Medan (ANTARA) - "Ada kopi ada cerita, lain kopi lain cerita, tak ada kopi tak usah banyak cerita. Ayo ngopi, kita bercerita," ujar sastrawan asal Aceh yang lebih dikenal sebagai pembaca puisi, Fikar W Eda.
Kebiasaan minum kopi, bukan hanya untuk mengisi waktu senggang. Tetapi juga bisa menjadi teman dalam bekerja atau perantara komunikasi antar seseorang dengan lainnya.
Ini yang umum terjadi ketika seseorang menyeruput secangkir kopi baik jenis Arabika, Robusta maupun Liberika terutama di hotel, restoran, kafe, dan bahkan kedai kopi pinggir jalan sekalipun.
Namun setahun terakhir kebiasaan menikmati kopi mulai terusik, karena pemberlakuan protokol kesehatan guna menghindari penyebaran wabah Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Penjualan kopi pun mengalami penurunan.
"Sebelum pandemi, setiap bulan penjualan kopi biasanya mencapai 2 ton. Tetapi, sejak COVID-19 merebak Maret 2020, penjualan turun hampir 80 persen," ujar pedagang ritel biji kopi asal Sumatera, Fachriz Tanjung.
Bahkan, kebijakan pemerintah satu daerah dengan daerah lain atau provinsi berbeda, seperti pembatasan sosial berskala besar, pembatasan jam operasional di malam hari hingga pemberlakuan jam malam, juga sangat mempengaruhi penjualan kopi.
Akibatnya, beberapa usaha kedai kopi, cafe, memilih menutup sementara usaha mereka ketika kebijakan tersebut diberlakukan. Bahkan beberapa antaranya terpaksa tutup dan tidak buka sama sekali.
Penjualan biji kopi di pasar domestik kian tertekan, meski kafe dan kedai kopi sebagian lainnya tetap melayani penikmat kopi dengan sistem "take away" (bawa pulang) di era kebiasaan baru.
"Akhirnya kita sebagai pemasok biji kopi, mengambil skema 'win-win solution'. Jika selama ini jaringan bisnis retail dengan model beli putus, maka sekarang kita kasih waktu jeda pembayaran sesuai waktu yang disepakati," ujar Fachriz.
Langkah memberi jeda pembayaran pembelian kopi itu, sedikit mampu membangkitkan penjualan biji kopi Gayo di Aceh, Karo, Lintong, Mandailing, dan Sipirok di Sumatera Utara, Liberika Meranti di Riau, Kerinci di Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung.
Penjualan biji kopi secara perlahan mulai bangkit. Dari sempat anjlok 20 menjadi 40 persen per bulan di pasar domestik, dan mayoritas pemasaran ke Pulau Jawa dengan biji kopi andalan Arabika Gayo.
"Di samping itu, kita juga terus melakukan inovasi. Seperti awal tahun 2021, kita buka toko kopi. Selain tempat edukasi bagi warga yang hadir langsung, mereka juga bisa memilih kopi dalam bentuk biji sangrai atau bubuk dengan harga terjangkau," tutur Fachriz.
Ekspor turun
Pedagang retail biji kopi di Kota Medan ini juga mengaku, selain tetap memasarkan kopi asal Sumatera di pasar domestik, juga memperluas jaringan dengan ke Negeri Jiran.
Bisnis yang ditekuninya sejak tahu 2011 itu mulai membuahkan hasil dengan pemasaran yang gencar.
Ia bahkan sempat didatangi calon pembeli biji kopi langsung dari Malaysia untuk memastikan ketersediaan bahan baku kopi, lokasi tempat penjemuran, pengiriman sampel hingga pembuatan perjanjian kerja sama atau kesepakatan bisnis.
"Akhir 2019, ada pembeli dari Malaysia sempat datang ke saya untuk meminta menyediakan kopi luwak 600 kilogram per bulan," katanya.
Tapi ketika masuk tahap final, pandemi pecah. Negara di Asia, termasuk Malaysia dan Indonesia menutup semua kegiatan bisnis, yang akhirnya berdampak pada transaksi kopi luwak yang sempat diperjanjikan menjadi batal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut mengungkapkan, sepanjang Januari hingga November 2020 volume ekspor komoditas kopi dari Sumut turun hingga 12 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
"Pada Januari-November 2020, total volume ekspor kopi dari Sumut 53.585 ton. Sedangkan di Januari-November 2019 volume ekspor kopi capai 61.176 ton atau terjadi penurunan sebesar 7.591 ton," ujar Kepala BPS Sumut, Syech Suhaimi.
Penurunan lebih dalam ditunjukkan oleh nilai ekspor kopi Sumut yang mengalami kehilangan sebesar 23 persen sepanjang Januari-November 2020 dibandingkan periode tahun sebelumnya.
Nilai devisa ekspor kopi Sumut di Januari-November 2020 tercatat sebesar 259,114 juta dolar AS, sementara pada periode Januari-November 2019 senilai 337.293 juta dolar AS.
"Ada penurunan nilai sebesar 78,179 juta dolar AS hingga November 2020," jelas Syech Suhaimi.
Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Sumut, Saidul Alam, mengatakan, penurunan baik volume maupun nilai ekspor kopi itu merupakan dampak pandemi COVID-19.
Pandemi, terangnya, yang terjadi sejak tahun lalu telah melanda secara global, termasuk negara-negara importir terbesar kopi asal Sumut, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Republik Rakyat Tiongkok.
Walau ekspor kopi Sumut terbanyak tetap jenis Arabika, di antaranya melalui Pelabuhan Belawan sepanjang 2020 sesuai Surat Keterangan Asal mencapai 49.031 ton senilai 237,054 juta dolar AS.
Ekspor Arabika di 2020 turun dibandingkan 2019 yang mencapai 58.674 ton atau senilai 327,580 juta dolar AS. Jenis Arabika selalu mendominasi ekspor kopi Sumut, sejalan dengan semakin sedikitnya produksi Robusta.
Saidul tidak bisa memprediksi ekspor kopi Sumut di tahun 2021 dengan alasan masih adanya pandemi COVID-19 yang mengganggu dunia perdagangan.
Harapannya volume dan nilai ekspor kopi membaik kembali di 2021, walau sedikit ragu. Karena pandemi COVID-19 masih ada.
Target pemerintah
Sesungguhnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut baru saja menargetkan menjadi produsen terbesar biji kopi di Indonesia, mengingat potensi yang dimiliki daerah tersebut.
"Sumut bercita-cita jadi produsen terbesar ke empat dari seluruh Indonesia. Tahun 2022 diharapkan bisa menjadi ke dua, bahkan menjadi produsen pertama untuk pemasok kopi. Apalagi Sumut punya delapan wilayah penghasil kopi," kata Wakil Gubernur Sumut, Musa Rajekshah.
Kedelapan wilayah kabupaten/kota di Sumut, yakni Tapanuli Selatan (Tapsel), Mandailingnatal (Madina), Simalungun, Dairi, Karo, Toba Samosir (Tobasa), Tapanuli Utara (Taput), dan Humbanghasundutan (Humbahas).
Berdasarkan data BPS, produksi kopi asal Sumut di 2018 tercatat 72.379 ton terdiri atas Arabika 63.425 ton dan Robusta 8.954 ton.
Luas areal tanaman kopi Arabika71.955 hektare, sedangkan Robusta 19.416 hektare.
Pemerintah berupaya meningkatkan kualitas kopi rakyat dengan melakukan sosialisasi dan memberi bibit unggul kopi ke petani.
Bibit kopi yang diberikan merupakan bibit kopi jenis Arabika yang memiliki nilai jual lebih tinggi dengan hasil produksi berkualitas, sehingga harga jual di pasaran juga bagus.
"Sumut sendiri saat ini produksi kopinya lebih banyak jenis Arabika, setelah secara bertahap petani mengganti dari tanaman Robusta ke Arabika," terang Musa Rajekshah.
Virus corona yang berasal dari Wuhan, Tiongkok di 2019 menyebar dengan cepat ke berbagai negara dan memporak-porandakan perekonomian dunia serta memicu krisis baru.
Pedagang retail kopi diharapkan mengembangkan inovasi yang merupakan salah satu kunci, di tengah tertekan bisnis pengolahan kopi nasional akibat permintaan domestik maupun luar negeri menurun.
Dengan terus berinovasi mengakibatkan kelangsungan bisnis pengolahan kopi, tetap terjaga di tengah ancaman gulung tikar.
Menjaga asa bisnis kopi Sumatera tetap harum di tengah pandemi
Kamis, 28 Januari 2021 20:16 WIB 1150