Sejak diterbitkannya fatwa keharaman salam lintas agama beberapa waktu lalu, ada banyak reaksi yang timbul dari para tokoh dan cendikiawan muslim Indonesia. Tidak kalah pentingnya beberapa tokoh ormas Islam juga angkat bicara, kendatipun tidak mewakili institusinya.
Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa Salam lintas Agama yang selama ini telah menjadi tradisi baik di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, sedikit-banyaknya ikut berkontribusi dalam penguatan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Sebagai negara yang majemuk, perbedaan suku, agama dan ras harus dipahami sebagai anugerah Allah yang dilimpahkannya buat Indonesia. Lebih dari itu keragaman agama hakikatnya adalah takdir Allah untuk kita sebagai bangsa. Tujuannya agar kita saling memahami, saling belajar dan saling berkontribusi untuk kemajuan bangsa.
Dalam Bahasa Al-Qur’an upaya-upaya ini disebut dengan lita’arafu (untuk saling mengenal) antara yang satu dengan yang lain.
Selanjutnya modal sejarah yang sangat bernilai tinggi adalah pengalaman kita untuk bisa keluar dari perbedaan-perbedaan pendapat yang tajam sekalipun, terlebih-lebih pada saat bapak
dan ibu bangsa kita merumuskan Dasar dan Konstitusi kita dalam kehidupan bernegara.
Untuk menyebut contoh adalah, dihapusnya tujuh kata yang berisi kewajiban menjalankan Syari’at bagi pemeluk Islam atau Muslim, adalah contoh yang sangat baik, betapa keragaman pemikiran yang ada dapat dicarikan titik temu nya untuk kebaikan kita bersama sebagai anak bangsa.
Tentu saja hal itu menunjukkan keragaman yang ada di negara ini dapat dikelola dengan baik sebagai modal untuk membangun bangsa.
Sebagai anugerah Tuhan, keragaman agama harus tetap dapat dipertahankan dalam suasana kehidupan yang rukun, damai dan tenteram. Ini adalah ikhtiar kita untuk menuju bangsa yang maju, adil, makmur dan sejahtera.
Namun harus dicatat, kerukunan dan harmoni itu bukanlah hadiah yang turun dari langit tanpa ada kerja keras untuk merawatnya. Oleh karena itu pula, selama ini negara terutama Kementerian Agama terus berupaya untuk merawat kerukunan dengan baik.
Beberapa upaya penting itu salah satunya adalah pengarusutamaan Moderasi Beragama. Di samping itu, kita juga memiliki tradisi baik dalam bentuk salam lintas agama yang tidak lebih sebuah ikhtiar untuk merawat kerukunan itu sendiri.
Menjaga persaudaraan sebagai sesama anak negeri yang bertanggungjawab terhadap masa depan bangsanya. Tentu saja, tidak ada maksud sedikitpun untuk mencampuradukkan beragam kepercayaan.
Kedewasaan kita dalam beragama cukup menjadi alat untuk memilah dan memilih mana yang hak untuk dilakukan dan mana yang batil untuk tidak dilakukan.
Kendati demikian, kita tentu terbuka jika ada kajian-kajian baru yang lebih meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan kontekstual untuk kebutuhan bangsa.
Agaknya ungkapan hikmah yang penuh makna, al-Muhafazah ala Qadim al-Shalih wa al-akhz bi al-jadid al-aslah, layak kita renungkan.
Akhirnya, saya mengajak semua komponen bangsa untuk terus melakukan upaya konstruktif tidak saja dalam merawat kerukunan sebagai anugerah Allah, tetapi menumbuhkebangkannya sebagai modal besar kita untuk memandirikan dan menjayakan Indonesia di masa depan
)***Penulis adalah Rektor UIN Sumatera Utara
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2024
Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa Salam lintas Agama yang selama ini telah menjadi tradisi baik di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, sedikit-banyaknya ikut berkontribusi dalam penguatan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Sebagai negara yang majemuk, perbedaan suku, agama dan ras harus dipahami sebagai anugerah Allah yang dilimpahkannya buat Indonesia. Lebih dari itu keragaman agama hakikatnya adalah takdir Allah untuk kita sebagai bangsa. Tujuannya agar kita saling memahami, saling belajar dan saling berkontribusi untuk kemajuan bangsa.
Dalam Bahasa Al-Qur’an upaya-upaya ini disebut dengan lita’arafu (untuk saling mengenal) antara yang satu dengan yang lain.
Selanjutnya modal sejarah yang sangat bernilai tinggi adalah pengalaman kita untuk bisa keluar dari perbedaan-perbedaan pendapat yang tajam sekalipun, terlebih-lebih pada saat bapak
dan ibu bangsa kita merumuskan Dasar dan Konstitusi kita dalam kehidupan bernegara.
Untuk menyebut contoh adalah, dihapusnya tujuh kata yang berisi kewajiban menjalankan Syari’at bagi pemeluk Islam atau Muslim, adalah contoh yang sangat baik, betapa keragaman pemikiran yang ada dapat dicarikan titik temu nya untuk kebaikan kita bersama sebagai anak bangsa.
Tentu saja hal itu menunjukkan keragaman yang ada di negara ini dapat dikelola dengan baik sebagai modal untuk membangun bangsa.
Sebagai anugerah Tuhan, keragaman agama harus tetap dapat dipertahankan dalam suasana kehidupan yang rukun, damai dan tenteram. Ini adalah ikhtiar kita untuk menuju bangsa yang maju, adil, makmur dan sejahtera.
Namun harus dicatat, kerukunan dan harmoni itu bukanlah hadiah yang turun dari langit tanpa ada kerja keras untuk merawatnya. Oleh karena itu pula, selama ini negara terutama Kementerian Agama terus berupaya untuk merawat kerukunan dengan baik.
Beberapa upaya penting itu salah satunya adalah pengarusutamaan Moderasi Beragama. Di samping itu, kita juga memiliki tradisi baik dalam bentuk salam lintas agama yang tidak lebih sebuah ikhtiar untuk merawat kerukunan itu sendiri.
Menjaga persaudaraan sebagai sesama anak negeri yang bertanggungjawab terhadap masa depan bangsanya. Tentu saja, tidak ada maksud sedikitpun untuk mencampuradukkan beragam kepercayaan.
Kedewasaan kita dalam beragama cukup menjadi alat untuk memilah dan memilih mana yang hak untuk dilakukan dan mana yang batil untuk tidak dilakukan.
Kendati demikian, kita tentu terbuka jika ada kajian-kajian baru yang lebih meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan kontekstual untuk kebutuhan bangsa.
Agaknya ungkapan hikmah yang penuh makna, al-Muhafazah ala Qadim al-Shalih wa al-akhz bi al-jadid al-aslah, layak kita renungkan.
Akhirnya, saya mengajak semua komponen bangsa untuk terus melakukan upaya konstruktif tidak saja dalam merawat kerukunan sebagai anugerah Allah, tetapi menumbuhkebangkannya sebagai modal besar kita untuk memandirikan dan menjayakan Indonesia di masa depan
)***Penulis adalah Rektor UIN Sumatera Utara
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2024