Balige, Sumut, 7/10 (Antara) - Diskusi Bahasa Batak dan kearifan lokal dalam sastra modern digelar di Balige, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) Sumatera Utara, diikuti sejumlah penulis dan pemerhati budaya dari daerah tersebut.
"Diskusi dilakukan sebagai bentuk kepedulian dalam menyikapi issu punahnya bahasa daerah yang diperkirakan hanya bersisa 10 persen," ujar Saut Poltak Tambunan, seorang Novelis yang menjadi narasumber dalam Diskusi tersebut, di Balige, Senin.
Poltak mengaku, dirinya sangat prihatin dengan "warning" yang disampaikan Kemendikbud yang menyatakan sebagian besar dari 746 bahasa daerah yang masih eksis, akan punah hingga hanya bersisa 10 persen pada akhir abad 21.
Kegelisahan tersebut, lanjut dia, makin terasa setelah gonjang ganjing yang cukup ironis, ketika Kemendikbud justru menghapus muatan lokal bahasa daerah dari kurikulum sekolah tahun 2013.
Dikatakannya, cukup banyak orang yang merasa terkejut ketika laju informasi menjadi akselerator pergeseran nilai budaya, sehingga dunia menjadi tidak terbatas.
"Invasi budaya asing menyelusup sampai pelosok desa dan menggerus tradisi. Pemaknaan ulang atau revitalisasi budaya menjadi keniscayaan, jika ingin membentengi generasi muda dasri invasi budaya asing," ujarnya.
Sederhananya, lanjut Poltak, kearifan lokal adalah cara pandang dan sikap hidup yang khas dan melembaga dalam masyarakat tertentu terhadap peristiwa di sekitarnya.
Sebagai seorang penulis yang sudah berkiprah sejak tahun 1973, diakuinya dalam beberapa tahun terkahir ini, karya tulisnya selalu berada dalam ranah kearifan lokal, terutama dengan menerbitkan Novel dan puisi berbahasa Batak.
Menurut Poltak, hal tersebut perlu dilakukan untuk menyikapi kenyataan dengan semakin banyaknya "bahasa Ibu" yang ditinggalkan oleh para penuturnya, hingga menimbulkan obsesinya membangun komunitas pecinta bahasa daerah.
Dengan semangat ingin memulai dari diri sendiri, lanjutnya, berangkat dari hal sederhana, Poltak mulai menulis sastra modern dalam bahasa Batak Toba.
Pada tahun 2012, Saut Poltak menulis kumpulan cerita pendek berbahasa Batak "Mangongkal Holi" dan "Mandera Na Metmet" serta Si Tumoing Manggorga Ari Sogot, yang merupakan novel pertama dalam sejarah sastra Batak.
Diskusi sastra Bahasa Batak dan sastra modern, juga telah diselenggarakannya di Sekolah Tinggi Teologi dan SMA HKBP Pematangsiantar pada Kamis (3/10) serta di Institut Teknologi Informatika Del Laguboti, Kabupaten Tobasa, tanggal 4-5 Oktober 2013.
Diskusi serupa, akan dilanjutkannya di Universitas Negeri Medan, pada Sabtu (26/10) dengan sponsor Ubud Writers & Readers Festival (UWRF 2013).
"Selain roadshow pelatihan menulis, penulisan cerita pendek berbahasa Batak juga kita gagasi sebagai motivasi dan partispasi aktif dalam melestarikan lingkungan dan kearifan lokal," ujar Poltak menambahkan.(IN)
Diskusi Sastra Batak Modern Digelar Di Tobasa
Senin, 7 Oktober 2013 13:26 WIB 1242