Medan, 8/2 (Antara) - Asosiasi pengusaha di Sumatera Utara, terdiri Apindo, Kadin dan Apigas kembali melaporkan/mengadukan kondisi krisis dan tata kelola gas di daerah itu ke Presiden untuk mendapatkan solusi secepatnya.

"Krisis gas yang sudah terjadi sejak 2000 belum juga teratasi bahkan semakin parah. Makanya pengusaha kembali melaporkan ke Presiden Jokowi (Joko Widodo)," kata Wakil Ketua Dewan Pimpinan Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut, Johan Brien di Medan, Minggu.

Dari minimal kebutuhan gas yang sebesar 29,54 million standard cubic feet per day (mmscfd), alokasi dewasa ini tinggal hanya sekitar 7 mmscfd termasuk satu mmscfd dari Gas Benggala.

Padahal "waiting list" perusahaan yang membutuhkan gas mencapai 140 mmscfd.

Menurut Johan yang juga Ketua Asosiasi Perusahaan Pemakai Gas Indonesia (Apindo) Sumut, surat ke Presiden itu sudah dikirimkan tanggal 28 Januari 2015.

Harapannya Presiden Jokowi menyelesaikan krisis gas di Sumut dalam Kabinet Kerja.

"Pengusaha berharap besar, Presiden Jokowi bisa menyelesaikan krisis gas itu dalam tahun ini seperti permasalahan lainnya," katanya.

Menurut dia, masih belum terpenuhinya juga kebutuhan gas itu menimbulkan kesulitan kepada pengusaha.

Pengusaha, kata dia, bukan hanya dirugikan dari tidak bisanya memaksimalkan kapasitas dan menambah biaya produksi, tetapi juga sudah ada yang menghentikan produksi seperti Eco Green sejak Januari 2015.

Biaya produksi semakin besar karena pengusaha harus menambah biaya operasional untuk menggantikan gas dengan jenis bahan bakar lainnya.

"Tentunya kondisi itu tidak sehat dalam meghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sudah dimulai tahun ini," katanya.

Dia menjelaskan, tahun 2001 PGN menjanjikan kepada Pemerintah Provinsi Sumut dan pihak industri akan membangun pipa yang dapat mengalirkan gas dari Duri-Dumai ke Medan.

Tetapi pada saat hendak dibangun tidak diizinkan oleh pemerintah pusat.

Pada tahun 2006 Apindo Sumut bersama serikat pekerja melakukan demonstrasi ke PLN dan PGN.

Tahun 2010 PGN kalah tender dengan PT. PNR (Pertiwi Nusantara Resources) dan terpaksa membeli gas dari trader tersebut dan mengakibatkan harga gas mengalami kenaikan.

Trader itu sendiri bermunculan dengan adanya Permen ESDM No.19 tahun 2009.

Tanpa membangun infrastruktur, cukup modal laptop dan koneksi dapat jadi trader.

Tahun 2009 rencana pembangunan Floating Storage Regasification Unit (FRSU) Belawan sudah dilakukan PGN agar "on stream" pada bulan Oktober 2013.

Namun FRSU yang sudah dibangun PGN pada 2012 akhirnya juga dipindahkan oleh menteri BUMN Dahlan Iskan ke Lampung, walaupun PGN telah mengantongi inpres tentang itu.

Alasan Dahlan Iskan bahwa bulan Oktober 2013 gas dari Arun ke Belawan sudah dapat dialirkan ke Medan.

Namun nyatanya janji Dahlan Iskan terus molor sampai saat ini.

Janji solusi alternatif yang akan diberikan Pemerintah melalui Pertamina ke industri Sumut dengan harga gas Arbel yang tidak mahal juga diyakini tidak terwujud diduga menggunakan "trader".

"Yang dibutuhkan Sumut sebenarnya adalah gas bukan perlu infrastruktur Arbel yang 340 KM. Yang perlu bagi industri untuk menunjang pertumbuhan Sumut adalah solusi," kata Johan.

Kalau saja FRSU di Belawan tidak dibatalkan dan dipindahkan ke daerah lain, maka kemungkinan besar masalah kekurangan gas dan harga gas yang mahal di Sumut tahun ini sudah selesai. ***3**
(T.E016/B/T. Susilo/T. Susilo)

Pewarta: Evalisa Siregar

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2015