Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
Terkait hal tersebut, Sekretaris PPP Sumut Usman Effendi Sitorus, menyebutkan putusan MK tersebut sifatnya final dan mengikat. Karenanya ruang putusan juga tidak sampai kepada hal-hal yang teknis, apalagi sampai membuat UU baru.
Lembaga pembuat UU itu tetap DPR RI dan pemerintah pusat. Sama halnya dengan Putusan MK No 135/PUUXXii/2024 tentang Pemilu Nasional dan pemilu lokal.
Ia menyebutkan yang direvisi MK itu UU No 7 THN 2017 tentang pemilu pasal 163 ayat (3), 347 ayat (1). Pasal 3 ayat ( 1) UU No 8 THN 2015 perpu no 1 THN 2015 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Bukam UU No 17 THN 2014 tentang MD3.
Artinya, pemilu dilaksanakan dua tahap yakni pemilu nasional tahum 2029 yakni memilih Presiden, DPR RI dan DPD. Pemilu lokal tahun 2031, memilih Gubernur/Bupati/walikota, anggota DPRD provinsi/DPRD kab/Kota.
Tentang siapa yang akan mengisi jabatan DPRD Provinsi, Kab/Kota,Gubernur/wagub, Bupati/Wabub, Walikota/Walkot di serahkan kepada pembuat UU, yakni DPR RI dan pemerintah pusat.
Ada beberapa kemungkinan yang terjadi yakni pertama adalah untuk mengisi jabatan anggota DPRD prov/Kab/Kota, diserahkan kepada partai untuk mengisinya kursi yang ada.
Kedua, masa jabatan anggota DPRD diperpanjang hingga dilantiknya anggota DPRD yang baru ( hal ini bertentangan dgn UU no 17 THN 2014 ttg UUD3).
Kecuali undang - undang di revisi, menyebutkan bahwa masa jabatan anggota DPRD provinsi dan kabupaten hingga di lantiknya anggota DPRD hasil pemilu lokal 2031.
Menurut dia, sari ke dua kemungkinan itu, sepertinya opsi pertama lebih seirama dengan semangat MK yaitu memisahkan dua pemilu yakni pemilu nasional dan pemilu lokal secara berkesinambungan.
Semangat itu adalah memperkuat posisi kepartaian dalam sistem pemilu kita.
Dengan di daerahkannya, kepada partai politik untuk menentukan siapa yang mengisi kursi-kursi yang ada di DPRD, untuk masa sisa jabatan 2029-2031.
Dengan begini, partai akan lebih kuat. Bisa kita bayangkan, dengan anggota DPRD nya pengurus partai politik, pasti konsolidasi partai untuk pemilu 2031 akan lebih produktif dan mesin partai akan lebih kencang bergeraknya
Tentang pilkada yang digabungkan dengan pileg lokal, kondisi ini berbeda dgn ketentuan UU tentang pemilu serentak kemarin yang mengakibatkan terjadinya pemotongan masa bakti kepala daerah hasil pilkada 2020.
UU pilkada serentak itu, niatnya penyeragaman Pilkada 2024, sehingga masa periode kepala daerah hasil pilkada 2020 menjadi di kurangi.
Putusan MK ini bukan mengatur tentang maa jabatan kepala daerah, putusan MK itu menegaskan jadwal pelaksanaan pilkada. Jadwal pilkadanya yang di geser, masa jabatannya tidak. Artinya 2029 para kepala daerah hasil pilkada 2024 yang masa priodenya sudah 5 tahun akan di gantikan oleh PLT.
Bisakah kepala daerah di perpanjang masa tugasnya ? Menurut dia bisa saja, tapi rubah dulu UU No 10 THN 2016 tentang pilkada pasal 162 ayat (1,2,) yang mengatur tentang lamanya masa jabatan kepala daerah.
Dan kalau itu di rubah, UU itu juga hanya berlaku sesaat. Kerena untuk kepala daerah hasil pilkada 2031 masa jabatannya hanya sampai 2036.
" Hemat saya, menunjuk PLT kepala daerah, itu akan lebih memudahkan dalam menjalankan peraturan perundangan-undangan yang ada. Kan enggak lucu, kalau tiap tahun urusan kita cuma gonta-ganti UU yang sesungguhnya tidak begitu substansi dalam membangun demokrasi yang jujur, adil dan terbuka," katanya.
Editor : Juraidi
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2025