Pemkab Tapanuli Utara melakukan pemancangan plang kepemilikan lahan Rumah Sakit Umum Tarutung sebagai bentuk peneguhan dan penegasan bahwa lahan tempat berdirinya instansi pelayanan medis tersebut merupakan lahan milik pemerintah daerah setempat.
Hal itu dilakukan Pemkab Taput dalam menyikapi adanya klaim kepemilikan yang disuarakan oleh lembaga keagamaan terbesar se-Asia Tenggara, Huria Kristen Batak Protestan.
"Terus terang, kita sangat menyesalkan munculnya hal-hal yang menyebabkan semangat untuk memajukan RSU Tarutung menjadi terkendala. Kemajuannya tersandera," terang Alboin Butarbutar, Kepala Bagian Hukum Perundangan Setdakab Pemkab Taput, Kamis (4/4).
Menurut dia, munculnya klaim kepemilikan lahan Rumah Sakit Umum Tarutung oleh HKBP, saat alas hak kepemilikan lahan tersebut diperjuangkan penerbitan sertifikatnya sebagai poin urgen dalam upaya pemajuan dan pengembangan instansi pelayanan kesehatan tersebut demi kemaslahatan masyarakat, menjadi terkendala.
"Seharusnya, seluruh pihak dan lapisan masyarakat bahu-membahu untuk berperan serta demi memajukan kesejahteraan daerah ini," sebutnya.
Ditegaskan, sejak beberapa hari terakhir, Pemkab Taput telah memancangkan sebuah plang sebagai bentuk peneguhan dan penegasan bahwasanya lahan RSU Tarutung merupakan milik pemerintah daerah Tapanuli Utara, demi upaya memperbaiki pelayanan rumah sakit untuk kebutuhan kesehatan masyarakat.
"Pemkab Taput tidak akan mencabut plang tersebut sampai kapan pun, kecuali ada putusan pengadilan yang memerintahkannya," ujar Alboin.
Dikatakan, lahan RSU Tarutung adalah sah milik Pemkab Taput, yang diperoleh berdasarkan hukum Indonesia. Dimana, secara dejure, ada penyerahan dari Pemprov Sumut, serta bukti surat Kemenkes RI yang menegaskan bahwa SK kepemilikan lahan oleh HKBP, tidak ditemukan dokumennya.
Secara de facto, juga diungkapkan, jika pihak yang mengelola rumah sakit tersebut sejak 1945 hingga saat ini adalah pemerintah kabupaten Tapanuli Utara.
"Makanya, kita sangat menyesalkan sikap BPN yang terlalu mengakomodir klaim sepihak dari HKBP. Namun, kita dapat memaklumi, bahwa sesuai ketentuan persertifikatan, jika ada klaim, maka harus dilakukan mediasi," jelasnya.
Padahal, menurutnya, dalam mediasi yang telah dilakukan oleh pemkab bersama HKBP, belum lama ini, mediasi sama sekali tidak menghasilkan kesepakatan. Namun, hanya berisi pengajuan argumen dan pendapat oleh kedua belah pihak atas kebenaran yang diyakini masing-masing pihak.
Kata Alboin, pendapat dari Pemkab Taput tetap pada poin yang menegaskan bahwa lahan dimaksud telah tercatat sebagai aset sehingga harus dipertahankan keberadaannya karena itu aset milik negara.
"Berdasarkan catatan kita, HKBP tidak pernah hadir dan mengelola rumah sakit dimaksud," terangnya.
Dikisahkan kemudian, masyarakat yg memberikan lahan itu dulunya adalah masyarakat Kenegerian Siualuompu, Kecamatan Tarutung yang telah memberikan tanggapan dan menyatakan bahwa lahan tersebut tidak pernah diserahkan kepada HKBP, namun kepada "zending", yakni sebuah badan penyelenggara (misi) penyebaran agama Kristen di tengah jaman penjajahan Belanda terdahulu.
"Kita berharap, BPN segera menerbitkan sertifikat guna kelangsungan pembangunan rumah sakit. Sebab, salah satu syaratnya harus ada sertifikat lahan," ujarnya.
Senada, Kepala Bidang Penunjang RSU Tarutung, Dintar Hutabalian juga menyebutkan, sejak 2014, rencana pembangunan mengalami kendala atas ketiadaan alas hak kepemilikan lahan rumah sakit.
"2016 saja, rencana pembangunan poliklinik yang berbiaya lebih kurang Rp10 miliar dari dana DAK, terpaksa tidak terealisasi. Demikian halnya, dana-dana lainnya untuk pembangunan rawat inap juga harus dibatalkan," urainya.
Menurutnya, ketiadaan sertifikat lahan yang menjadi syarat mutlak penggunaan anggaran yang diakumulasikan senilai total lebih kurang Rp40 miliar menjadi penyebab utama kesulitan untuk memajukan RSU Tarutung.
"Padahal, sejak lama, ruangan haemodialisa, ruang operasi dan sejumlah ruang pelayanan lainnya sudah sangat tidak layak," terangnya.
Kata Dintar, sejarah awal RSU Tarutung yang dikelola "zending" sejak 1928, telah diserahkan pengelolaannya oleh pemerintah provinsi Sumatera Utara kepada Pemkab Taput.
Dijelaskan, pasien di rumah sakit juga disebut rata-rata adalah jemaat HKBP, dan kemungkinan besar, para pelayan medis di sana juga adalah jemaat lembaga keagamaan tersebut.
Terkait harapan upaya pensertifikatan lahan tersebut, Kepala Kantor ATR BPN Tapanuli Utara, Rosma Magdalena membenarkan adanya saling klaim kepemilikan lahan RSU antara Pemkab Taput dan HKBP yang telah berupaya dimediasi.
"Kita prinsipnya 'clear and clean', dan upaya kita kedua belah pihak antara Pemkab Taput dan HKBP agar menempuh jalur mediasi untuk duduk bersama. Dan sampai sekarang kita belum ada mengeluarkan sertifikat, dan jika ada perintah pengadilan kita akan mengeluarkan," jelasnya.
Sementara, Kepala Biro Humas HKBP, Pdt Arthur Lumbantobing yang dihubungi terpisah terkait saling klaim kepemilikan lahan RSU tersebut. Dirinya mengaku tidak tahu persis mengenai permasalahan itu.
"Terkait hal tersebut, sebaiknya ke Biro Hukum saja," tukasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019
Hal itu dilakukan Pemkab Taput dalam menyikapi adanya klaim kepemilikan yang disuarakan oleh lembaga keagamaan terbesar se-Asia Tenggara, Huria Kristen Batak Protestan.
"Terus terang, kita sangat menyesalkan munculnya hal-hal yang menyebabkan semangat untuk memajukan RSU Tarutung menjadi terkendala. Kemajuannya tersandera," terang Alboin Butarbutar, Kepala Bagian Hukum Perundangan Setdakab Pemkab Taput, Kamis (4/4).
Menurut dia, munculnya klaim kepemilikan lahan Rumah Sakit Umum Tarutung oleh HKBP, saat alas hak kepemilikan lahan tersebut diperjuangkan penerbitan sertifikatnya sebagai poin urgen dalam upaya pemajuan dan pengembangan instansi pelayanan kesehatan tersebut demi kemaslahatan masyarakat, menjadi terkendala.
"Seharusnya, seluruh pihak dan lapisan masyarakat bahu-membahu untuk berperan serta demi memajukan kesejahteraan daerah ini," sebutnya.
Ditegaskan, sejak beberapa hari terakhir, Pemkab Taput telah memancangkan sebuah plang sebagai bentuk peneguhan dan penegasan bahwasanya lahan RSU Tarutung merupakan milik pemerintah daerah Tapanuli Utara, demi upaya memperbaiki pelayanan rumah sakit untuk kebutuhan kesehatan masyarakat.
"Pemkab Taput tidak akan mencabut plang tersebut sampai kapan pun, kecuali ada putusan pengadilan yang memerintahkannya," ujar Alboin.
Dikatakan, lahan RSU Tarutung adalah sah milik Pemkab Taput, yang diperoleh berdasarkan hukum Indonesia. Dimana, secara dejure, ada penyerahan dari Pemprov Sumut, serta bukti surat Kemenkes RI yang menegaskan bahwa SK kepemilikan lahan oleh HKBP, tidak ditemukan dokumennya.
Secara de facto, juga diungkapkan, jika pihak yang mengelola rumah sakit tersebut sejak 1945 hingga saat ini adalah pemerintah kabupaten Tapanuli Utara.
"Makanya, kita sangat menyesalkan sikap BPN yang terlalu mengakomodir klaim sepihak dari HKBP. Namun, kita dapat memaklumi, bahwa sesuai ketentuan persertifikatan, jika ada klaim, maka harus dilakukan mediasi," jelasnya.
Padahal, menurutnya, dalam mediasi yang telah dilakukan oleh pemkab bersama HKBP, belum lama ini, mediasi sama sekali tidak menghasilkan kesepakatan. Namun, hanya berisi pengajuan argumen dan pendapat oleh kedua belah pihak atas kebenaran yang diyakini masing-masing pihak.
Kata Alboin, pendapat dari Pemkab Taput tetap pada poin yang menegaskan bahwa lahan dimaksud telah tercatat sebagai aset sehingga harus dipertahankan keberadaannya karena itu aset milik negara.
"Berdasarkan catatan kita, HKBP tidak pernah hadir dan mengelola rumah sakit dimaksud," terangnya.
Dikisahkan kemudian, masyarakat yg memberikan lahan itu dulunya adalah masyarakat Kenegerian Siualuompu, Kecamatan Tarutung yang telah memberikan tanggapan dan menyatakan bahwa lahan tersebut tidak pernah diserahkan kepada HKBP, namun kepada "zending", yakni sebuah badan penyelenggara (misi) penyebaran agama Kristen di tengah jaman penjajahan Belanda terdahulu.
"Kita berharap, BPN segera menerbitkan sertifikat guna kelangsungan pembangunan rumah sakit. Sebab, salah satu syaratnya harus ada sertifikat lahan," ujarnya.
Senada, Kepala Bidang Penunjang RSU Tarutung, Dintar Hutabalian juga menyebutkan, sejak 2014, rencana pembangunan mengalami kendala atas ketiadaan alas hak kepemilikan lahan rumah sakit.
"2016 saja, rencana pembangunan poliklinik yang berbiaya lebih kurang Rp10 miliar dari dana DAK, terpaksa tidak terealisasi. Demikian halnya, dana-dana lainnya untuk pembangunan rawat inap juga harus dibatalkan," urainya.
Menurutnya, ketiadaan sertifikat lahan yang menjadi syarat mutlak penggunaan anggaran yang diakumulasikan senilai total lebih kurang Rp40 miliar menjadi penyebab utama kesulitan untuk memajukan RSU Tarutung.
"Padahal, sejak lama, ruangan haemodialisa, ruang operasi dan sejumlah ruang pelayanan lainnya sudah sangat tidak layak," terangnya.
Kata Dintar, sejarah awal RSU Tarutung yang dikelola "zending" sejak 1928, telah diserahkan pengelolaannya oleh pemerintah provinsi Sumatera Utara kepada Pemkab Taput.
Dijelaskan, pasien di rumah sakit juga disebut rata-rata adalah jemaat HKBP, dan kemungkinan besar, para pelayan medis di sana juga adalah jemaat lembaga keagamaan tersebut.
Terkait harapan upaya pensertifikatan lahan tersebut, Kepala Kantor ATR BPN Tapanuli Utara, Rosma Magdalena membenarkan adanya saling klaim kepemilikan lahan RSU antara Pemkab Taput dan HKBP yang telah berupaya dimediasi.
"Kita prinsipnya 'clear and clean', dan upaya kita kedua belah pihak antara Pemkab Taput dan HKBP agar menempuh jalur mediasi untuk duduk bersama. Dan sampai sekarang kita belum ada mengeluarkan sertifikat, dan jika ada perintah pengadilan kita akan mengeluarkan," jelasnya.
Sementara, Kepala Biro Humas HKBP, Pdt Arthur Lumbantobing yang dihubungi terpisah terkait saling klaim kepemilikan lahan RSU tersebut. Dirinya mengaku tidak tahu persis mengenai permasalahan itu.
"Terkait hal tersebut, sebaiknya ke Biro Hukum saja," tukasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019