Ia menjelaskan, kerahasiaan adalah salah satu asas dari penyelenggaraan pemilih, di mana pemilu harus menerapkan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil atau luber jurdil. Hal itu sesuai dengan amanah konstitusi yang tertera dalam pasal 22E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
Idham mengatakan bahwa Indonesia juga harus objektif dengan melihat fakta elektoral di beberapa negara-negara lainnya, seperti pemilu federal di Australia pada Maret 2022 yang memutuskan untuk kembali menerapkan pemilihan secara konvensional.
“Mahkamah Konstitusi Jerman itu melarang pemberian suara dengan teknologi internet. Jadi kita harus spare melihat penggunaan teknologi ini,” katanya.
Sebelumnya, usulan mengenai sistem e-voting dalam pemilu disampaikan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet yang menilai bahwa sistem demokrasi Indonesia mengalami stagnasi yang dikategorikan sebagai belum mapan, masih berproses menuju kematangan dan pendewasaan.
Menurut dia, Indonesia perlahan harus bisa menerapkan sistem e-voting, seperti Filipina yang sudah sukses melakukannya dan partisipasi publik yang semakin meningkat menjadi 80 persen.
Penetrasi internet yang hampir mencapai 80 persen dari total penduduk Indonesia, kata Bamsoet, sebaiknya juga bisa diandalkan dalam hal menyerap aspirasi publik, melalui sistem pemilu digital yang jauh lebih murah, cepat, dan aman.
"Karena kita sudah terjebak hari ini pada demokrasi angka-angka dan transaksional, yang makin lama makin mahal. Jadi tidak heran kalau banyak kepala daerah, anggota DPR, sebuah tingkatan, yang terjerat OTT, KPK, hampir 600 yang terjerat,” ujar Bamsoet di Jakarta, Selasa (3/10).
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: KPU: Sistem e-voting pemilu harus siapkan infrastruktur hingga hukum