New York (ANTARA) - Harga minyak jatuh sekitar satu persen pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), karena melonjaknya kasus virus corona dan meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat dan China merusak dampak positif dari kesepakatan OPEC+ tentang pembatasan produksi.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Februari turun 46 sen atau 0,9 persen, menjadi ditutup di 48,79 dolar AS per barel. Minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Januari turun 50 sen atau 1,1 persen menjadi menetap di 45,76 dolar AS per barel.
Baca juga: Harga minyak menguat setelah Inggris setujui penggunaan vaksin COVID-19
Untuk pekan yang berakhir Jumat (4/12/2020), WTI dan Brent masing-masing naik 1,6 persen dan 2,1 persen, berdasarkan kontrak bulan depan mereka.
Harga minyak berada di bawah tekanan setelah Reuters secara eksklusif melaporkan bahwa Amerika Serikat sedang bersiap untuk menjatuhkan sanksi kepada setidaknya selusin pejabat China atas dugaan peran mereka dalam diskualifikasi Beijing terhadap legislator oposisi terpilih di Hong Kong.
Meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat dan China, konsumen minyak terbesar dunia, telah berulang kali membebani pasar dalam beberapa tahun terakhir.
China, importir minyak mentah terbesar dunia, telah membantu mendukung harga minyak mentah tahun ini. Dalam 11 bulan pertama tahun ini, China mengimpor total 503,92 juta ton atau 10,98 juta barel per hari, naik 9,5 persen dari tahun sebelumnya.
Impor minyak November negara itu naik dari bulan sebelumnya, data dari Administrasi Umum Kepabeanan menunjukkan.
Secara global, lonjakan kasus virus corona telah memaksa serangkaian penguncian baru, termasuk langkah-langkah ketat di negara bagian California AS dan di Jerman serta Korea Selatan.
Konsumsi bensin AS turun selama minggu liburan Thanksgiving ke level terendah dalam lebih dari 20 tahun, kata OPIS (Oil Price Information Service), karena lebih sedikit orang Amerika yang bepergian selama pandemi.
Kedua kontrak minyak naik sekitar dua persen minggu lalu setelah OPEC+, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, setuju untuk sedikit meningkatkan produksi mulai Januari tetapi melanjutkan sebagian besar pembatasan pasokan yang ada.
“Mereka tetap sedikit pelit, dalam hal pasokan selama puncak musim dingin di belahan bumi utara,” kata John Kilduff, mitra di Again Capital LLC di New York.
Capital Economics, sebuah perusahaan riset ekonomi, mengatakan dalam sebuah laporan mereka memperkirakan produksi OPEC+ akan naik kurang dari yang diizinkan perjanjian baru karena pemotongan kompensasi dan permintaan kuartal pertama yang lemah.
Setelah kesepakatan OPEC+, Morgan Stanley menaikkan perkiraan harga Brent jangka panjang menjadi 47,50 dolar AS per barel dari 45 dolar AS dan merevisi perkiraan harga jangka panjang WTI menjadi 45 dolar AS per barel dari 42,50 dolar AS.
Di tempat lain, Iran telah menginstruksikan kementerian perminyakannya untuk mempersiapkan instalasi guna produksi dan penjualan minyak mentah dengan kapasitas penuh dalam tiga bulan, kata media pemerintah pada Minggu (6/12/2020).
"Menambah tekanan pada harga minyak adalah potensi peningkatan produksi Iran dalam tiga bulan," kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA. "Iran optimis AS akan melonggarkan pembatasan jika mereka kembali ke kesepakatan nuklir 2015."
Minyak jatuh di tengah melonjaknya kasus virus dan ketegangan AS-China
Selasa, 8 Desember 2020 8:01 WIB 475