Belawan, 22/1 (ANTARA) - Nelayan tradisional di Belawan, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara menjerit, akibat mengganasnya kapal pukat harimau (trawl) yang menangkap ikan secara bebas di perairan tersebut.

"Sampai kapanpun kehidupan nelayan kecil itu sulit berubah, karena bebasnya alat tangkap jaring halus (pukat trawl) di perairan Belawan yang berbatasan dengan perairan Selat Malaka," kata seorang nelayan tradisional, Teguh (57) saat ditemui di Belawan, Selasa.

Kegiatan alat tangkap pukat harimau atau yang sejenisnya, menurut dia, dilarang pemerintah berdasarkan Keppres 39 Tahun 1980. Namun, kenyataannya kapal pukat harimau yang berukuran 30 GT itu masih saja kelihatan beroperasi menangkap ikan di perairan Belawan.

"Ratusan unit kapal pukat trawl itu menabur jaringnya di tengah laut perairan Belawan pada malam hari hingga pagi. Kegiatan pengambilan ikan secara ilegal itu, hampir setiap hari disaksikan nelayan kecil di tengah laut." tutur Teguh.

Bahkan, jelas Teguh, beberapa kapal pukat harimau tersebut ada yang merusak jaring (jala) dan rumpon yang dipasang nelayan setempat di tengah laut.

Jaring tersebut ada yang diganti ABK pukat harimau, namun ada juga dibiarkan begitu saja.

"Kalaupun diganti ABK tersebut, hanya dibayar Rp100.000 dan ditambah satu jerigen bensin untuk nelayan," ucap dia.

Teguh mengatakan, para nelayan kecil itu tidak hanya mengalami kerugian karena berkurangnya hasil tangkapan, kerusakan jaring, tetapi juga mendapat ancaman dari ABK pukat trawl.

"Ancaman tersebut dilakukan ABK pukat harimau, karena nelayan kecil itu mencoba menghalangi kapal berukuran besar tersebut mengambil ikan di tengah laut. Ini sering dialami nelayan kecil yang hidup dalam keadaan susah itu," ujar Teguh yang sudah 36 tahun menjadi nelayan.

Oleh karena itu, dia meminta kepada petugas keamanan di laut baik itu Polairud dan TNI-AL dapat menertibkan atau "mengamankan" kapal pukat harimau tersebut.

"Beroperasinya kapal pukat harimau itu, jelas mematikan mata pencaharian dan perekonomian nelayan tradisional. Anak-Anak nelayan tersebut banyak yang putus sekolah, karena tidak adanya lagi biaya orangtua mereka. Dan sampai kapan penderitaan yang dialami nelayan tradisional ini akan berakhir," ujar Teguh yang memiliki delapan orang anak.

Nelayan yang berada di pesisir kota Medan bagian utara itu, tercatat sebanyak 11.000 dan 60 persen diantaranya adalah nelayan tradisional yang menggunakan perahu kecil untuk menangkap ikan, sedangkan 40 persen lagi nelayan modern menggunakan kapal/boat.

Luas kota Medan mencapai 265.10 kilometer persegi (KM2) secara administratif terdiri dari 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan, serta jumlah penduduk 2,3 juta jiwa.

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013