (mRNA) yang relatif belum teruji, yang memerintahkan sel manusia untuk membuat protein virus corona spesifik yang menghasilkan respons imun.
"Faktanya bahwa (vaksin) itu meningkatkan dan memicu respon imun yang sangat seimbang, baik dalam hal antibodi maupun sel pembunuh, sambutan yang baik," kata Ooi Eng Eong, wakil direktur program penyakit menular darurat sekolah tersebut, kepada Reuters, Selasa.
Antibodi menempel pada virus dan mencegahnya menginfeksi sel, saat sel pembunuh, kekuatan lainnya dari sistem imun, mengenali sel yang terinfeksi dan menghancurkannya, katanya.
Baca juga: Imperial College London mulai uji klinis vaksin COVID-19
Prosedur mRNA belum disetujui untuk obat apa pun sehingga pendukungnya, yang juga mencakup perusahaan bioteknologi AS Moderna, menjejaki wilayah yang belum dipetakan.
Oleh sebab itu menurut Ooi riset lebih lama diperlukan untuk memastikan keamanannya.
"Hal yang paling optimistik adalah seputar waktu ini tahun depan, bahwa kita memiliki sebuah vaksin," kata Ooi.
Ooi juga sedang mengerjakan pengobatan antibodi monoklonal untuk COVID-19 dan akan mulai di uji keamanannya pada orang yang sehat pekan ini, sebelum dilakukan uji coba pada pasien COVID-19 dalam beberapa bulan mendatang.
Menurut Ooi, potensi penyebaran pengobatan tersebut dapat lebih cepat dibanding vaksin, tanpa memberikan waktu pastinya.
Antibodi di hasilkan dalam tubuh untuk melawan infeksi. Antibodi monoklonal meniru antibodi alami dan dapat diisolasi dan diproduksi dalam jumlah besar untuk mengobati penyakit.
Singapura menjadi salah satu negara dengan kasus COVID-19 tertinggi di Asia, dengan lebih dari 40.000 kasus, yang kebanyakan ditimbulkan oleh wabah massal di wilayah pekerja migran.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
Lebih dari 100 vaksin di seluruh dunia sedang dikembangkan, termasuk beberapa yang sudah dalam uji coba manusia seperti dari AstraZeneca dan Pfizer, guna mencoba mengendalikan penyakit yang telah menginfeksi lebih dari delapan juta orang dan menewaskan 430.000 orang secara global.
Baca juga: Kasus COVID-19 di Sumut terus naik, total sudah 957 orang positif
Baca juga: Gugus Tugas: Tujuh provinsi tanpa kasus baru COVID-19
Vaksin tersebut sedang dievalusi oleh Sekolah Kedokteran Duke-NUS Singapura yang bekerja pada teknologi Messenger RNA (mRNA) yang relatif belum teruji, yang memerintahkan sel manusia untuk membuat protein virus corona spesifik yang menghasilkan respons imun.
"Faktanya bahwa (vaksin) itu meningkatkan dan memicu respon imun yang sangat seimbang, baik dalam hal antibodi maupun sel pembunuh, sambutan yang baik," kata Ooi Eng Eong, wakil direktur program penyakit menular darurat sekolah tersebut, kepada Reuters, Selasa.
Antibodi menempel pada virus dan mencegahnya menginfeksi sel, saat sel pembunuh, kekuatan lainnya dari sistem imun, mengenali sel yang terinfeksi dan menghancurkannya, katanya.
Baca juga: Imperial College London mulai uji klinis vaksin COVID-19
Prosedur mRNA belum disetujui untuk obat apa pun sehingga pendukungnya, yang juga mencakup perusahaan bioteknologi AS Moderna, menjejaki wilayah yang belum dipetakan.
Oleh sebab itu menurut Ooi riset lebih lama diperlukan untuk memastikan keamanannya.
"Hal yang paling optimistik adalah seputar waktu ini tahun depan, bahwa kita memiliki sebuah vaksin," kata Ooi.
Ooi juga sedang mengerjakan pengobatan antibodi monoklonal untuk COVID-19 dan akan mulai di uji keamanannya pada orang yang sehat pekan ini, sebelum dilakukan uji coba pada pasien COVID-19 dalam beberapa bulan mendatang.
Menurut Ooi, potensi penyebaran pengobatan tersebut dapat lebih cepat dibanding vaksin, tanpa memberikan waktu pastinya.
Antibodi di hasilkan dalam tubuh untuk melawan infeksi. Antibodi monoklonal meniru antibodi alami dan dapat diisolasi dan diproduksi dalam jumlah besar untuk mengobati penyakit.
Singapura menjadi salah satu negara dengan kasus COVID-19 tertinggi di Asia, dengan lebih dari 40.000 kasus, yang kebanyakan ditimbulkan oleh wabah massal di wilayah pekerja migran.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020