Sibolga (Antaranews Sumut)- Ramainya pembahasan saat ini terkait utang Indonesia ke luar negeri yang menyatakan sudah dalam posisi gawat mendapat tanggapan yang berbeda dari Bank Indonesia. Bahkan BI mengungkapkan utang pemerintah Indonesia hanya sekitar 28% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dan dalam kategori sangat sehat. Sedangkan hutang luar negeri digabung pemerintah dengan swasta hanya sekitat 35% dari PDB Indonesia dan itu jumlah yang kecil.
Demikian diungkapkan Debuti Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara, ketika dikonfirmasi ANTARA usai Diskusi Publik yang diselenggarakan Bank Indonesia di Sibolga Jumat.
Menurutnya, sesuai ketentuan Undang-undang Keuangan Negara, batas utang yang diperbolehkan pemerintah maksimalkan 60% dari total PDB. Sementara saat ini rasio utang hanya 28% dari total PDB dalam kategori sangat sehat, sehingga tidak perlu adanya kekhawatiran pemerintah tidak mampu membayar utang itu.
Meski demikian, banyak juga negara yang utangnya jauh lebih besar dari PDB. Jepang misalnya memiliki besaran utang hampir 300% dari PDB, dan Amerika Serikat berhutang sekitar 100% dari PDB.
“Jadi ngutang itu boleh dan diperkenankan Undang-undang Keuangan Negara, dengan catatan tidak boleh lebih besar dari kemampuan membayar. Jadi harus sesuai dengan kemampuan negara untuk membayar. Dan kondisi hutang kita masih dalam kondisi sehat dan di bawah ambang batas yang dilarang oleh Undang-undang Keuangan Negara,”sebutnya.
Hanya saja sambungnya, saat ini kondisi Indonesia untuk menghasilkan valuta asing lemah, karena untuk membayar hutang itu harus menggunakan valuta asing. Memang BI punya cadangan devisa 6,3 kali dari impor dan pembayaran hutang.
“Alangkah baiknya cadangan devisa itu tidak dipakai, karena masih bisa memanfaatkan sektor lainnya yang ada dalam negeri untuk dikelolah dengan baik. Contohnya membangun industri yang mampu menyerap CPO dan karet seperti B-20, sehingga tidak perlu tergantung dari produk luar negeri yang membelinya menggunakan valuta asing. Peningkatan Pariwisata Indonesia dan kerajinan tangannya untuk mendulang wisatawan datang ke Indonesia. Dengan hal itu maka Indonesia akan bisa menghasilkan valuta asing lebih besar lagi.
Ia juga mencontohkan bagaimana kondisi Indonesia, Malaysia dan Thailand tahun 1997 yang sama-sama dihantam krisis dan devisit. Namun sekarang Thailand sudah surplus dan Indonesia masih masih devisit sekarang. Thailat mampu mendorong ekspor mereka seperti ekspor mobil dan juga buah-buahan.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018
Demikian diungkapkan Debuti Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara, ketika dikonfirmasi ANTARA usai Diskusi Publik yang diselenggarakan Bank Indonesia di Sibolga Jumat.
Menurutnya, sesuai ketentuan Undang-undang Keuangan Negara, batas utang yang diperbolehkan pemerintah maksimalkan 60% dari total PDB. Sementara saat ini rasio utang hanya 28% dari total PDB dalam kategori sangat sehat, sehingga tidak perlu adanya kekhawatiran pemerintah tidak mampu membayar utang itu.
Meski demikian, banyak juga negara yang utangnya jauh lebih besar dari PDB. Jepang misalnya memiliki besaran utang hampir 300% dari PDB, dan Amerika Serikat berhutang sekitar 100% dari PDB.
“Jadi ngutang itu boleh dan diperkenankan Undang-undang Keuangan Negara, dengan catatan tidak boleh lebih besar dari kemampuan membayar. Jadi harus sesuai dengan kemampuan negara untuk membayar. Dan kondisi hutang kita masih dalam kondisi sehat dan di bawah ambang batas yang dilarang oleh Undang-undang Keuangan Negara,”sebutnya.
Hanya saja sambungnya, saat ini kondisi Indonesia untuk menghasilkan valuta asing lemah, karena untuk membayar hutang itu harus menggunakan valuta asing. Memang BI punya cadangan devisa 6,3 kali dari impor dan pembayaran hutang.
“Alangkah baiknya cadangan devisa itu tidak dipakai, karena masih bisa memanfaatkan sektor lainnya yang ada dalam negeri untuk dikelolah dengan baik. Contohnya membangun industri yang mampu menyerap CPO dan karet seperti B-20, sehingga tidak perlu tergantung dari produk luar negeri yang membelinya menggunakan valuta asing. Peningkatan Pariwisata Indonesia dan kerajinan tangannya untuk mendulang wisatawan datang ke Indonesia. Dengan hal itu maka Indonesia akan bisa menghasilkan valuta asing lebih besar lagi.
Ia juga mencontohkan bagaimana kondisi Indonesia, Malaysia dan Thailand tahun 1997 yang sama-sama dihantam krisis dan devisit. Namun sekarang Thailand sudah surplus dan Indonesia masih masih devisit sekarang. Thailat mampu mendorong ekspor mereka seperti ekspor mobil dan juga buah-buahan.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018