Estriningsih Nugraheni, penyintas kanker payudara stadium 3A itu masih ingat perasaan setahun silam atau tepatnya Juli 2021, saat dirinya terpapar COVID-19.
Rasa khawatir berlipat-lipat melandanya. Bukan hanya soal penyakit, dia juga memikirkan pengobatan kankernya yang harus tertunda tiga pekan, hingga hasil tes COVID-19 menunjukkan negatif.
Wanita berjilbab yang terdiagnosis kanker pada November 2020 itu sebelumnya menjalani mastektomi atau operasi pengangkatan payudara, kemudian kemoterapi sebanyak enam kali.
Namun, karena terkena COVID-19 sehari sebelum jadwal terapi target, maka dia harus menunda pengobatannya.
Di sisi lain, kala itu dia belum tahu standar pengobatan COVID-19 pada pasien kanker. Selama terkena COVID-19, dia mengaku mengalami gejala umum seperti demam, batuk, pilek, dan terasa linu di tulang. Masih beruntung, Estri tak mengalami sesak napas.
Dokter lalu memberinya vitamin, obat batuk dan anti-alergi, serta menyarankannya agar mengonsumsi nutrisi seimbang dan berjemur.
Apa yang dikhawatirkan Estri juga diamini Pendiri dan Ketua Cancer Information & Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli Putri. Rasa khawatir karena terkena COVID-19 umum membayangi pasien kanker, selain ketakutan kankernya memburuk, masalah ekonomi dan efek pengobatan.
Dalam rangka membantu para pasien, organisasinya aktif memberikan dukungan termasuk mental secara daring termasuk untuk mereka yang menjalani isolasi akibat COVID-19.
Organisasinya juga memberikan informasi terkait akomodasi yang menerima pasien kanker terpapar COVID-19, dokter spesialis apa yang mereka butuhkan, akses ke rumah sakit hingga telemedicine.
Dua tahun terakhir, dia dan tim pun mengadakan webinar mengenai kanker dan COVID-19, berkolaborasi dengan berbagai pihak.
COVID-19 pada pasien kanker
Berdasarkan data Globocan, total kasus kanker di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 396.914 kasus dan total kematian sebesar 234.511 kasus.
Hal ini, menurut Aryanthi, menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab semua pihak untuk melakukan penanggulangan kanker secara lebih masif dan berkesinambungan.
Pada masa pandemi COVID-19 saat ini, pasien kanker termasuk dalam kelompok rentan terkena penyakit yang menyerang sistem pernapasan dan organ lain itu karena daya kekebalan mereka yang terganggu.
Kekebalan tubuh pasien kanker lemah sehingga tubuh mereka kurang mampu melawan penyakit dan infeksi, termasuk virus penyebab COVID-19.
Hal ini diakui Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hemato-Onkologi Medik dr. Jeffry Beta Tenggara, Sp.PD-KHOM. Dokter yang tergabung dalam Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) itu mengatakan, pasien kanker juga berisiko lebih tinggi mengalami keparahan maupun perawatan di rumah sakit akibat COVID-19.
Mereka yang rentan ini khususnya yang sedang menjalani kemoterapi. Pada saat pasien menjalani kemoterapi, maka akan diikuti penurunan hemoglobin dan trombosit. Kemudian, saat leukosit turun, kekebalan tubuhnya turun juga sehingga mudah terkena infeksi. Kelompok pasien kanker darah termasuk di dalamnya
Saat ini, kejadian COVID-19 pada pasien kanker tetap ada, walau tidak sebanyak saat gelombang Delta tahun lalu. Gejala umum yang diderita pasien pun sebatas batuk, pilek tanpa disertai sesak.
Namun, seperti yang dialami Estri, saat pasien kanker terkena COVID-19, maka pengobatan kankernya harus berhenti dan ini yang menjadi masalah terpenting, kata Jeffry.
Selama jeda pengobatan ini, ada beberapa pasien yang awalnya bergejala ringan berubah menjadi gejala berat, walaupun tidak banyak. Belum lagi ada risiko terkena long COVID-19 yang tetap mengharuskan kemoterapi ditunda.
"Pengalaman pasien saya, ada yang sampai 30 hari COVID-19 tetap positif. Pada saat negatif, kankernya sudah mulai tumbuh lebih agresif sebelum terkena COVID-19," ungkap Jeffry.
Kondisi-kondisi ini yang membuat pasien kanker akhirnya menjadi korban dari infeksi COVID-19 itu sendiri.
Berbicara pengobatan COVID-19 pada pasien kanker, sebenarnya sama seperti pasien nonkanker lainnya. Dokter harus terus memantau apakah gejala pasien menjadi berat atau tidak, karena apabila berat maka bisa berbahaya.
Perlindungan pasien kanker
Penerapan protokol kesehatan khususnya mengenakan masker menjadi pencegahan utama COVID-19 bagi masyarakat, apalagi pasien kanker. Jeffry bahkan mengatakan ini menjadi cara termudah mencegah penyakit akibat infeksi SARS-CoV-2 itu.
Selain perlindungan dari masker, pemberian imunisasi aktif juga penting karena akan memberikan manfaat bagi populasi kanker yakni melindungi dari terjadinya COVID-19 atau berat.
Menurut studi, respon imun para pasien kanker lebih rendah terhadap vaksin ketimbang populasi sehat.
Belum lagi ada beberapa kondisi pertahanan tidak cukup kuat sehingga dapat diberikan imunisasi pasif untuk melawan infeksi berupa antibodi monoklonal.
Antibodi monoklonal menargetkan Spike Protein Virus COVID-19 sebagai pencegahan (Pre-exposure Prohylaxis/PrEP) terhadap Infeksi SARS-CoV-26. Berdasarkan penelitian, antibodi monoklonal dapat mencegah terjadinya infeksi COVID-19 pada kelompok rentan, salah satunya pasien kanker.
Di sisi lain, antibodi monoklonal dikatakan dapat memberikan perlindungan jangka panjang hingga enam bulan dan efektif melawan virus SARS-COV-2 yang telah bermutasi.
Tetapi, seperti yang diingatkan Jeffry, walau vaksin dan antibodi monoklonal dapat menjadi proteksi bagi pasien kanker, penerapan protokol kesehatan tetap yang utama termasuk mengenakan masker.
Hal ini mengingat varian virus yang terus bermunculan sehingga mengharuskan orang-orang apalagi pasien kanker melindungi diri mereka.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2022
Rasa khawatir berlipat-lipat melandanya. Bukan hanya soal penyakit, dia juga memikirkan pengobatan kankernya yang harus tertunda tiga pekan, hingga hasil tes COVID-19 menunjukkan negatif.
Wanita berjilbab yang terdiagnosis kanker pada November 2020 itu sebelumnya menjalani mastektomi atau operasi pengangkatan payudara, kemudian kemoterapi sebanyak enam kali.
Namun, karena terkena COVID-19 sehari sebelum jadwal terapi target, maka dia harus menunda pengobatannya.
Di sisi lain, kala itu dia belum tahu standar pengobatan COVID-19 pada pasien kanker. Selama terkena COVID-19, dia mengaku mengalami gejala umum seperti demam, batuk, pilek, dan terasa linu di tulang. Masih beruntung, Estri tak mengalami sesak napas.
Dokter lalu memberinya vitamin, obat batuk dan anti-alergi, serta menyarankannya agar mengonsumsi nutrisi seimbang dan berjemur.
Apa yang dikhawatirkan Estri juga diamini Pendiri dan Ketua Cancer Information & Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli Putri. Rasa khawatir karena terkena COVID-19 umum membayangi pasien kanker, selain ketakutan kankernya memburuk, masalah ekonomi dan efek pengobatan.
Dalam rangka membantu para pasien, organisasinya aktif memberikan dukungan termasuk mental secara daring termasuk untuk mereka yang menjalani isolasi akibat COVID-19.
Organisasinya juga memberikan informasi terkait akomodasi yang menerima pasien kanker terpapar COVID-19, dokter spesialis apa yang mereka butuhkan, akses ke rumah sakit hingga telemedicine.
Dua tahun terakhir, dia dan tim pun mengadakan webinar mengenai kanker dan COVID-19, berkolaborasi dengan berbagai pihak.
COVID-19 pada pasien kanker
Berdasarkan data Globocan, total kasus kanker di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 396.914 kasus dan total kematian sebesar 234.511 kasus.
Hal ini, menurut Aryanthi, menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab semua pihak untuk melakukan penanggulangan kanker secara lebih masif dan berkesinambungan.
Pada masa pandemi COVID-19 saat ini, pasien kanker termasuk dalam kelompok rentan terkena penyakit yang menyerang sistem pernapasan dan organ lain itu karena daya kekebalan mereka yang terganggu.
Kekebalan tubuh pasien kanker lemah sehingga tubuh mereka kurang mampu melawan penyakit dan infeksi, termasuk virus penyebab COVID-19.
Hal ini diakui Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hemato-Onkologi Medik dr. Jeffry Beta Tenggara, Sp.PD-KHOM. Dokter yang tergabung dalam Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) itu mengatakan, pasien kanker juga berisiko lebih tinggi mengalami keparahan maupun perawatan di rumah sakit akibat COVID-19.
Mereka yang rentan ini khususnya yang sedang menjalani kemoterapi. Pada saat pasien menjalani kemoterapi, maka akan diikuti penurunan hemoglobin dan trombosit. Kemudian, saat leukosit turun, kekebalan tubuhnya turun juga sehingga mudah terkena infeksi. Kelompok pasien kanker darah termasuk di dalamnya
Saat ini, kejadian COVID-19 pada pasien kanker tetap ada, walau tidak sebanyak saat gelombang Delta tahun lalu. Gejala umum yang diderita pasien pun sebatas batuk, pilek tanpa disertai sesak.
Namun, seperti yang dialami Estri, saat pasien kanker terkena COVID-19, maka pengobatan kankernya harus berhenti dan ini yang menjadi masalah terpenting, kata Jeffry.
Selama jeda pengobatan ini, ada beberapa pasien yang awalnya bergejala ringan berubah menjadi gejala berat, walaupun tidak banyak. Belum lagi ada risiko terkena long COVID-19 yang tetap mengharuskan kemoterapi ditunda.
"Pengalaman pasien saya, ada yang sampai 30 hari COVID-19 tetap positif. Pada saat negatif, kankernya sudah mulai tumbuh lebih agresif sebelum terkena COVID-19," ungkap Jeffry.
Kondisi-kondisi ini yang membuat pasien kanker akhirnya menjadi korban dari infeksi COVID-19 itu sendiri.
Berbicara pengobatan COVID-19 pada pasien kanker, sebenarnya sama seperti pasien nonkanker lainnya. Dokter harus terus memantau apakah gejala pasien menjadi berat atau tidak, karena apabila berat maka bisa berbahaya.
Perlindungan pasien kanker
Penerapan protokol kesehatan khususnya mengenakan masker menjadi pencegahan utama COVID-19 bagi masyarakat, apalagi pasien kanker. Jeffry bahkan mengatakan ini menjadi cara termudah mencegah penyakit akibat infeksi SARS-CoV-2 itu.
Selain perlindungan dari masker, pemberian imunisasi aktif juga penting karena akan memberikan manfaat bagi populasi kanker yakni melindungi dari terjadinya COVID-19 atau berat.
Menurut studi, respon imun para pasien kanker lebih rendah terhadap vaksin ketimbang populasi sehat.
Belum lagi ada beberapa kondisi pertahanan tidak cukup kuat sehingga dapat diberikan imunisasi pasif untuk melawan infeksi berupa antibodi monoklonal.
Antibodi monoklonal menargetkan Spike Protein Virus COVID-19 sebagai pencegahan (Pre-exposure Prohylaxis/PrEP) terhadap Infeksi SARS-CoV-26. Berdasarkan penelitian, antibodi monoklonal dapat mencegah terjadinya infeksi COVID-19 pada kelompok rentan, salah satunya pasien kanker.
Di sisi lain, antibodi monoklonal dikatakan dapat memberikan perlindungan jangka panjang hingga enam bulan dan efektif melawan virus SARS-COV-2 yang telah bermutasi.
Tetapi, seperti yang diingatkan Jeffry, walau vaksin dan antibodi monoklonal dapat menjadi proteksi bagi pasien kanker, penerapan protokol kesehatan tetap yang utama termasuk mengenakan masker.
Hal ini mengingat varian virus yang terus bermunculan sehingga mengharuskan orang-orang apalagi pasien kanker melindungi diri mereka.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2022