"Obat hipertensi dan diabetes tidak merusak ginjal, yang merusak ginjal penyakitnya itu sendiri, bukan obatnya," kata dia dalam virtual media briefing bertema "Peringatan Hari Ginjal Sedunia 2021", Rabu.
Baca juga: Wali Kota Medan prioritaskan pelayanan kesehatan di puskesmas
Berbeda halnya dengan jenis obat lain salah satunya untuk menghilangkan nyeri. Menurut Aida, konsumsi obat pereda sakit terus menerus tanpa anjuran dokter bisa berisiko gangguan ginjal.
Kemudian, khusus pasien hipertensi dan diabetes, Aida menyarankan pasien dua penyakit penyebab gagal ginjal terbanyak itu mengontrol penyakitnya agar tidak berujung komplikasi ke organ tubuh lain, termasuk ginjal.
Selain pola hidup sehat seperti diet dan aktivitas fisik, pengobatan dan pemeriksaan tekanan atau gula darah sesuai jadwal juga menjadi kunci penting.
"Diabetes dan hipertensi harus dikontrol. Selalu dimulai dari pola hidup sehat, diet sesuai anjuran dokter. Apabila tidak cukup, orang sakit harus meminum obat. Obat-obatan diabetes dan hipertensi yang diberikan itu aman, pada saat ini banyak pilihan obat yang baik," tutur Aida.
Dia membantah persepsi di kalangan masyarakat yang menyatakan tekanan atau gula darah bisa dirasa-rasa sehingga tidak perlu diperiksa karena pasien akan tahu kapan tekanan darah atau gula darahnya tinggi.
Lebih lanjut mengenai penyakit gagal ginjal, Aida mengatakan pada tahap awal umumnya tidak bergejala sehingga pasien datang umumnya datang ke dokter dalam kondisi yang sudah lanjut, yakni saat fungsi ginjalnya sudah sangat rendah dan telah terjadi komplikasi akut dan pilihan pengobatan terbatas.
Aida menekankan pentingnya edukasi mengenai penyakit ginjal, komplikasi, tatalaksana dan pilihan pengobatan pada pasien PGK sebelum mencapai PGTA. Pasien dan keluarganya harus dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan atas kondisi kesehatannya dengan mengedepankan peran, nilai, prioritas serta tujuan dari pasien itu sendiri.
Data epidemiologi global menunjukkan 1 dari 10 orang di dunia mengalami PGK dan 9 dari 10 tidak menyadari mempunyai ganguan ginjal.
Di Indonesia, merujuk Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi PGK 2/1000 penduduk dan meningkat menjadi 3,8/1000 penduduk pada 2018 atau meningkat hampir dua kali lipat. Skrining PERNEFRI pada tahun 2006 yang melibatkan 12.000 orang memperlihatkan prevalensi PGK sebesar 12,5 persen.
Berbeda halnya dengan jenis obat lain salah satunya untuk menghilangkan nyeri. Menurut Aida, konsumsi obat pereda sakit terus menerus tanpa anjuran dokter bisa berisiko gangguan ginjal.
Kemudian, khusus pasien hipertensi dan diabetes, Aida menyarankan pasien dua penyakit penyebab gagal ginjal terbanyak itu mengontrol penyakitnya agar tidak berujung komplikasi ke organ tubuh lain, termasuk ginjal.
Selain pola hidup sehat seperti diet dan aktivitas fisik, pengobatan dan pemeriksaan tekanan atau gula darah sesuai jadwal juga menjadi kunci penting.
"Diabetes dan hipertensi harus dikontrol. Selalu dimulai dari pola hidup sehat, diet sesuai anjuran dokter. Apabila tidak cukup, orang sakit harus meminum obat. Obat-obatan diabetes dan hipertensi yang diberikan itu aman, pada saat ini banyak pilihan obat yang baik," tutur Aida.
Dia membantah persepsi di kalangan masyarakat yang menyatakan tekanan atau gula darah bisa dirasa-rasa sehingga tidak perlu diperiksa karena pasien akan tahu kapan tekanan darah atau gula darahnya tinggi.
Lebih lanjut mengenai penyakit gagal ginjal, Aida mengatakan pada tahap awal umumnya tidak bergejala sehingga pasien datang umumnya datang ke dokter dalam kondisi yang sudah lanjut, yakni saat fungsi ginjalnya sudah sangat rendah dan telah terjadi komplikasi akut dan pilihan pengobatan terbatas.
Aida menekankan pentingnya edukasi mengenai penyakit ginjal, komplikasi, tatalaksana dan pilihan pengobatan pada pasien PGK sebelum mencapai PGTA. Pasien dan keluarganya harus dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan atas kondisi kesehatannya dengan mengedepankan peran, nilai, prioritas serta tujuan dari pasien itu sendiri.
Data epidemiologi global menunjukkan 1 dari 10 orang di dunia mengalami PGK dan 9 dari 10 tidak menyadari mempunyai ganguan ginjal.
Di Indonesia, merujuk Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi PGK 2/1000 penduduk dan meningkat menjadi 3,8/1000 penduduk pada 2018 atau meningkat hampir dua kali lipat. Skrining PERNEFRI pada tahun 2006 yang melibatkan 12.000 orang memperlihatkan prevalensi PGK sebesar 12,5 persen.