Pengamatan gerhana bulan darah (super blood moon) yang dilaksanakan di Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) terkendala cuaca yang berawan sehingga penampakan gerhana menjadi kurang maksimal.

"Kondisi cuaca yang sedikit berawan mengakibatkan  penampakan gerhana yang sesungguhnya merupakan momen spesial tidak maksimal karena sebagian tertutup awan. Baru pada fase akhir cuaca tampak cerah sehingga momen gerhana bisa dinikmati, bahkan dengan secara langsung tanpa bantuan teleskop," ungkap Kepala OIF UMSU, Dr. Arwin Juli Rahmadi Butarbutar , Rabu malam (26/5).

Dijelaskan dia, momen gerhana super blood moon atau bulan darah super merupakan fenomena yang istimewa.  Ciri yang paling mencolok dari gerhana bulan total kali ini adalah warnanya sehingga disebut dengan super blood moon". Fenomena bulan darah ini  disebabkan oleh kondisi keterlihatan di Bumi. Saat Bulan melewati bayangan bumi, semakin sedikit sinar matahari yang jatuh ke permukaannya, dan semakin gelap. 

Baca juga: Dekan FAI UMSU: Intensifkan dialog tokoh lintas agama

Warna merah bulan sendiri disebabkan salah satunya adalah karena adanya  atmosfer bumi.  Formasi awan besar di Bumi juga dapat menjelaskan perbedaan kecerahan. Efek awan muncul sebagai bercak gelap di seluruh permukaan Bulan yang terhalang.
 
Lebih lanjut dijelaskan dia, berbeda dengan momen gerhana sebelumnya, pada kali ini OIF UMSU menggelar pengamatan gerhana bulan secara terbatas karena situasi pandemi COVID-19. Pengamatan gerhana dimulai  shalat maghrib yang dilanjutkan shalat gerhana dengan menerapkan protokol kesehatan.

Untuk pengamatan gerhana, OIF UMSU menyediakan sejumlah teleskop yang dimanfaatkan masyarakat yang untuk kali ini jumlahnya dibatasi. 

Momen gerhana sendiri menurut Arwin, untuk kawasan Kota Medan hanya bisa dilihat sekitar 50 persen. Gerhana bulan mulai tampak setelah matahari terbenam dan berakhir  sekitar pukul  19.52 WIB.

Pewarta: Rilis

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021