Jayapura (ANTARA) - Arkeolog Hari Suroto mengaku prihatin penggunaan atau pemakaian koteka oleh warga di lembah Baliem atau Wamena, Ibu Kota Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, kian berkurang.
"Iya, hanya generasi tua dari Suku Dani saja yang mengenakan koteka. Itupun hanya di kampung-kampung yang jauh dari kota. Generasi muda Suku Dani sudah tidak atau jarang mengenakan koteka lagi," kata Hari Suroto yang juga dari Balai Arkeologi Papua ketika dihubungi dari Kota Jayapura, Sabtu.
Koteka adalah pakaian tradisional Suku Dani di Lembah Baliem, yang mencakup beberapa kabupaten di Provinsi Papua. Koteka ini berasal dari sejenis buah labu atau nama latinnya Melongena L. Koteka digunakan untuk menutup aurat seorang pria.
Buah labu ini oleh Suku Dani di Kampung Parema, Distrik Wesaput, Kabupaten Jayawijaya, ditanam di pekarangan rumah mereka.
Cara menanam labu ini hampir sama dengan tanaman pare, yaitu dengan dibuatkan tempat untuk merambat, sehingga buah labu bergelantungan menggantung ke bawah.
Buah koteka yang sudah tua dijadikan koteka dengan cara dijemur diatas perapian atau dibawah sinar matahari. Namun, selain dibuat koteka, oleh Suku Dani di Kampung Parema, buah labu muda dijadikan obat tradisional untuk penyakit tipes.
"Caranya yaitu dengan merebusnya, labu rebus ini dikonsumsi setiap hari hingga penyakit tipes sembuh. Biasanya anak kecil hingga orang tua yang sakit tipes akan mengonsumsi labu rebus ini," katanya.
Selain itu, Suku Dani di Kampung Parema juga menanam buah merah, sejenis pandan yang berbuah merah. Buah merah ini dikonsumsi sehari-hari, dimakan bersama keladi rebus.
"Buah merah juga dipercaya mampu menyembuhkan penyakit. Untuk itu perlu penelitian ilmiah tentang manfaat buah labu koteka dalam pengobatan medis," katanya.
Sementara terkait koteka, kata dia, dalam kajian etnoarkeologi. Tradisi berkoteka dapat dijadikan sebagai obyek studi komparatif tentang pakaian pada masa prasejarah di pegunungan Papua.
"Sehingga pengguunaan koteka dan pohon labu perlu dilestarikan. Untuk itu koteka perlu diusulkan sebagai warisan dunia UNESCO," katanya.
Kini, lanjut almnus Universitas Udayana Bali itu, koteka kebanyakan ditemui hanya dipakai dalam acara Festival Budaya Lembah Baliem saja yang dipusatkan di Kampung Walesi, Kabupaten Jayawijaya. Tetapi ada juga penggunaanya bisa ditemui di kampung-kampung terjauh.
"Dan salah satu cara mempertahankannya adalah dengan mengenakannya setiap hari atau dalam acara adat atau jika ada siswa atau mahasiswa masuk ruang kelas bisa berkoteka. Sebagai dosen saya memperbolehkannya, bagi saya koteka itu sama halnya dengan batik," katanya.
Penggunaan koteka kian berkurang, arkeolog prihatin
Minggu, 14 Juli 2019 0:08 WIB 1758