Kemunculan bunga eceng gondok yang viral di dalam sebuah kolam di Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, membuka mata masyarakat bahwa tumbuhan air tersebut memiliki potensi ekonomi salah satunya ekowisata demikian dikatakan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Gadis Sri Haryati.
"Awal mulanya eceng gondok itu tumbuhan air yang punya keindahan, karena bunganya yang indah," kata Peneliti dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI, Prof Gadis Sri Haryati kepada ANTARA saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Gadis menjelaskan awal mula ditemukan eceng gondok (Eichhornia crassipes) dijadikan sebagai tanaman hias karena memiliki bunga yang indah.
Tetapi jarang sekali eceng gondok bisa berbunga secara banyak seperti yang sedang viral di Cirebon dan beberapa daerah lainnya. "Biasanya berbunga satu atau dua sehingga tidak terlalu jelas terlihat keindahannya dan tidak terlalu signifikan," kata peneliti Limnologi ini.
Menurut Gadis, eceng gondok bisa berbunga lebih dari satu kali dan warna bunganya dominan ungu. Berdasarkan literatur yang ada menyatakan Eceng gondok berbunga antara bulan Mei-September untuk wilayah temperate. Sedangkan untuk wilayah tropis sepanjang tahun.
Eceng gondok lanjut dia, memiliki sifat mudah tumbuh apalagi dalam kondisi ekstrem bisa bertahan di perairan yang kondisinya subur dan cocok. Hal ini menyebabkan eceng gondok menjadi tumbuhan invasif.
Invasif adalah spesies (hewan atau tumbuhan) yang bukan tempat aslinya, tumbuh secara luas sehingga menginvasi atau mempengaruhi kawasan atau tempat tersebut.
Hal inilah yang menjadikan Eceng gondok kerap dipandang sebagai gulma yakni tumbuhan yang kehadirannya tidak diinginkan atau jadi tumbuhan pengganggu.
Di beberapa perairan misalnya seperti danau atau waduk, keberadaan Eceng gondok dianggap sebagai tumbuhan pengganggu seperti di Danau Rawa Pening, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Danau Limboto di Gorontalo, Danau Tempe di Sulawesi Selatan, dan danau-danau lain.
Eceng gondok juga jadi pengganggu di sejumlah waduk seperti Waduk Saguling, Waduk Jatiluhur dan lainnya.
Eceng gondok tubuh di perairan yang subur atau mengandung nutrien (nitrogen dan fosfat). Di Indonesia ada perairan yang subur secara alam, perairan tidak subur dan perairan yang mengalami penyuburan dari lingkungan sekitar.
Ia mengatakan perairan yang mengalami penyuburan karena lingkungan sekitar bisa disebabkan oleh masuknya nutrien dari aktivitas pertanian yang menggunakan bahan pupuk seperti pestisida dan lainnya.
"Jadi nutrien yang ada di dalam peraturan seolah olah menjadi pupuk bagi eceng gondok untuk tumbuh subur di perairan," katanya.
Di sisi sifat negatifnya sebagai tumbuhan pengganggu perairan, eceng gondok juga memiliki segudang manfaatnya, selain bisa diolah sebagai pupuk kompos dan bahan baku produk kerajinan, viralnya bunga Eceng gondok juga bisa menjadi destinasi wisata alternatif jika dikelola dengan baik.
Gadis mengatakan selama keberadaan eceng gondok bisa dikelola dengan baik akan mendatangkan manfaat yang bernilai ekonomi bagi masyarakat sekitarnya.
Seperti di luar negeri saat ini bibit eceng gondok dijual dengan harga cukup mahal salah satunya di Jepang dibandrol dengan harga 93 Yen atau setara dengan Rp12 ribu per bibit.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019
"Awal mulanya eceng gondok itu tumbuhan air yang punya keindahan, karena bunganya yang indah," kata Peneliti dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI, Prof Gadis Sri Haryati kepada ANTARA saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Gadis menjelaskan awal mula ditemukan eceng gondok (Eichhornia crassipes) dijadikan sebagai tanaman hias karena memiliki bunga yang indah.
Tetapi jarang sekali eceng gondok bisa berbunga secara banyak seperti yang sedang viral di Cirebon dan beberapa daerah lainnya. "Biasanya berbunga satu atau dua sehingga tidak terlalu jelas terlihat keindahannya dan tidak terlalu signifikan," kata peneliti Limnologi ini.
Menurut Gadis, eceng gondok bisa berbunga lebih dari satu kali dan warna bunganya dominan ungu. Berdasarkan literatur yang ada menyatakan Eceng gondok berbunga antara bulan Mei-September untuk wilayah temperate. Sedangkan untuk wilayah tropis sepanjang tahun.
Eceng gondok lanjut dia, memiliki sifat mudah tumbuh apalagi dalam kondisi ekstrem bisa bertahan di perairan yang kondisinya subur dan cocok. Hal ini menyebabkan eceng gondok menjadi tumbuhan invasif.
Invasif adalah spesies (hewan atau tumbuhan) yang bukan tempat aslinya, tumbuh secara luas sehingga menginvasi atau mempengaruhi kawasan atau tempat tersebut.
Hal inilah yang menjadikan Eceng gondok kerap dipandang sebagai gulma yakni tumbuhan yang kehadirannya tidak diinginkan atau jadi tumbuhan pengganggu.
Di beberapa perairan misalnya seperti danau atau waduk, keberadaan Eceng gondok dianggap sebagai tumbuhan pengganggu seperti di Danau Rawa Pening, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Danau Limboto di Gorontalo, Danau Tempe di Sulawesi Selatan, dan danau-danau lain.
Eceng gondok juga jadi pengganggu di sejumlah waduk seperti Waduk Saguling, Waduk Jatiluhur dan lainnya.
Eceng gondok tubuh di perairan yang subur atau mengandung nutrien (nitrogen dan fosfat). Di Indonesia ada perairan yang subur secara alam, perairan tidak subur dan perairan yang mengalami penyuburan dari lingkungan sekitar.
Ia mengatakan perairan yang mengalami penyuburan karena lingkungan sekitar bisa disebabkan oleh masuknya nutrien dari aktivitas pertanian yang menggunakan bahan pupuk seperti pestisida dan lainnya.
"Jadi nutrien yang ada di dalam peraturan seolah olah menjadi pupuk bagi eceng gondok untuk tumbuh subur di perairan," katanya.
Di sisi sifat negatifnya sebagai tumbuhan pengganggu perairan, eceng gondok juga memiliki segudang manfaatnya, selain bisa diolah sebagai pupuk kompos dan bahan baku produk kerajinan, viralnya bunga Eceng gondok juga bisa menjadi destinasi wisata alternatif jika dikelola dengan baik.
Gadis mengatakan selama keberadaan eceng gondok bisa dikelola dengan baik akan mendatangkan manfaat yang bernilai ekonomi bagi masyarakat sekitarnya.
Seperti di luar negeri saat ini bibit eceng gondok dijual dengan harga cukup mahal salah satunya di Jepang dibandrol dengan harga 93 Yen atau setara dengan Rp12 ribu per bibit.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019