Medan, 27/5 (Antara) - Kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Sumatera Utara tahun 2016 meningkat jika dilihat dari inverisasi masalah yang dilakukan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak.
Dari data yang didapatkan di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) di Medan, Jumat, terdapat 66 praktik kekerasan terhadap anak pada periode Januari-April 2016.
Sedangkan untuk periode Januari-April 2015, praktik kekerasan terhadap anak tersebut tercatat 34 kasus atau mengalami peningkatan hampir 100 persen.
Dari jumlah kasus pada tahun 2016 tersebut, praktik kekerasan yang paling banyak terjadi adalah persetubuhan, pencabulan, dan sodomi (23 kasus) serta kekerasan dalam rumah tangga (delapan kasus).
Ironisnys, pelaku kekerasan tersebut adalah orang yang dekat dan kenal dengan korban seperti ayah kandung dan kakek (11 kasus), teman dan pacar (10 kasus), tetangga (empat kasus), dan guru (lima kasus).
Dari segi usia, korban kekerasan terhadap anak tersebut juga masih dalam masa pertumbuhan yakni 0-10 tahun (18 orang), sedangkan sisanya masih 18 tahun ke bawah.
Koordinator Pusat Layanan Informasi dan Pengaduan Anak PKPA Azmiati Zuliah mengatakan fenomena yang berkembang, pelaku kekerasan terhadap anak itu tidak hanya dilakukan masyarakat dengan kategori miskin.
Namun dari pemantauan yang dilakukan, tidak sedikit pelaku kekerasan terhadap anak tersebut justru dilakukan oleh masyarakat yang dikategorikan ekonomi menengah ke atas.
Ironisnya, kekerasan terhadap anak tersebut bukan didominasi kekerasan pisik, melainkan kejahatan seksual seperti pencabulan dan sodomi.
Menurut dia, cukup banyak faktor yang menyebabkan maraknya praktik kekerasan terhadap anak tersebut belakangan ini.
Faktor utama disebabkan mudahnya masyarakat dalam mengakses berbagai informasi yang berbau pornograsi akibat kecanggihan teknologi.
Lain lagi dengan pengaruh minuman keras dan penyalahgunaan narkoba.
"Itu semua memudahkan orang melakukan kejahatan seksual," katanya.
Kondisi itu diperparah dengan lemahnya pengawasan orang tua dan keluarga terhadap anak dan anggota keluargnya sehingga berpotensi menjadi korban atau pelaku.
"Karena kesibukan yang tinggi, pengawasan terhadap anak menjadi berkurang," kata Azmiati.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2016
Dari data yang didapatkan di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) di Medan, Jumat, terdapat 66 praktik kekerasan terhadap anak pada periode Januari-April 2016.
Sedangkan untuk periode Januari-April 2015, praktik kekerasan terhadap anak tersebut tercatat 34 kasus atau mengalami peningkatan hampir 100 persen.
Dari jumlah kasus pada tahun 2016 tersebut, praktik kekerasan yang paling banyak terjadi adalah persetubuhan, pencabulan, dan sodomi (23 kasus) serta kekerasan dalam rumah tangga (delapan kasus).
Ironisnys, pelaku kekerasan tersebut adalah orang yang dekat dan kenal dengan korban seperti ayah kandung dan kakek (11 kasus), teman dan pacar (10 kasus), tetangga (empat kasus), dan guru (lima kasus).
Dari segi usia, korban kekerasan terhadap anak tersebut juga masih dalam masa pertumbuhan yakni 0-10 tahun (18 orang), sedangkan sisanya masih 18 tahun ke bawah.
Koordinator Pusat Layanan Informasi dan Pengaduan Anak PKPA Azmiati Zuliah mengatakan fenomena yang berkembang, pelaku kekerasan terhadap anak itu tidak hanya dilakukan masyarakat dengan kategori miskin.
Namun dari pemantauan yang dilakukan, tidak sedikit pelaku kekerasan terhadap anak tersebut justru dilakukan oleh masyarakat yang dikategorikan ekonomi menengah ke atas.
Ironisnya, kekerasan terhadap anak tersebut bukan didominasi kekerasan pisik, melainkan kejahatan seksual seperti pencabulan dan sodomi.
Menurut dia, cukup banyak faktor yang menyebabkan maraknya praktik kekerasan terhadap anak tersebut belakangan ini.
Faktor utama disebabkan mudahnya masyarakat dalam mengakses berbagai informasi yang berbau pornograsi akibat kecanggihan teknologi.
Lain lagi dengan pengaruh minuman keras dan penyalahgunaan narkoba.
"Itu semua memudahkan orang melakukan kejahatan seksual," katanya.
Kondisi itu diperparah dengan lemahnya pengawasan orang tua dan keluarga terhadap anak dan anggota keluargnya sehingga berpotensi menjadi korban atau pelaku.
"Karena kesibukan yang tinggi, pengawasan terhadap anak menjadi berkurang," kata Azmiati.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2016