Jakarta (ANTARA) - Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengajak masyarakat menggalang kepedulian untuk menolong korban banjir bandang di Sudan yang telah merenggut 62 jiwa dalam dua bulan terakhir.
Hampir dua bulan Sudan dilanda hujan lebat dan banjir, kondisi ini mengakibatkan banyaknya daerah-daerah di Sudan terendam banjir hingga puluhan ribu rumah hancur diterjang banjir. Sebanyak 62 orang tewas, 98 orang menderita luka-luka dan dirawat di rumah sakit.
Banjir bandang yang menerjang semakin membuat rakyat Sudan kian menderita. Kami mengajak masyarakat secara luas untuk meringankan derita korban banjir di Sudan. Sebagai bangsa yang dermawan, tentunya kita tidak ingin absen dari kegiatan kemanusiaan, ujar Direktur Komunikasi ACT Lukman Azis dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Kamis.
Setidaknya, ia menyebutkan ada sekitar 245.700 orang telah terdampak akibat dampak banjir itu.
Berdasarkan laporan mitra ACT di Sudan, hujan juga menyebabkan Sungai Nil meluap. Sejumlah lahan pertanian di wilayah Wadi Ramli, Khortoum pun terendam.
Sebagian besar kerusakan berdampak pada lingkungan, seperti hancurnya infrastruktur drainase, terputusnya aliran listrik dan air bersih.
Warga yang terdampak membutuhkan tempat tinggal darurat, makanan, layanan kesehatan, air bersih dan keperluan sanitasi. Daerah terdampak banjir juga sangat membutuhkan pengendalian vektor untuk mengendalikan penyebaran penyakit dari serangga yang ada di kubangan banjir, kata juru bicara badan PBB untuk pengungsi (OCHA) Jens Laerke.
Anas Omer, salah satu warga Khortoum, kini tidak lagi memiliki harta benda. Rumah dan kios tempatnya berdagang habis diterjang banjir bandang, air juga menghanyutkan harta bendanya.
Toko ini adalah satu-satunya sumber pemasukan yang saya punya untuk menghidupi keluarga. Rumah ini adalah satu-satunya tempat tinggal kami. Semuanya itu kini tidak ada. Tidak ada yang bisa saya lakukan, ini semua sudah takdir Tuhan, kata Omer.
Berdasarkan catatan Komite Penanggulangan Bencana Sudan, setidaknya 700 rumah di Khortoum mengalami kerusakan.
Loal Ali, Komite Manajemen Bencana mengatakan sekitar 1.200 orang ada di kamp itu, namun di sana tidak ada aliran listrik yang cukup, akses air bersih pun sulit dan kurangnya keamanan.
Saat ini Pemerintah Sudan sedang dalam mobilisasi mencari korban terdampak banjir, kondisi ini semakin memburuk karena selain masalah banjir, masalah politik pemerintahan di sana juga belum membaik, ujar Loal Ali.
Kondisi ini membuat hidup para warga di sana terasa lebih sulit. Tidak ada listrik, aliran air bersih pun terdampak, tidak ada pertokoan yang buka, tidak ada toko roti.
Sementara itu, Maria Jafaar, salah satu warga Khortoum juga menambahkan mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian dan tidak memiliki apapun. Kami tinggal dengan anak kami, kami tak dapat melanjutkan terus hidup kami di kamp dengan kondisi seperti ini, katanya.
Hujan deras diperkirakan akan terjadi sampai dengan akhir Oktober 2019. Kondisi itu dapat dipastikan akan sangat berdampak sekali terhadap beberapa wilayah yang mudah terkena banjir di Sudan.
Saat ini mereka membutuhkan beberapa kebutuhan emergensi, baik dari tempat tinggal, makanan bantuan kesehatan, air bersih, dan sanitasi, kata Lukman Azis.