Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu memanggil mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham dalam penyidikan kasus tindak pidana korupsi terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

Idrus dijadwalkan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Dirut PLN nonaktif Sofyan Basir (SFB).

"Penyidik hari ini dijadwalkan memeriksa mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham sebagai saksi untuk tersangka SFB terkait tindak pidana korupsi terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.

Selain Idrus, KPK juga memanggil tiga saksi lainnya untuk tersangka Idrus, yakni Senior Vice President Legal Corporate PT PLN Dedeng Hidayat, Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali, dan Nusa Tenggara PT PLN Djoko R Abumanan, dan Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Tengah PT PLN Amir Rosidin.

Idrus juga merupakan terdakwa dalam kasus suap proyek PLTU Riau-1. Idrus pada 23 April 2019 sudah divonis 3 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 2 bulan, karena terbukti menerima suap bersama-sama dengan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih.

Atas vonis itu, baik KPK maupun Idrus telah mengajukan banding.

Pada awalnya, pengurusan PLTU Riau-1 dilakukan Eni Saragih dengan melaporkan ke Setya Novanto, namun setelah Novanto ditahan KPK dalam kasus KTP-el, Eni Maulani melaporkan perkembangan proyek PLTU Riau-1 ke Idrus Marham.

Idrus melakukan komunikasi dengan Eni Saragih, dalam komunikasi tersebut, terdakwa selaku penanggung jawab Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar mengarahkan Eni Maulani Saragih selaku Bendahara untuk meminta uang sejumlah 2,5 juta dolar AS kepada pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo guna keperluan Munaslub Partai Golkar tahun 2017.

KPK pada Selasa (23/4) telah menetapkan Sofyan sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Johannes Budisutrisno Kotjo.

Dalam kronologi kasus tersebut, Johannes Kotjo mencari bantuan agar diberikan jalan berkoordinasi dangan PT PLN untuk mendapatkan proyek "Independent Power Producer" (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).

Diduga, telah terjadi beberapa kali penemuan yang dihadiri sebagian atau seluruh pihak, yaitu Sofyan Basir, Eni Maulani Saragih, dan Johannes Kotjo membahas proyek PLTU.

Pada 2016, meskipun belum terbit Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK), dalam pertemuan tersebut diduga Sofyan telah menunjuk Johannes Kotjo untuk mengerjakan proyek di Riau (PLTU Riau-1) karena untuk PLTU di Jawa sudah penuh dan sudah ada kandidat.

Kemudian, PLTU Riau-1 dengan kapasitas 2x300 MW masuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.

Johannes Kotjo meminta anak buahnya untuk siap-siap karena sudah dipastikan Riau-1 milik PT Samantaka.

Setelah itu, diduga Sofyan Basir memerintahkan salah satu Direktur PT PLN agar "Power Purchase Agreement" (PPA) antara PLN dengan Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Co (CHEC) segera direalisasikan.

Sampai dengan Juni 2018, diduga terjadi sejumlah pertemuan yang dihadiri sebagian atau seluruh pihak, yaitu Sofyan, Eni Maulani Saragih, dan Johannes Kotjo serta pihak lain di sejumlah tempat seperti hotel, restoran, kantor PLN, dan rumah Sofyan.

Tersangka Sofyan pun telah mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang perdana praperadilan Sofyan akan digelar pada Senin (20/5).

Pewarta: Benardy Ferdiansyah

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019