Sehari sebelum pelarangan mudik diberlakukan mulai 6 Mei 2021, puluhan ribu orang memanfaatkan rentang waktu yang
tersisa untuk mudik ke kampung halaman di berbagai daerah.
Itu terlihat dari peningkatan calon penumpang yang ingin berangkat ke daerah tujuan melalui sejumlah terminal bus antarkota antarprovinsi (AKAP), bandara maupun stasiun kereta di DKI Jakarta. Antrean cukup panjang terlihat di loket pembelian tiket maupun loket pelaporan penumpang.
Pergerakan arus mudik juga terjadi di arteri Kalimalang (Jakarta Timur) hingga Bekasi dan Karawang (Jawa Barat). Pemudik sepeda motor mewarnai arus lalulintas di jalur tersebut beberapa hari terakhir.
Baca juga: Pekan Imunisasi Dunia 2021 gaungkan pentingnya vaksin untuk mencegah, melindungi dan mengebalkan
Untuk arus di jalan tol, PT Jasa Marga memprediksi sebanyak 138.508 kendaraan meninggalkan wilayah Jabodetabek pada Rabu (5/5), yang sekaligus menjadi puncak arus lalu lintas kendaraan pada masa menjelang pengetatan mudik tahun ini.
Mereka yang sedang larut dalam arus mobilitas adalah warga DKI Jakarta dan sekitarnya yang mempercepat mudik sebelum pelarangan pada 6-17 Mei 2021. Untuk menghindari pelarangan, maka mudiknya dipercepat.
Aturan pelarangan mudik tertuang dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan COVID-19 Nomor 13/2021 tentang Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah.
Kebijakan itu diperkuat dengan dikeluarkan adendum atas SE Nomor 13/2021 itu. Pengetatan Persyaratan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri dua pekan sebelum dan sepekan setelah masa peniadaan mudik, yakni 22 April-5 Mei 2021 dan 18-24 Mei 2021.
Antusias
Namun, pelarangan dan pengetatan prosedur tidak menyurutkan jutaan orang untuk tetap mudik menjelang Lebaran ini. Bahkan ada penjagaan dan pengawasan persyaratan sekalipun, mudik tetap dilakukan.
Data yang disampaikan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Kepala Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Doni Monardo
mencengangkan publik. Ternyata mudik tetap menjadi pilihan bagi tak sedikit warga meski masih ada wabah virus corona (COVID-19).
Sebanyak tujuh persen dari penduduk Indonesia atau diperkirakan 18,9 juta orang masih nekat ingin mudik ke kampung halaman usai ditetapkan larangan mudik.
Jumlah itu, menurut Doni, dalam diskusi "Jaga Keluarga, Tidak Mudik" yang diselenggarakan Forum Merdeka Barat 9 di Jakarta, Rabu, adalah tujuh persen dari 270 juta penduduk. Ketemulah jumlah yang sangat besar, sekitar 18,9 juta orang.
Maka tugas satgas bersama seluruh jajaran pemerintah serta masyarakat adalah mengurangi angka ini sekecil mungkin. Maka menahan mudik adalah keputusan bijak bagi kepentingan yang lebih besar
Hasil survei yang dilakukan Kementerian Perhubungan juga menunjukkan angka sekitar 18 juta orang atau sekitar 7 persen masyarakat Indonesia tetap mudik meski ada kebijakan larangan mudik pada Lebaran 2021 atau Idul Fitri 1442 Hijriah.
Angka tersebut dari hasil survei yang mengungkap bahwa jika tidak ada larangan mudik, sebanyak 33 persen masyarakat akan mudik. Kemudian, jumlahnya menurun ketika ada opsi pelarangan menjadi sebanyak 11 persen.
Setelah dilakukan pelarangan, turun jadi 7 persen. Maka ketemulah angka 18 juta.
Hasil survei menunjukkan bahwa daerah tujuan utama di antaranya Jawa Tengah (lebih dari 30 persen) dan Jawa Barat (lebih dari 20 persen). Kemudian Jawa Timur, Banten, Lampung hingga Sumatera Selatan.
Mereka rata-rata menggunakan mobil pribadi dan angkutan umum, setelah itu sepeda motor. Survei tersebut juga mengungkapkan bahwa ada kecenderungan pemudik untuk melakukan mudik sebelum masa pelarangan.
Penyebaran
Gelombang mudik kali ini berlangsung di tengah masih terjadinya pertambahan kasus setiap hari. Mudik lebaran tahun lalu juga terjadi saat wabah, bedanya antusiasme orang untuk mudik dapat ditekan karena adanya rasa khawatir dan takut terkena paparan virus corona.
Situasi mudik tahun ini berbeda pula dibanding tahun lalu. Kini keinginan mudik demikian kuat dengan beragam alasan, mulai dari keyakinan bahwa wabah virus corona bisa dikendalikan hingga alasan bahwa penerapan protokol kesehatan sudah menjadi bagian keseharian dalam beragam aktivitas.
Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa penerapan protokol kesehatan (prokes) bisa diterapkan di tengah kerumunan begitu banyak orang?
Inilah persoalan yang sedang dihadapi dalam upaya mengendalikan penularan dan penyebaran virus corona. Kerumunan adalah salah satu sumber terjadinya penularan.
Karena itu, pengendalian virus ini sejak awal dilakukan dengan pembatasan pergerakan orang agar mengurangi kontak antarpersonal secara langsung. Bahkan cara seperti itu lazim dilakukan di seluruh dunia.
Data harian yang selalu diumumkan Satgas Penanganan COVID-19 setiap sore hari masih menunjukkan adanya pertambahan kasus baru. Namun, dalam beberapa pekan terakhir rata-rata nasional terjadi kasus positif di angka 5.000 orang.
Pada Rabu (5/5) terjadi pertambahan kasus positif sebanyak 4.369. Sedangkan 99.087 orang masih menjalani perawatan di rumah sakit maupun isolasi mandiri.
Sejak di diumumkan pertama kali pada 2 Maret 2020 mengenai adanya dua pasien di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso di Jakara Utara terinfeksi virus corona, hingga 5 Mei 2021 virus yang bermula dari Kota Wuhan (China) itu telah menginfeksi 1.686.373 orang Indonesia.
Dari jumlah tersebut, 1.541.149 orang telah dinyatakan sembuh. Namun, sebanyak 46.137 pasien meninggal dunia.
Angka itu memang menyiratkan optimisme bahwa pengerahan seluruh sumber daya nasional telah berhasil menekan laju pertambahan kasus baru. Di sisi lain tercapainya angka kesembuhan yang terus meningkat.
Namun, semua pihak tentu tidak boleh lengah dan kendor mengingat virus tersebut diidentifikasi terus bermutasi dengan varian-varian baru.
Dalam konteks menjaga agar tidak terjadi lonjakan kasus itulah, pelarangan mudik mendapatkan momentum mengingat gelombang pergerakan orang ke kampung halaman berpotensi memassifkan penyebaran virus corona.
Semua pihak tentu tak ingin puas dengan penurunan angka kasus baru di angka rata-rata 5.000 per hari. Berkaca dari situasi di India, rasa puas diri dan takabur dalam menangani COVID-19 adalah awal bahwa pandemi ini masih jauh dari selesai.
Karena itu, tak berlebihan kiranya seluruh warga bangsa ini untuk saling menjaga dan mengingatkan mengenai potensi penyebarannya. Juga mengikuti aturan agar tugas mulia mengendalikan penyebaran virus corona benar-benar segera terwujud.
Karena kita ingin selamat bersama-sama dan tidak ingin hidup berlama-lama dalam cengkeraman virus corona.*
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021
tersisa untuk mudik ke kampung halaman di berbagai daerah.
Itu terlihat dari peningkatan calon penumpang yang ingin berangkat ke daerah tujuan melalui sejumlah terminal bus antarkota antarprovinsi (AKAP), bandara maupun stasiun kereta di DKI Jakarta. Antrean cukup panjang terlihat di loket pembelian tiket maupun loket pelaporan penumpang.
Pergerakan arus mudik juga terjadi di arteri Kalimalang (Jakarta Timur) hingga Bekasi dan Karawang (Jawa Barat). Pemudik sepeda motor mewarnai arus lalulintas di jalur tersebut beberapa hari terakhir.
Baca juga: Pekan Imunisasi Dunia 2021 gaungkan pentingnya vaksin untuk mencegah, melindungi dan mengebalkan
Untuk arus di jalan tol, PT Jasa Marga memprediksi sebanyak 138.508 kendaraan meninggalkan wilayah Jabodetabek pada Rabu (5/5), yang sekaligus menjadi puncak arus lalu lintas kendaraan pada masa menjelang pengetatan mudik tahun ini.
Mereka yang sedang larut dalam arus mobilitas adalah warga DKI Jakarta dan sekitarnya yang mempercepat mudik sebelum pelarangan pada 6-17 Mei 2021. Untuk menghindari pelarangan, maka mudiknya dipercepat.
Aturan pelarangan mudik tertuang dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan COVID-19 Nomor 13/2021 tentang Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah.
Kebijakan itu diperkuat dengan dikeluarkan adendum atas SE Nomor 13/2021 itu. Pengetatan Persyaratan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri dua pekan sebelum dan sepekan setelah masa peniadaan mudik, yakni 22 April-5 Mei 2021 dan 18-24 Mei 2021.
Antusias
Namun, pelarangan dan pengetatan prosedur tidak menyurutkan jutaan orang untuk tetap mudik menjelang Lebaran ini. Bahkan ada penjagaan dan pengawasan persyaratan sekalipun, mudik tetap dilakukan.
Data yang disampaikan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Kepala Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Doni Monardo
mencengangkan publik. Ternyata mudik tetap menjadi pilihan bagi tak sedikit warga meski masih ada wabah virus corona (COVID-19).
Sebanyak tujuh persen dari penduduk Indonesia atau diperkirakan 18,9 juta orang masih nekat ingin mudik ke kampung halaman usai ditetapkan larangan mudik.
Jumlah itu, menurut Doni, dalam diskusi "Jaga Keluarga, Tidak Mudik" yang diselenggarakan Forum Merdeka Barat 9 di Jakarta, Rabu, adalah tujuh persen dari 270 juta penduduk. Ketemulah jumlah yang sangat besar, sekitar 18,9 juta orang.
Maka tugas satgas bersama seluruh jajaran pemerintah serta masyarakat adalah mengurangi angka ini sekecil mungkin. Maka menahan mudik adalah keputusan bijak bagi kepentingan yang lebih besar
Hasil survei yang dilakukan Kementerian Perhubungan juga menunjukkan angka sekitar 18 juta orang atau sekitar 7 persen masyarakat Indonesia tetap mudik meski ada kebijakan larangan mudik pada Lebaran 2021 atau Idul Fitri 1442 Hijriah.
Angka tersebut dari hasil survei yang mengungkap bahwa jika tidak ada larangan mudik, sebanyak 33 persen masyarakat akan mudik. Kemudian, jumlahnya menurun ketika ada opsi pelarangan menjadi sebanyak 11 persen.
Setelah dilakukan pelarangan, turun jadi 7 persen. Maka ketemulah angka 18 juta.
Hasil survei menunjukkan bahwa daerah tujuan utama di antaranya Jawa Tengah (lebih dari 30 persen) dan Jawa Barat (lebih dari 20 persen). Kemudian Jawa Timur, Banten, Lampung hingga Sumatera Selatan.
Mereka rata-rata menggunakan mobil pribadi dan angkutan umum, setelah itu sepeda motor. Survei tersebut juga mengungkapkan bahwa ada kecenderungan pemudik untuk melakukan mudik sebelum masa pelarangan.
Penyebaran
Gelombang mudik kali ini berlangsung di tengah masih terjadinya pertambahan kasus setiap hari. Mudik lebaran tahun lalu juga terjadi saat wabah, bedanya antusiasme orang untuk mudik dapat ditekan karena adanya rasa khawatir dan takut terkena paparan virus corona.
Situasi mudik tahun ini berbeda pula dibanding tahun lalu. Kini keinginan mudik demikian kuat dengan beragam alasan, mulai dari keyakinan bahwa wabah virus corona bisa dikendalikan hingga alasan bahwa penerapan protokol kesehatan sudah menjadi bagian keseharian dalam beragam aktivitas.
Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa penerapan protokol kesehatan (prokes) bisa diterapkan di tengah kerumunan begitu banyak orang?
Inilah persoalan yang sedang dihadapi dalam upaya mengendalikan penularan dan penyebaran virus corona. Kerumunan adalah salah satu sumber terjadinya penularan.
Karena itu, pengendalian virus ini sejak awal dilakukan dengan pembatasan pergerakan orang agar mengurangi kontak antarpersonal secara langsung. Bahkan cara seperti itu lazim dilakukan di seluruh dunia.
Data harian yang selalu diumumkan Satgas Penanganan COVID-19 setiap sore hari masih menunjukkan adanya pertambahan kasus baru. Namun, dalam beberapa pekan terakhir rata-rata nasional terjadi kasus positif di angka 5.000 orang.
Pada Rabu (5/5) terjadi pertambahan kasus positif sebanyak 4.369. Sedangkan 99.087 orang masih menjalani perawatan di rumah sakit maupun isolasi mandiri.
Sejak di diumumkan pertama kali pada 2 Maret 2020 mengenai adanya dua pasien di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso di Jakara Utara terinfeksi virus corona, hingga 5 Mei 2021 virus yang bermula dari Kota Wuhan (China) itu telah menginfeksi 1.686.373 orang Indonesia.
Dari jumlah tersebut, 1.541.149 orang telah dinyatakan sembuh. Namun, sebanyak 46.137 pasien meninggal dunia.
Angka itu memang menyiratkan optimisme bahwa pengerahan seluruh sumber daya nasional telah berhasil menekan laju pertambahan kasus baru. Di sisi lain tercapainya angka kesembuhan yang terus meningkat.
Namun, semua pihak tentu tidak boleh lengah dan kendor mengingat virus tersebut diidentifikasi terus bermutasi dengan varian-varian baru.
Dalam konteks menjaga agar tidak terjadi lonjakan kasus itulah, pelarangan mudik mendapatkan momentum mengingat gelombang pergerakan orang ke kampung halaman berpotensi memassifkan penyebaran virus corona.
Semua pihak tentu tak ingin puas dengan penurunan angka kasus baru di angka rata-rata 5.000 per hari. Berkaca dari situasi di India, rasa puas diri dan takabur dalam menangani COVID-19 adalah awal bahwa pandemi ini masih jauh dari selesai.
Karena itu, tak berlebihan kiranya seluruh warga bangsa ini untuk saling menjaga dan mengingatkan mengenai potensi penyebarannya. Juga mengikuti aturan agar tugas mulia mengendalikan penyebaran virus corona benar-benar segera terwujud.
Karena kita ingin selamat bersama-sama dan tidak ingin hidup berlama-lama dalam cengkeraman virus corona.*
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021