Medan, 20/1 (ANTARA) - Fraksi Partai Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara menilai Pemerintah Provinsi terlambat dalam menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Dalam nota pandangan fraksi terhadap Ranperda Retribusi yang didapatkan di DPRD Sumut di Medan, akhir pekan ini, juru bicara Fraksi PD DPRD Sumut Layari Sinukaban menyatakan, berdasarkan ketentuan Pasal 180 UU 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Perda terkait harus dapat disesuaikan sejak UU itu diberlakukan.

Disebabkan UU tersebut diberlakukan secara sah sejak 1 Januari 2012, maka Pemprov Sumut seharusnya telah menyiapkan Perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah paling lama 1 Januari 2012.

Jika Perda tersebut belum disesuaikan hingga 1 Januari 2012, maka pungutan yang dilakukan dapat dianggap tidak memiliki dasar pijakan atau dasar hukum lagi.

Dalam kenyataannya, Pemprov Sumut baru mengajukan pembahasan Ranperda tentang Pajak dan Retribusi Daerah tersebut pada awal 2013.

Meski demikian, Fraksi Partai Demokrat DPRD Sumut tetap berupaya memberikan saran dan masukan guna penyempurnaan Ranperda tersebut.

Menurut dia, Pemprov Sumut perlu mencermati ketentuan dalam Pasal 111 UU 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah itu terkait retribusi layanan kesehatan.

Dalam pasal itu disebutkan, objek retribusi yang dapat dipungut hanya terkait pelayanan kesehatan seperti di puskesmas, puskesma pembantu, rumah sakit, dan bukan dalam proses pelayanan pendaftaran.

Untuk itu, Pemprov Sumut harus dapat menghilangkan ketentuan adanya retribusi dari masyarakat yang masih dalam proses pendaftaran untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

"Dalam UU ini jelas (proses pendaftaran) itu tidak dapat dijadikan objek retribusi," katanya.

Kemudian, Fraksi Partai Demokrat DPRD Sumut juga mengharapkan Pemprov Sumut dapat mencantumkan kekhususan berupa keringanan atau pembebasan retribusi dalam mendapatkan layakan kesehatan di RS milik pemerintah bagi pasien tidak mampu dan penyandang masalah sosial.

Layari mencontohkan adanya pencantuman biaya sebanyak Rp150 ribu bagi masyarakat yang memerlukan proses visum et repertum untuk kepentingan proyustisia.

Pemungutan biaya itu akan menjadi masalah tersendiri jika pasiennya adalah korban kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan perdagangan manusia (trafficking).

"Kepada siapa biaya sebesar itu dibebankan?," katanya. ***1*** (T.I023/B/M019/M019) 20-01-2013 12:28:05

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013