Tapanuli Selatan,30/11(Antarasumut)-Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Tapanuli Selatan boleh dikatakan tergolong kecil pada Tahun 2016 terdeteksi berjumlah dua orang.
Syaiful W Harahap, Aktivis LSM (Media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS dimintai ANTARA tanggapannya melalui selular, Rabu mengatakan, HIV/AIDS ibarat " fenomena gunung es".
"Fenomena dimaksud, kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut," sebutnya.
Wartawan senior di Jakarta yang menkhususkan diri pada penulisan HIV/AIDS sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia ini mengingatkan kasus yang terdeteksi 'tidak' menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya ada di masyarakat.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia priode tahun 1987 - 30 Juni 2015 sebanyak 291.465 yang terdiri atas 208.909 HIV dan 82.556 AIDS dengan 14.234 kematian.
Sedangkan Provinsi Sumatera Utara ada di peringkat ke-7 secara nasional dengan jumlah kasus 15.828 yang teridiri atas 11.949 HIV dan 3.879 AIDS.
"Tentu saja dalam jumlah kasus Sumut ada kasus dari Tapanuli Selatan," katanya.
Nah, yang jadi masalah, lanjut dia, adalah kasus yang tidak terdeteksi. “Artinya, warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat,†sebutnya.
Yang penting kata dia, program bagimana bisa menemukan warga yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak
terdeteksi, “Tapi, perlu diingat jangan sampai melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM),†katanya mengingatkan.
PEMBUATAN PERDA
Dia menyarankan salah satu cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten di
wilayah Tapanuli Bagian Selatan.
Adalah membuat peraturan derah (Perda) yang mewajibkan ibu rumah tangga yang sedang hamil dan suaminya menjalani konseling HIV/AIDS.
Jika dari hasil konseling perilaku suami berisiko tertular HIV, maka suami menjalani tes HIV. Kalau suami positif tertular HIV istrinya pun menjalani tes HIV.
Langkah tersebut menurut Syaiful, ibarat sekali dayung dua pulau terlampaui. Pertama, bisa terdeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS, yaitu suami, sehingga bisa diputus mata rantai penyebaran HIV/AIDS melalui suami ke perempuan lain.
Kedua, kalau si istri juga tertular HIV bisa dijalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Ketiga, akan lahir anak-anak yang bebas HIV/AIDS.
Terkait dengan Tapanuli bagian Selatan khususnya Tapsel yang perlu diperhatikan adalah perilaku seksual sebagian laki-laki dewasa, apakah mereka: (a) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Tapsel atau di luar wilayah ini,
Dan (b) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) di Tapsel atau di luar wilayah ini.
Dalam kaitan itulah perlu sosialisasi yang gencar agar laki-laki yang pernah atau sering melakukan perilaku (a) dan (b) menjalani tes HIV.
Bisa juga dengan melatih tenaga penjangkau untuk mendekati orang-orang yang sering melakukan perilaku (a) dan (b) agar mereka mau melakukan tes HIV.
Soal keengganan orang datang ke tempat tes HIV, “Bukan karena malu, tapi banyak orang yang tidak menyadari perilaku seksualnya berisiko tertular HIV/AIDS,†kata Syaiful yang lahir di Kota Padangsidimpuan ini.
Jika hanya menunggu warga yang sakit itu penanggulangan pasif. Warga dibiarkan tertular HIV dahulu baru
ditangani.
Celakanya, kalau ini yang dilakukan sebelum orang-orang yang sakit tadi berobat dan terdeteksi mengidap HIV/AIDS mereka sudah menularkan HIV ke orang lain sehingga kasus HIV/AIDS kian banyak.
Yang jadi persoalan adalah praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, cewek kafe, cewek biliar, anak sekolah, mahasiswi, dan lain lain. Karena tidak bisa diintervensi.
Praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga program penanggulangan tidak bisa dilancarkan secara efektif.
"Jika di kawasan Tapsel ada panti pijat plus-plus dan praktek pelacuran terselubung, itu artinya ada risiko insiden penularan HIV pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di sana," katanya.
“Laki-laki yang tertular HIV/AIDS tidak menyadarinya sehingga mereka menularkan HIV/AIDS ke orang lain, terutama ke istrinya,†kata Syaiful.
Sebaliknya, biar pun di kawasan Tapsel tidak ada panti pijat plus-plus dan praktek pelacuran terselubung bisa saja ada laki-laki dewasa warga Tapsel yang melakukan perilaku seks berisiko di luar kawasan ini.
Jika ada di antara mereka yang tertular, maka mereka pun akan menyebaran HIV/AIDS di wilayahnya, terutama ke istrinya.
Untuk itulah perlu mekanisme untuk mendeteksi warga yang sudah tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, antara lain melalui Perda yang mewajibkan pasangan suami istri konseling HIV ketika si istri sedang hamil.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2016
Syaiful W Harahap, Aktivis LSM (Media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS dimintai ANTARA tanggapannya melalui selular, Rabu mengatakan, HIV/AIDS ibarat " fenomena gunung es".
"Fenomena dimaksud, kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut," sebutnya.
Wartawan senior di Jakarta yang menkhususkan diri pada penulisan HIV/AIDS sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia ini mengingatkan kasus yang terdeteksi 'tidak' menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya ada di masyarakat.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia priode tahun 1987 - 30 Juni 2015 sebanyak 291.465 yang terdiri atas 208.909 HIV dan 82.556 AIDS dengan 14.234 kematian.
Sedangkan Provinsi Sumatera Utara ada di peringkat ke-7 secara nasional dengan jumlah kasus 15.828 yang teridiri atas 11.949 HIV dan 3.879 AIDS.
"Tentu saja dalam jumlah kasus Sumut ada kasus dari Tapanuli Selatan," katanya.
Nah, yang jadi masalah, lanjut dia, adalah kasus yang tidak terdeteksi. “Artinya, warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat,†sebutnya.
Yang penting kata dia, program bagimana bisa menemukan warga yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak
terdeteksi, “Tapi, perlu diingat jangan sampai melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM),†katanya mengingatkan.
PEMBUATAN PERDA
Dia menyarankan salah satu cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten di
wilayah Tapanuli Bagian Selatan.
Adalah membuat peraturan derah (Perda) yang mewajibkan ibu rumah tangga yang sedang hamil dan suaminya menjalani konseling HIV/AIDS.
Jika dari hasil konseling perilaku suami berisiko tertular HIV, maka suami menjalani tes HIV. Kalau suami positif tertular HIV istrinya pun menjalani tes HIV.
Langkah tersebut menurut Syaiful, ibarat sekali dayung dua pulau terlampaui. Pertama, bisa terdeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS, yaitu suami, sehingga bisa diputus mata rantai penyebaran HIV/AIDS melalui suami ke perempuan lain.
Kedua, kalau si istri juga tertular HIV bisa dijalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Ketiga, akan lahir anak-anak yang bebas HIV/AIDS.
Terkait dengan Tapanuli bagian Selatan khususnya Tapsel yang perlu diperhatikan adalah perilaku seksual sebagian laki-laki dewasa, apakah mereka: (a) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Tapsel atau di luar wilayah ini,
Dan (b) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) di Tapsel atau di luar wilayah ini.
Dalam kaitan itulah perlu sosialisasi yang gencar agar laki-laki yang pernah atau sering melakukan perilaku (a) dan (b) menjalani tes HIV.
Bisa juga dengan melatih tenaga penjangkau untuk mendekati orang-orang yang sering melakukan perilaku (a) dan (b) agar mereka mau melakukan tes HIV.
Soal keengganan orang datang ke tempat tes HIV, “Bukan karena malu, tapi banyak orang yang tidak menyadari perilaku seksualnya berisiko tertular HIV/AIDS,†kata Syaiful yang lahir di Kota Padangsidimpuan ini.
Jika hanya menunggu warga yang sakit itu penanggulangan pasif. Warga dibiarkan tertular HIV dahulu baru
ditangani.
Celakanya, kalau ini yang dilakukan sebelum orang-orang yang sakit tadi berobat dan terdeteksi mengidap HIV/AIDS mereka sudah menularkan HIV ke orang lain sehingga kasus HIV/AIDS kian banyak.
Yang jadi persoalan adalah praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, cewek kafe, cewek biliar, anak sekolah, mahasiswi, dan lain lain. Karena tidak bisa diintervensi.
Praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga program penanggulangan tidak bisa dilancarkan secara efektif.
"Jika di kawasan Tapsel ada panti pijat plus-plus dan praktek pelacuran terselubung, itu artinya ada risiko insiden penularan HIV pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di sana," katanya.
“Laki-laki yang tertular HIV/AIDS tidak menyadarinya sehingga mereka menularkan HIV/AIDS ke orang lain, terutama ke istrinya,†kata Syaiful.
Sebaliknya, biar pun di kawasan Tapsel tidak ada panti pijat plus-plus dan praktek pelacuran terselubung bisa saja ada laki-laki dewasa warga Tapsel yang melakukan perilaku seks berisiko di luar kawasan ini.
Jika ada di antara mereka yang tertular, maka mereka pun akan menyebaran HIV/AIDS di wilayahnya, terutama ke istrinya.
Untuk itulah perlu mekanisme untuk mendeteksi warga yang sudah tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, antara lain melalui Perda yang mewajibkan pasangan suami istri konseling HIV ketika si istri sedang hamil.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2016