Deklarasi Bangkok dan Kerangka Aksi ASEAN tentang Sampah di Laut menunjukkan bahwa aksi kolektif regional dapat merespon persoalan bersama, namun Greenpeace menyayangkan keduanya belum menyentuh hulu persoalan.

Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi dalam keterangan tertulis diterima di Banyuwangi, Selasa, mengatakan kedua kesepakatan tersebut gagal mengatasi masalah pencemaran plastik pada akarnya, karena lebih fokus pada pengelolaan limbah ketimbang tindakan untuk mengurangi produksi plastik sekali pakai sehingga tidak berakhir sebagai sampah.

Plastik adalah masalah polusi, bukan sekadar masalah sampah. Menurut dia, plastik harus ditangani sepanjang siklus hidupnya, mulai dari produksi, konsumsi hingga akhir siklus hidupnya.

Ia mengatakan membatasi ruang lingkup Kerangka Aksi untuk sampah di laut artinya hanya melihat permasalahan plastik pada ujungnya saja -setelah polusi plastik tercipta- seperti persoalan buruknya sistem daur ulang, pengelolaan dan pembuangan limbah.

Seharusnya semua negara ASEAN fokus ke hulu persoalan dengan secara drastis mengurangi produksi plastik sehingga dapat berimbas pada turunnya pencemaran akibat sampah plastik, ujar dia.

Baca juga: Para pemimpin ASEAN sahkan Deklarasi Bangkok tentang melawan Sampah Laut

Baca juga: Pegiat lingkungan harapkan Deklarasi Bangkok tentang penanganan sampah segera diimplementasikan

Untuk mengurangi polusi plastik secara efektif, baik di darat atau di laut, negara-negara ASEAN harus bertindak lebih fundamental daripada Kerangka Aksi ini dan mewujudkan kebijakan di dalam negeri masing-masing yang memastikan lebih sedikit plastik sekali pakai yang akan diproduksi. Hal ini dapat dilakukan melalui peraturan larangan plastik sekali pakai dan undang-undang yang akan memfasilitasi perancangan ulang sistem pengemasan dan pengiriman produk.

Yang paling mendasar, ia mengatakan Kerangka Aksi ini belum mengatasi masalah impor sampah plastik. Negara-negara ASEAN telah berjuang melawan perdagangan sampah plastik yang memiliki konsekuensi ekologis dan sosial yang serius, namun tidak adanya tindakan dari ASEAN tentang masalah perdagangan sampah plastik, termasuk untuk daur ulang, sangatlah mengkhawatirkan, padahal KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ini adalah waktu terbaik untuk membahas penyelesaiannya.

Greenpeace merekomendasikan agar ASEAN menerapkan larangan segera pada semua impor sampah plastik, bahkan yang dimaksudkan untuk daur ulang dan memastikan semua negara ASEAN meratifikasi Amandemen Konvensi Basel tentang perdagangan sampah plastik.

Selain itu, menetapkan kebijakan regional yang holistik untuk mengurangi produksi kemasan dan produk plastik sekali pakai secara masif, serta memfasilitasi inovasi pada kemasan yang dapat digunakan kembali dan sistem pengiriman alternatif.

Lalu memajukan kerangka ekonomi sirkular yang berkelanjutan, etis, dan berdasarkan pada pendekatan nol sampah (zero waste) yang melindungi kesehatan manusia dan lingkungan, serta memungkinkan kawasan ASEAN untuk memisahkan pertumbuhan ekonomi dari ekstraksi, produksi, konsumsi, dan pemborosan sumber daya yang berlebihan.

 

Baca juga: Indonesia tekankan pentingnya keamanan repatriasi Rohingya di Rakhine

 

Pewarta: Virna P Setyorini

Editor : Akung


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019