Angka stunting di Indonesia dikhawatirkan akan bertambah akibat pandemi COVID-19 yang salah satunya karena kurangnya perhatian khusus terhadap upaya pemenuhan gizi bagi anak dan balita.

Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB, Nihayatul Wafiroh, dalam keterangannya di Jakarta, Senin, mengatakan, meski Indonesia baru masuk dalam daftar negara maju dan menjadi bagian dari G20, namun angka stunting di Indonesia masih tinggi.

“Bahkan angka stunting dan gizi buruk di Indonesia diperkirakan naik signifikan akibat pandemi COVID-19. Pandemi ini menyebabkan sulitnya pemenuhan gizi anak selama masa tumbuh kembang mereka,” kata Nihayatul.

Baca juga: Kuwait dan Qatar penjarakan orang tak pakai masker

Baca juga: 4.129 orang sembuh dari 17.514 kasus positif COVID-19

Ironisnya, ia menambahkan, dalam bantuan sosial yang dibagikan kepada masyarakat sebagian besar berisi asupan instan yang rendah nilai gizinya termasuk mie instan dan krimer kental manis.

Nihayatul menegaskan bahwa hal ini menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah harus lebih serius dalam menangani masalah stunting di negara ini.

Bantuan sosial menurut dia, mestinya berisi pangan yang membantu meningkatkan nilai kecukupan gizi anak dan balita sehingga tetap terjaga imunitasnya selama pandemi.

Baca juga: Seekor anjing dan tiga kucing tertular virus corona

Krimer kental manis, misalnya, sebaiknya tidak disertakan dalam paket bantuan karena tidak bisa menggantikan fungsi susu sebab kegunaan krimer kental manis hanya untuk topping dan bahan makanan sesuai PerBOM Nomor 31 tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.

“Melalui kebijakan itu juga disebutkan bahwa produk turunan susu tersebut tidak boleh diberikan untuk anak-anak karena kandungan gulanya lebih tinggi dibanding protein,” katanya.

Nihayatul menyebut selama ini telah terjadi salah informasi terkait khasiat susu kental manis (SKM) yang mengakibatkan masyarakat salah persepsi selama puluhan tahun.

“SKM diiklankan sebagai produk susu yang sehat bergizi bagi anak-anak. Padahal, SKM memiliki kandungan gula yang tinggi. Jadi harus ada pengawasan dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) dan BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional). Masyarakat juga harus lebih perhatian untuk membaca komposisi dan kandungan gizi dalam setiap produk,” katanya.

Apalagi akses pangan dan gizi semakin menjadi permasalahan di tengah masyarakat dengan adanya pandemi COVID-19 saat ini.

Global Hunger Index 2018 merilis sebuah laporan yang menyatakan bahwa masalah kelaparan di Indonesia sudah berada pada level yang mengkhawatirkan, terlihat dari jumlah skor kelaparan Indonesia yakni sebesar 21,9.

“Ironisnya, posisi Indonesia bahkan berada di peringkat 73 dunia dengan masalah kelaparan. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap kecukupan gizi yang berimbas dengan tingginya stunting,” ujarnya.

Dia melihat edukasi dari pemerintah dalam hal ini Kemenkes belum sampai ke masyarakat mengenai literasi gizi. Sebagai contoh, masyarakat yang tinggal di pesisir punya akses ke makanan bergizi tinggi seperti ikan dan makanan laut lainnya. Namun, banyak masyarakat ini yang menjual ikan untuk dibelanjakan mie instan dan susu kental manis yang justru kandungan gizinya rendah.

“Oleh karena itu, kami menekankan pentingnya terus-menerus meningkatkan literasi gizi dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami masyarakat. Termasuk untuk susu kental manis yang masih dianggap susu bagi masyarakat kita,” katanya.

Nihayatul melihat berbagai regulasi dari Kementerian Kesehatan dan juga Badan POM terkait kecukupan gizi dan label makanan tidak sampai pada tataran implementasi masyarakat.

Padahal permasalahan stunting tidak hanya permasalahan sektor kesehatan, tapi juga menyangkut masalah sosial ekonomi dan juga budaya, sehingga intervensi yang dilakukan harus komprehensif lintas sektoral dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat di tingkat komunitas.

“Sebagai contoh, literasi gizi masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah. Literasi gizi adalah faktor penentu dalam menentukan status gizi dalam masyarakat. Karena itu, langkah awal dalam menyelesaikan persoalan masalah sunting adalah dengan memperbaiki tingkat literasi gizi masyarakat,” katanya.

Tercatat selama 10 tahun terakhir ini angka stunting sudah mengalami penurunan, namun dari hasil riset studi status gizi balita Indonesia (SSGBI) 2019 mencatat bahwa jumlah balita stunting di Indonesia saat ini mencapai 27,67 persen.

Artinya, terdapat 6,3 juta dari populasi 23 juta balita di Indonesia yang stunting, fakta ini menempatkan pada urutan keempat di dunia dalam hal tingginya angka stunting.

Kondisi ini mengharuskan Indonesia untuk terus melakukan terobosan dalam mencapai target pada 2024 yaitu persentase stunting 14 persen sesuai rekomendasi WHO, angka stunting harus di bawah 20 persen.

Pewarta: Hanni Sofia

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020