Medan, (Antaranews Sumut) - Badan Pengawas Pemilu dan jajaran pengawas pemilihan kabupaten/kota di Sumatera Utara menangani 182 pelangaran dalam pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota tahun 2018.

Usai konsolidasi data pelanggaran di kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Medan, Selasa, Kordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Sumut Hardi Munte mengatakan, jumlah berdasarkan temuan dan laporan hingga akhir Mei 2018.

"Sebanyak 96 kasus di antaranya merupakan temuan jajaran pengawas, sedangkan 86 kasus berasal dari laporan masyarakat," ungkapnya.

Menurut Hardi, dari seluruh dugaan pelanggaran pilkada tersebut, baik temuan maupun laporan, Bawaslu mencatat adanya 78 kasus memenuhi unsur pelanggaran.

Kemudian, sebanyak 58 kasus dinilai sebagai pelanggaran pemilihan dengan rincian 52 pelanggaran administrasi yang diteruskan ke KPU dan jajaranya untuk ditindaklanjuti.

Setelah itu, sebanyak dua kasus pidana pilkada yang diteruskan kepada pihak Kepolisian, sedangkan empat kasus lainnya termasuk pelanggaran etik penyelenggara Pemilu.

Ia menambahkan, dalam proses penanganan dugaan pelanggaran iti, ditemukan 20 kasus pelanggaran UU lainnya yang bukan pelanggaran pilkada.

Kemudian, ditemukan juga 12 pelanggaran yanh terkait dengan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diteruskan ke Komisi ASN.

Bawaslu juga menemukan tiga kasus siber yang diteruskan ke SubDit Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumut, satu kasus yang melibatkan kepala desa yang diteruskan ke bupatinya, serta satu kasus pejabat BUMD yang diteruskan ke gubernur.

Hardi menjelaskan, dari pemeriksaan yang dilakukan, tidak semua temuan dan laporan dugaan pelanggaran pilkada itu bisa ditindaklanjuti.

Sebanyak 104 kasus dinyatakan bukan pelanggaran dan dihentikan. Ada juga beberapa penyebab kasus tidak dapat ditindaklanjuti karena pelapor tidak hadir dipanggil untuk kepentingan tindak lanjut atas laporannya.

Lain lagi dengan laporan yang dihentikan karena tidak memenuhi unsur pelanggaran dan laporannya melebihi batas waktu tujuh hari setelah diketahui.

"Penanganan pelanggaran pemilihan ini dibatasi oleh waktu. Jika laporannya melampaui waktu, maka kedaluwarsa. Begitu juga penanganan pelanggaran dibatasi oleh waktu," tuturnya.

Kendala lainnya dalam hal penanganan dugaan pelanggaran pilkasa, karena ketidaklengkapan laporan, tidak ada saksi yang mengetahui, melihat atau mengalami peristiwa yang dilaporkan atau yang terjadi.

"Laporan yang kurang lengkap dan tidak ada saksi yang mengetahui peristiwa yang dilaporkan menyulitkan penanganan kasus. Sementara batasan waktu yang diatur UU sangat terbatas," ujar Hardi.

 

Pewarta: Irwan Arfa

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018